7 - Pekerjaan, Perkenalan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

---
Apa yang dicari dari sebuah peruntungan?
Bukankah hidup sudah terlampau adil?
Mungkin, usaha yang dirasa cukup masih kurang
Hingga hasil pun, tak sepadan
---

Di sela waktu sebelum kuliah dimulai, Aksara terus menulis berbait-bait ungkapan hatinya. Pikiran akan pencarian kerja sambilan yang belum membuahkan hasil, kuliah yang mulai membosankan tanpa tujuan, dan bayangan wajah perempuan itu.

Wajah perempuan yang mengembalikan bukunya kemarin sore masih jelas tergambar dalam benak karena Aksara merasa pernah melihat raut penuh beban itu. Garis-garis wajah yang menyimpan duka, kesedihan, dan sedikit keputusasaan. Di mana ia pernah menyaksikan raut wajah yang serupa? Dan ... ah, ia tidak tahu siapa nama perempuan itu.

"Eh, Aksa! Masih cari part-time-an?" Seorang lelaki berjalan mendekati mejanya.

"Masih, Bang. Kafe Bang Bonang beneran nggak ada lowongan apa gitu? Jadi tukang cuci juga nggak apa-apa, deh," tawar Aksara sedikit memelas. Ia menutup buku hitamnya dan memasukkan ke tas.

Lelaki yang dipanggil Bang Bonang itu tertawa. "Duh, sorry, bro! Kafe gua beneran lagi nggak bisa nambah karyawan. Tapi, kalo di tempat laen mau nggak, lu?"

"Di mana?"

"Ada kenalan gua, punya kafe semi restoran gitu, sih. Tapi, deket taman kota. Doi lagi butuh waiter soalnya ada yang habis resign dua orang. Kalo lu mau, gua kasih tau orangnya."

"Jadwalnya bisa disesuaiin sama kuliah?"

"Santai, bisa diobrolin." Bonang menepuk pelan pundak Aksara.

Kening Aksara berkerut. Menimbang-nimbang tawaran yang datang dengan cuma-cuma. Hatinya tak bisa berbohong jika sebenarnya keinginan menjadi barista masih menjadi yang utama karena tidak terlalu sibuk mengantar pesanan ke sana ke mari. Masih ada ruang baginya untuk menulis bait-bait puisi. Namun, menjadi waiters? Ia tak pernah menduganya.

"Kelas udah mau mulai, tuh. Nih, gua kasih nomernya aja ke elu. Nanti hubungi sendiri," ujar Bonang membuyarkan pikiran Aksara yang kemudian membuka ponsel untuk menyimpan nomor kenalan kakak tingkatnya itu.

Ya udahlah, dicoba aja. Pikirin Ibu, Sa. Nggak usah pilih-pilih kerjaan selama masih halal, batin lelaki yang kemudian mengirimkan pesan singkat pada nomor yang baru saja disimpannya. Pesan terkirim tepat saat dosennya membuka kuliah sehingga dalam beberapa menit ke depan ia harus fokus pada kuliah terakhirnya di hari itu.

Selepas kuliah, Aksara bergegas menuju restoran kafe yang direkomendasikan Bonang. Pesannya pun sudah dibalas oleh Rizki—kenalan Bonang yang membutuhkan karyawan baru—dan ia mendapatkan alamat tempat itu. Perlu waktu hampir satu jam untuknya sampai di tempat tujuan. Andaikan ia punya kendaraan pribadi, tentu bisa sampai sepuluh hingga dua puluh menit lebih cepat.

Restoran kafe itu cukup ramai saat Aksara tiba di sana. Awalnya, ia membayangkan kafe seperti apa yang dikatakan oleh Bonang sebagai 'semi restoran'. Secara interior dan tampak ruangannya memang seperti kafe biasa yang dominan menyediakan minuman dari jenis kopi-kopian dan susu. Kafe yang biasanya tidak begitu memiliki makanan beragam dan harganya masih bisa dipenuhi oleh kocek mahasiswa. Namun, setelah melihat menu yang ada ternyata kafe ini banyak menyediakan jenis makanan tidak hanya dua atau tiga jenis seperti kafe pada umumnya.

"Ini, mah, bisa disebut restoran aja," gumam Aksara.

Saat menjelajah kafe sekitar taman kota kemarin, Aksara memang tidak menyadari adanya tempat ini. Mungkin karena ia terburu-buru atau mungkin karena hanya mengincar kafe-kafe kecil tempat mahasiswa biasa nongkrong. Restoran ini—mengikuti julukan yang digunakan Aksara—tidak jauh dari taman kota. Sekitar delapan menit berjalan kaki dari taman tikungan pertama di utara taman kota, tempat ini sudah terlihat sebagai yang paling besar di antara kafe kecil sekitarnya.

"Nunggu lama?" Suara seorang lelaki mengalihkan perhatian Aksara.

"Oh, Mas Rizki?"

"Iya," jawab Rizki, manajer restoran, sambil menjabat tangan Aksara. "Ayo, ketemu sama owner-nya dulu. Kebetulan beliau lagi mampir juga di sini."

Aksara pun dibawa ke sebuah ruangan berpintu kaca yang ada di lantai dua restoran itu. Seperti sudah menanti kedatangan seseorang, lelaki berkemeja garis-garis yang ada di dalam ruangan tersenyum dan mempersilakannya serta Rizki masuk ke ruangan.

"Pak, ini kenalan saya yang mau part-time di sini," ujar Rizki dengan kedua tangan yang tergenggam di depan tubuhnya.

"Sore, Pak. Saya Aksara." Tangannya terjulur untuk memberi sebuah jabat tangan.

Menyambut uluran tangan itu, lelaki yang rambutnya rapi karena gel itu tersenyum. "Saya Bima. Kamu bisa kerja kapan aja?" tanyanya langsung pada pokok bahasan mereka sore itu sembari duduk kembali di singgasananya.

Aksara pun menjelaskan jadwal kuliah dan kemungkinan waktu kosongnya untuk bekerja. Tak lupa, ia juga menjelaskan kebutuhannya akan pekerjaan sambilan ini untuk membantu ibunya dan keluarga mereka yang tak lagi memiliki tulang punggung. Tentunya, ia tidak menyertakan cerita tentang tragedi yang menimpa sang ayah karena hatinya masih tak sanggup untuk itu. Bisa-bisa, dirinya malah menangis di depan calon atasannya ini.

"Oke, karena restoran juga lagi butuh bantuan, kamu bisa kerja di sini. Mempertimbangkan waktu kuliahmu, apa kamu bisa pegang shift malam setiap hari sampai restoran tutup?" Bima bangkit dari duduk dan berjalan ke sisi luar meja kerjanya, menghampiri Aksara.

Malam.

Jika saja ayahnya masih ada, mungkin Aksara tidak akan mau merelakan waktu malamnya terpotong untuk sebuah pekerjaan. Ia lebih memilih waktu malamnya untuk berbagi dan diskusi dengan keluarganya terkait puisi yang sudah ditulis. Ya, lelaki yang ingin menjadi pujangga kebanggaan ayahnya ini tidak pernah ragu untuk membagikan hasil tulisannya pada keluarga kecilnya. Harapannya, ia dapat menyalurkan isi hati agar keluarganya mengerti apa yang ia rasakan tanpa harus mengungkapkan secara langsung.

Namun kini, ayahnya telah tiada. Dirinya pun tak mungkin membiarkan sang ibu harus bekerja keras sendiri. Kakaknya juga sedikit lagi akan bisa mendapatkan gelar profesi dan dirinya sudah bertekad untuk bekerja sambilan. Apa pun itu. Kapan pun itu.

"Insyaa Allah, bisa, Pak. Terima kasih atas kepercayaannya," tegas Aksara.

"Ah, kamu bisa kerja mulai besok. Kalau ke depannya mau izin atau ada apa-apa, komunikasikan saja. Hari ini kamu bisa observasi dulu. Rizki, kamu briefing Aksara, ya!"

Aksara cukup kagum dengan ketegasan atasannya itu. Tidak banyak basa-basi dan terlihat peduli penuh empati. Seperti biasa, perasaannyalah yang membangun persepsi seperti itu. Ia bisa merasakan hal-hal yang mungkin sulit dijelaskan oleh logika, tetapi tidak jarang anggapannya itu tepat sasaran.

Ketika azan magrib berkumandang, Rizki mengakhiri pengenalan tugas dan tanggung jawab seorang waiter. Aksara diberi izin untuk langsung pulang atau melanjutkan observasi selepas magrib. Namun, ia memilih yang pertama—pulang untuk mengabari ibu dan kakaknya terkait pekerjaan baru ini. Sebelum pulang, ia sempatkan untuk salat terlebih dulu karena saat ia tiba di rumah nanti, kemungkinan sudah memasuki waktu isya.

Berjalan di tengah langit malam sering membuat lelaki berkaki jenjang ini mendapatkan inspirasi puisi. Ia harus sampai di taman kota dulu untuk bisa mendapatkan angkutan umum. Sebenarnya bisa saja Aksara memesan ojek online untuk pulang, tetapi biayanya lebih mahal dibanding naik angkutan kota. Apalagi, belum ada diskon perjalanan di aplikasi yang sudah lama bertengger dalam ponselnya, tetapi jarang ia buka.

Melihat taman kota, entah mengapa Aksara teringat perempuan itu. Perempuan dengan senyum yang menyembunyikan banyak kesedihan. Bangku di ujung taman yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka seolah memiliki magnet yang membuatnya tertarik untuk sekadar duduk. Entah untuk apa. Ia pun mengeluarkan buku hitamnya dan mulai menulis beberapa bait puisi yang sudah melayang-layang dalam imaji sedari tadi.

----
Adakah pundak sekuat baja yang mampu menyembunyikan luka?
Kau.

Adakah wajah sekeras batu yang mampu membentengi lara?
Kau.

Entah apa yang kau simpan dalam baja berbatu itu
Namun yang kulihat hanyalah

Sedih
Perih
Bahagia yang telah menjadi serpih
----

"Eh, beneran ada di sini lagi, dong!"

Suara perempuan yang mulai familier di telinga Aksara membuat jemarinya berhenti menggores tinta. Kepalanya mendongak dan ia dapati wajah penyimpan sedih itu.

"Iseng ke sini karena males pulang, ternyata beneran ada kamu." Perempuan itu terus berbicara sendiri lalu duduk di samping Aksara. "Nulis puisi lagi?"

"Tau dari mana?" Kali ini Aksara mau menanggapi. Sebenarnya, ada motif lain yang mulai terbangun dalam hati.

Mencari tahu kesedihan apa yang disembunyikan oleh wajah yang tak berhenti tersenyum itu.

Perempuan berkucir setengah itu sedikit salah tingkah. "Em, maaf. Aku sempet baca puisi kamu pas bukunya kebawa," jawab perempuan itu hampir seperti lirihan.

"Oh, baca yang mana?"

"Semua yang udah kamu tulis. Aku lupa apa saja, tapi yang kuinget itu yang ada kalimat 'malam-malam kita selalu sama'. Nggak tau kenapa keingetnya yang itu terus."

"Oh ...." Aksara membuka lembar bukunya sampai ke puisi yang dimaksud perempuan itu. "Ini?"

Perempuan itu menoleh dan menatap lembar yang ditunjukkan Aksara. Seulas senyum terlukis lagi dalam wajahnya. Senyum yang dikenal Aksara sebagai senyuman penuh kepedihan. "Iya! Bagus banget!"

"Kenapa bagus?"

"Nggak tau, bagus aja. Kalo aku bisa inget, biasanya itu antara bagus banget atau jelek banget. Nah, yang ini bagus banget!" Intonasi perempuan itu meninggi dan terdengar begitu bersemangat.

Saat tangan perempuan itu terlihat ingin mengambil buku hitamnya, Aksara menutup buku dan bertanya, "Namanya siapa?"

Aksara menahan pertanyaan itu sejak tadi. Ditahan karena ia ingin mendengar pendapat perempuan yang baru dijumpainya itu tentang puisi-puisinya. Namun, sebelum mendapat jawaban yang mampu memuaskan rasa penasarannya, pertanyaan itu terlontar seperti kendaraan dengan rem blong.

Wajah perempuan itu tampak kaget saat pendengar pertanyaan Aksara yang dibarengi tertutupnya buku hitam. Ia menoleh ke kiri dan kanan, lalu mengerjap-kerjapkan matanya sebelum akhirnya bersuara.

"Rasya. Rasya Ghaida."

"Bagus."

"Maksudnya?"

"Namanya bagus," tegas Aksara sambil membuka lembaran baru buku hitamnya. Ia ingin menuliskan sesuatu, tetapi jemarinya mulai kaku. Entah karena dingin yang diembuskan angin malam itu atau karena rasa penasaran pada sang pemilik senyum penuh kesedihan di sampingnya.

***

Semoga kurang puas baca part ini supaya menanti part-nya Rasya besok, ya! Tadinya mau aku gabungin seperti biasa. Tapi karena satu dan lain hal, aku sedang nggak bisa nulis terlalu panjang hari ini dan esok.

Terima kasih atas dukungannya! Jangan lupa kasih vote habis baca, ya :D

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro