AKTARI || 05. Jadi Pacar?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selesai latihan ekstrakulikuler, Tari berniat merebahkan diri pada asur empuknya. Tapi urung, saat Olive memaksa agar mau menemaninya jalan-jalan untuk sekedar refreshing setelah suntuk belajar seharian. Sebenarnya Tari sedikit malas. Tapi membayangkan Olive yang kesepian menunggu dirinya pulang di rumah—yang tidak bisa dibilang kecil—ini sendirian, Tari lantas mandi dan mengganti pakaian.

Dari tempatnya duduk. Dia melihat seorang cowok yang sempat mengganggu pikirannya. Oh, ayo, lah. Apa dunia sesempit ini? Mengapa harus cowok itu lagi? Tari menyeruput Latte-nya, bersaamaan dengan cowok yang diperhatikan tengah mengarakan sebuah cangkir untuk diseruputnya. Lalu pikirannya mengembara pada satu nama. Aksara Althaff ...

"Masalahnya, yang bopong waktu lo pingsan itu ... kak Aksara."

"­Uhuk." Tari terbatuk minumannya. Olive melirik sekilas, lantas kembali fokus pada makanannya. Dengan pikiran kosong menerawang, sekolebat ingatan beberapa kejadian mulai berputar di kepalanya.

"Lo tau ini tempat umum?"

"Ngapain jalan sempoyongan kayak barusan?"

"Masalahnya, yang bopong waktu lo pingsan itu, kak Aksara."

"Jangan. Ganggu. Dia."

"Orok juga tau, jalan tuh, pake kaki."

"Cewe aneh."

"KAK!" Tari mengerjap. Detik selanjutnya dia mengedikkan dagunya.

"Mikirin apa, sih? Kok liatin makanan orang sambil melamun gitu."

Tari mencari alibi. "Mikirin makanan kita, gue nggak bawa uang. Lo yang bayar, 'kan?"

Kali ini, Olive yang tersedak. "Serius?! Gue nggak bawa juga, gila ...."

"Ya udah. Nggak usah bayar, cuci piring aja." Tari menyahut santai.

"Jangan becanda, deh. Gue beneran nggak bawa uang, Kaaak." Olive mulai khawatir. Dirinya termakan tipuan Tari.

Tari mencibir setelah menyomot Friench Fries di meja. "Kebiasaan banget, setiap jalan sama gue selalu nggak bawa uang. Heran."

"Justru itu! Berhubung jalannya sama lo, gue serahin semuanya ke lo, Kak. Termasuk bayar semua makanan ini." Olive tertawa di akhir katanya. Tari mendengus sebal. Ini sama saja pemerasan! Dasar adik tidak tahu diri.

***

Mengecek belanjaan pada kantung plastik, Tari hendak mendorong pintu kaca minimarket bertuliskan 'Tarik'. Namun didahului oleh seorang cowok yang juga mendorong pintu itu seraya fokus pada gawainya, hingga ...

Dugh.

"Aw ...." Tari meringis menyentuh dahi yang terbentur pintu kaca. Membawa langkah mundur, Tari mendongak lalu terkejut saat dilihatnya seorang cowok yang memasang ekspresi sama walau tak kentara.

Sadar adanya lebam kemerahan di dahi, cowok itu menarik pergelangan Tari membawanya ke samping sebuah mobil. Mendapat perlakuan tiba-tiba, Tari bertanya, "Ng-ngapain?"

Memandang dahi sekilas, dia menjawab, "Obatin di rumah gue. Masuk."

"Nggak usah, gue nggak papa," tolak Tari menyentuh dahi lebamnya, lalu meringis setelahnya.

Bukannya menimpali ucapan Tari, cowok itu bergerak membuka pintu samping kemudi, lantas menyuruh Tari masuk dengan gerakan matanya.

Sepanjang perjalanan, hanya keheningan yang menyeruap. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Dengan Tari yang sesekali melirik pria disampingnya melalui ekor matanya.

Saat memasuki suatu perumahan, pria remaja itu berujar memulai pembicaraan.

"Gue Aksara. Lo?" tanya pria tadi dengan wajah datar tanpa mengalihkan pandangan dari depan.

"Gue Tari." Tari berujar setelah melirik Aksara sekilas.

Keadaan kembali hening beberapa menit. Hingga mobil itu memasuki suatu perumahan, Aksara kembali berujar, "mulai sekarang, lo jadi pacar gue."

Deg.

Klek.

Aksara keluar dari Mobil dengan Tari yang masih membeku di tempat. Itu ... tadi gue ditembak? Ko' gue gak dengar pertanyaan dari nada bicaranya?

"Ekhm."

"Eh?" Tari terlonjat kaget, langsung saja dia keluar dari pintu yang telah dibukakan oleh Aksara.

"Ikutin gue." Tari mengekor di belakang tubuh atletis Aksara dengan kebingungan yang terpatri jelas di wajahnya.

Mereka masuk ke sebuah rumah bertepatan dengan keluarnya seorang gadis remaja cantik. Kedua gadis disana nampak kaget. Mereka saling berpandangan dan melempar senyum kikuk.

Gadis itu melirik ke arah Aksara, seolah bertanya 'Dia siapa?' Dengan wajah tenangnya, Aksara berujar, "pacar gue." Gadis itu tampak sangat keget. Lalu dengan mata yang memanas, dia menyodorkan tangannya ke hadapan Tari dan berujar, "Maudy." Dengan senyum ramah, Tari menggapai tangan Maudy dan berujar, "Tari."

"Aku pulang." Dengan segera Maudy menarik kembali tangannya dan melangkahkan kakinya menjauh dari sepasang kekasih itu. Dan tanpa mereka tahu, setetes air bening berhasil lolos dari mata indah milik Maudy.

***

"Tidak perlu Bi, biar saya saja," tahan Tari saat seorang wanita paruh baya hendak menyentuh luka lebam di dahinya.

"Biar Bi Sri saja," ucap Bi Sri sembari tersenyum ramah. Sedangkan Aksara, dia tengah sibuk dengan handphonenya dan menduduki sofa di seberang Tari.

Tari pikir, dia akan diobati langsung oleh Aksara, tapi setelah dia mengingat apa yang Aksara katakan sebelum memasuki mobil, dia membuang pikirannya jauh-jauh. Lagipula, untuk apa memikirkan hal bodoh seperti itu? Mau siapapun yang mengobati luka lebamnya, Tari tak peduli.

Brakk.

Mereka bertiga terlonjat kaget. Melihat ke sumber suara dan terlihat seseorang pria paruh baya dengan setelan jas hitam berdasinya menghampiri mereka bertiga. Lebih tepatnya, menghampiri Aksara.

"Mana dia?" Aksara memandang datar pria paruh baya yang bertanya dihadapannya.

"Jangan ganggu hubungan kami lagi. Kami sudah bahagia," sambung pria paruh baya tersebut. Setelahnya, dia membalikan badan dan melangkah keluar dari kediaman Aksara.

"Shitt." Aksara mengumpat dengan muka yang merah padam. Bi Sri menundukkan pandangannya. Dan Tari tengah melongo ditempat. Masih sibuk mencerna kejadian yang baru saja terjadi.

***

Tari menerima uluran helm dari tangan Aksara. Seperti sebelumnya, Tari memegang pundak Aksara untuk dapat berhasil menaiki motor.

Aneh sekali manusia ini. Selama bersama Tari, dia tidak banyak bicara. Tak ada sedikitpun senyum yang tercetak. Entah karena kejadian barusan, atau memang sudah menjadi karakternya seperti itu. Seperti karakter tokoh yang sering Tari jumpai di novel yang pernah dibaca Tari. Ternyata karakter itu ada di kehidupan nyata.

Dan sekarang , Tari akan diantar pulang dengan motor Aksara tidak dengan mobil seperti saat mereka ke rumah Aksara sebelumnya. Dan Aksara tidak ada niatan untuk memberitahu alasannya.

Di tengah perjalanan, kecepatan bertambah dua kali lipat. Membuat Tari refleks memeluk pinggang Aksara dan memejamkan matanya kuat-kuat.

"Kak ... pelanin, gue takut," teriak Tari gelisah.

Ciitt.

Bodoh sekali Aksara ini. Dia bahkan lupa akan keberadaan Tari. Hingga dia melampiaskan amarahnya begitu saja. Tari pasti sangat ketakutan sekarang.

"Maaf." Aksara berujar di balik helm full facenya. Tari tersadar dan segera melepaskan pelukannya dan membuka matanya perlahan.

Setelahnya, Aksara melajukan motornya dengan kecepatan normal. Tapi Tari mengernyit heran saat merasa jalanan yang dilaluinya terasa berbeda dari biasa dia pulang ke rumah.

"Lo mau culik gue ya?" Tanya Tari sedikit berteriak. Sadar tak ada respon, dia mulai panik lalu kembali teriak dan mulai menepuk punggung Aksara dengan pertanyaan yang serupa. Hal itu membuat Aksara hampir kehilangan kendali. Aksara mendelikan matanya dan menghentikan motornya di suatu parkiran.

"Turun," titah Aksara dengan tampang dingin. Sembari membuka helm full face nya.

Lantas Tari turun dengan pundak Aksara sebagai tumpuannya.

"Ko' kita kesini?" heran Tari dengan memperhatikan Aksara yang mulai turun dari motor.

"Makan dulu." Aksara memandang wajah Tari lekat. Untuk seperkian detik mereka berpandangan. Dan Tari yang pertama kali memutuskan pandangan.

"Helm." Tari mengerutkan keningnya samar. Membuat Aksara berdecak kesal. Teringat sesuatu, Tari menggerakan tangannya untuk melepas helm di kepalanya. Tapi pergerakannya didahului Aksara. Dia membukakan helm yang dipakai Tari lalu menyimpannya di jok motor.

"Yang tadi di mob-"

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro