9 - Pesan yang Dinanti

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aksara tidak tahu bahwa dirinya akan begitu menantikan kabar dari perempuan yang baru dikenalnya beberapa hari lalu. Hari-harinya tidak lagi hanya dipenuhi oleh bait-bait puisi, tetapi seolah setiap menit matanya butuh melihat layar ponsel yang, sayangnya, tidak ada notifikasi apa pun selain grup angkatan dan grup unit kegiatan mahasiswa yang diikutinya—Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia dan Komunitas Bersajak (Komjak).

----
Kau itu siapa?
Tanpa izin mengganggu pikiran, bahkan belum lama dari sebuah pertemuan

Kau itu siapa?
Tanpa izin mengusik perasaan, bahkan belum pernah ada pertukaran rasa di dalamnya

Kau itu siapa?
Datang dan pergi tak berkabar

Pun, jika burung hantu datang membawa kabarmu,
Apakah aku boleh berbahagia?
----

"Kayaknya akhir-akhir ini lu sering ngecek hape, Sa. Nunggu siapa?" tanya Andra yang sedang membereskan meja makan.

Aksara terkejut dengan pertanyaan kakaknya. Namun, ia menyembunyikannya dengan kembali mengalihkan pandangan ke piring-piring yang sedang di cucinya. Biasanya, tugasnya itu dilakukan selepas makan malam. Akan tetapi, kini tugas rumahnya dialihkan menjadi pagi hari sebelum berangkat kuliah karena malamnya ia harus kerja sambilan di restoran.

"Nggak nunggu siapa-siapa," jawab Aksara tenang. Ia mendengar tawa kecil dari balik punggungnya dan ingin melempar piring pada lelaki yang tertawa itu. Hanya saja, tentu ia tahan karena jika tidak, kakaknya tentu akan membangun spekulasi yang tidak-tidak tersebab reaksi berlebihannya.

"Sa, kapan selo?"

Aksara mengelap tangannya yang basah. Ia sudah selesai mencuci piring dan berbalik menghadap Andra sambil bersandar di tempat cuci piring dengan tangan terlipat di depan dada. "Kenapa memang?"

"Bantuin cari jurnal buat tesis. Mau mulai nyicil lagi, nih, disambi PKPP."

PKPP atau Praktik Kerja Profesi Psikolog adalah kerja profesi yang sedang dijalani Andra sebelum sidang untuk mendapatkan gelar Psikolog. Setelah lulus dari sidang itu, barulah ia bisa menjalankan tesis dan mendapatkan gelar magisternya dan bisa diwisuda.

"Jurnal apaan? Gua, kan, nggak tau banyak soal psikologi selain dari yang sering lu omongin, Mas."

Inilah kondisi normal Aksara kepada Andra. Sejak Aksara SMA, jika tidak ada ibunya, ia dan kakaknya akan menggunakan panggilan 'gua-lu'. Sangat berbeda ketika dirinya sedang terpukul, sedih, atau cemas seperti saat menanti kabar soal ayahnya. Meski demikian, lelaki penyuka hitam ini tetap menjaga kesopanannya pada sang kakak.

"Nanti gua jelasin. Lu bisa baca-baca dulu soal alexythimia."

"Hah? Ale-ale? Minuman itu, mah!"

Andra mendesah ringan dan tertawa. "Kenapa? Lu mau ale-ale? Nih, gua kasih duitnya."

"Ye, serius, Mas. Apaan itu? Ketik coba ketik, kirimin ke gua."

"Kenapa? Biar hape lu bunyi gara-gara diliatin terus nggak bunyi-bunyi?" Andra tertawa dan berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke rumah sakit jiwa tempat praktik kerjanya.

Aksara mendengkus mendengar ejekan kakaknya. Walau kakaknya tidak salah duga, tetapi rasa malu itu seperti meluap-luap dalam dirinya. Sesaat ia lupa bahwa Andra adalah calon psikolog yang kadang terlalu peka dengan perubahan perilakunya. Bahkan mungkin, tanpa membaca tulisan atau puisi-puisinya, Andra-lah yang bisa diandalkan untuk mengerti dirinya tanpa suara.

"Tapi, Mas bukan cenayang, ya," ujar Andra saat masih menempuh jenjang S1 Psikologi, meluruskan persepsi adiknya yang sering mendengar bahwa mahasiswa psikologi bisa membaca pikiran.

"Berarti yang kata orang kalo jadi psikolog itu ngurusin orang gila sama bisa baca pikiran salah, ya, Mas?" Aksara yang saat itu masih duduk di bangku SMP bertanya dengan dahi berkerut.

"Yoi. Nggak gitu, ya. Kamu juga bisa kok dateng ke psikolog buat curhat doang."

"Nggak. Aku nulis aja, ntar Mas Andra yang baca. Malu kalo cerita-cerita."

Mengenang percakapan itu, Aksara tersenyum sendiri. Ia pun meletakkan minum dan mau bergegas menuju kamar untuk bersiap-siap kuliah. Namun sialnya, kakaknya sudah bersandar di dinding ruang makan, entah sejak kapan sambil tersenyum mengejek.

"Kan, senyum-senyum sendiri. Lagi suka sama orang, ya, lu?"

Malas menanggapi dugaan aneh itu, Aksara berlalu begitu saja dan hanya melambai ketika mendengar salam dari kakaknya yang akan berangkat. Tidak, ia tidak sedang suka dengan siapa-siapa. Lagi pula, tadi ia tersenyum karena sedang mengenang percakapan dengan kakaknya. Bukan karena seorang perempuan.

Perempuan.

Ah, Aksara kembali teringat dengan Rasya. Ia lagi-lagi mengecek ponselnya meski tahu itu percuma. Untuk apa perempuan itu menghubunginya lebih dulu? Mereka bukan siapa-siapa dan tidak ada hal penting yang membuat perempuan itu harus menghubunginya. Dirinya pun tidak akan menghubungi perempuan yang selalu mengkucir setengah rambutnya itu lebih dulu. Untuk apa?

Namun, kali ini prediksi Aksara meleset. Di antara banyak pesan masuk dari grup, ia melihat sebuah nama yang dinantikannya. Rasya Ghaida.

From: Rasya

Halo, Aksara. Ini Rasya yang waktu itu ketemu di taman kota. Maaf kalo ganggu. Aku mau ngelanjutin obrolan kita yang sempet kepotong waktu itu, inget? Kamu masih belum ngejelasin soal rasa kehilangan sama puisi Malam punyamu. Boleh ketemu?

Lelaki yang selalu membangun pertahanan diri untuk tidak dekat-dekat dengan perempuan ini merasa tembok hatinya bergetar. Ia tidak tahu jika pesan singkat yang baru saja ia baca dan ia nantikan berhari-hari lalu memiliki dampak tak terduga. Mendadak jantungnya berdebar, mendadak tubuhnya gemetar.

Tidak. Aksara baru saja kehilangan ayahnya. Ia merasa tak pantas jika kedukaan akan kehilangan sang ayah harus sirna begitu saja sesaat setelah perempuan ini masuk dalam hidupnya. Lagi pula, tidak ada yang spesial bukan dari permintaannya? Rasya hanya ingin melanjutkan diskusi mereka soal 'kehilangan'. Ketertarikan perempuan itu dengan puisinya membuat Aksara sulit untuk menolak. Terlebih, ia tidak pernah memperlihatkan puisinya pada perempuan, selain pada ibunya saja.

Sejak awal, Rasya Ghaida memang mencuri perhatian Aksara. Wajah penuh kesedihan yang terpendam dan beban yang sepertinya sangat berat begitu familier olehnya. Sampai sekarang, ia masih tidak tahu di mana dirinya melihat wajah serupa itu. Namun, kali ini pikirannya sedang menerawang untuk menemukan kata-kata yang tepat guna membalas pesan dari Rasya, bukan untuk mengingat-ingat wajah siapa yang familier dengan Rasya.

Di saat yang sama, tatapan Aksara mengarah ke cermin yang tertempel di dinding kamarnya. Cermin yang memantulkan hanya wajahnya hingga pundak, lalu seketika matanya membelalak.

Aksara ingat di mana ia melihat wajah serupa.

Di cermin itu, pada hari saat dirinya dan keluarga harus ke laut, menghampiri tempat tenggelamnya kapal yang dipimpin sang ayah. Di cermin itu yang memantulkan wajah penuh kesedihan dan kehilangan mendalam dari dirinya.

Wajahnya.

Ah, mungkin itu yang menyebabkan Rasya mampu merasakan perasaan yang Aksara sampaikan lewat puisi 'Malam'. Puisi yang ia tulis saat memikirkan ayahnya. Puisi yang ia gunakan untuk mengungkapkan keegoisan dirinya yang tidak siap kehilangan dan tidak ingin memaafkan segala hal yang terjadi. Puisi yang ia tulis untuk mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja pada waktunya. Entah kapan.

Kini, Aksara sedikit mengerti. Mungkin, perempuan yang ditemuinya itu pun sedang mengalami kehilangan yang teramat sangat. Mungkin, takdir sengaja membuat keduanya bertemu untuk berbagi kehilangan. Mungkin dan siapa tahu dirinya, juga Rasya, bisa mengobati kehilangan masing-masing. Namun, mengapa saat itu Rasya bertanya kehilangan itu seperti apa? Bukankah seharusnya perempuan itu tahu jika ia pernah atau sedang merasakan kehilangan?

Ah, Aksara terlalu jauh berpikir. Belum tentu itu benar. Kebiasaannya menduga-duga segala hal dan memikirkan segala kemungkinan membuatnya lama dalam memutuskan. Ia tidak ada waktu untuk terlalu lama berpikir karena perempuan itu perlu mendapatkan jawaban soal kehilangan.

Aksara pun ingin tahu, kehilangan seperti apa yang Rasya rasakan hingga semua tergambar jelas di wajah yang saat itu mengulum senyum dan binar mata yang sebenarnya masih menyimpan harapan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro