AKTARI || 14. Ombrophobia

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lo gak boleh gini. Kek bocah, yaampun. Emang kenapa, sih, kalo lo punya a-"

***

"HUA ... GUE GAK MAU PUNYA ADIK LAGI!" Dia menyela. Kakinya ia gunakan untuk menendang angin guna melampiaskan ketidakterimaannya.

"Yasmin, dengerin gue." Kakinya berhenti menendang. Dia mendongak kala salah satu gadis ikut jongkok-menyetarakan tubuh mereka.

"Lo gak bisa nolak kehadiran seseorang yang bahkan belum lahir ke dunia ini."

"Tapi gue gak mau, Hilda. Gue gak mau punya adik. Titik." Mengusap kasar air matanya, Yasmin kembali meraung. Membuat ketiga temannya saling pandang. Menggeleng hampir bersamaan dan saling menunjuk dengan dagu masing-masing.

"Lo percaya gak, dulu, kakak laki-laki tertua gue pernah ada di posisi lo saat ini. Bagi dia, udah cukup punya tiga adik. Terlebih, perempuan semua.

"Bahkan, dia nekat guntingin baju yang baru dibeli ayah buat si bungsu yang belum lahir. Tapi sekarang, kadang gue ngerasa kakak gue lebih sayang sama si bungsu daripada ketiga adiknya yang lain.

"Lo boleh kayak gini sekarang, tapi gue jamin, itu hanya sementara. Ini cuma bentuk ketidakterimaan lo karena takut orang tua lo pilih kasih. Gue ngerti itu. Tapi gue yakin, suatu hari nanti lo bakal sayang sama adik lo melebihi sayang ke diri lo sendiri."

Sofa memberi ceramah panjang lebar. Tari dan Hilda dibuat mengangguk-angguk di tempat. Yasmin terdiam sejenak. Tapi tak lama, dia kembali meraung. Berteriak dengan kekesalan yang berada di puncak. Sungguh, dia tak ingin memiliki adik saat ini. Terlebih, di usianya sekarang?

"By the way, kok, lo bisa tahu bunda lo hamil?" Mengingat bagaimana dia mengetahui itu, Yasmin kembali meraung. Dia melempar pensil yang tergeletak di sampingnya.

"Gue nemuin testpack di toilet. Pas gue googling, ternyata testpack yang gue temuin, positif. Gue tanya ke bunda, katanya, dia kelepasan. Mana udah empat minggu, lagi."

Ketiga temannya terbahak. Membayangkan raut garang Yasmin saat bertanya pada sang bunda, dan raut wajah polos sang bunda saat menjawab pertanyaan dari anak tunggalnya.

Menertawai nasib seorang gadis yang tak ingin memiliki adik, alasannya cukup simple. Dia tak ingin kasih sayang orang tua yang diberikan kepada Yamin sepenuhnya, harus terbagi dan kemungkinan besar sang adik yang akan mendapatkan kasih sayang lebih banyak dari mereka. Padahal, kasih sayang orang tua kepada setiap anak, sama rata, bukan?

"Terus gak lama, gue nemuin buku tentang Buah Hati gitu, ada bentuk love-nya juga disana." Bahu Yasmin berguncang. Napasnya tersendat dengan tangan yang sesekali bergerak untuk menghapus kasar linangan air matanya.

"Gue penasaran, 'kan, pas gue periksa isinya, ternyata ayah bunda udah buat program sama dokter kandungan sejak lama," lanjut Yasmin dengan teriakan kesal di akhir kalimatnya.

Sebenarnya, ketiga sahabatnya cukup prihatin dengan nasib Yasmin. Tapi, sungguh, mereka tak bisa menahan tawa mereka lebih lama. Dan tentu saja, Yasmin dibuat semakin meraung tak jelas karenanya.

"Udah, Min, lo harus atur emosi lo. Satu minggu lagi kita tampil, loh, kita harus latihan sungguh-sungguh. Ingat, ini salah satu mimpi kita buat bisa tampil di depan mereka. Kita harus capai mimpi kita sama-sama."

Hilda mengingatkan. Dia menatap Yasmin dengan sunguh-sungguh. Membuat ketiga orang di sekitarnya saling pandang sejenak lalu menghambur memeluk Hilda hampir bersamaan. Sedikit terhuyung, Hilda balas memeluk lantas tertawa bersama mereka.

Sebentar lagi mereka akan tampil, di hari ulang tahun sekolahnya. Dan tentunya, mereka tak ingin persiapan yang telah mereka lakukan akan sia-sia hanya karena emosi mereka yang tak menentu.

Karena itu, mereka akan saling mengingatkan untuk menjaga mood sebaik mungkin. Karena mood yang baik sangat diperlukan untuk mereka latihan.

***

Tari
Kak Aksara, bisa tolong jemput aku?

Pria dengan alis tebal itu hanya melirik ponselnya sejenak. Mengabaikannya dan kembali menyesap sebatang rokok yang tinggal setengah.

Sesekali dia meregut secangkir kopi di hadapannya. Memberikan sensasi ketenangan tersendiri bagi Aksara.

Lima menit berlalu, dia bangkit dari duduknya. Beranjak keluar dari sebuah Kafe kedap suara, dia dikejutkan oleh gemuruh langit yang menumpahkan rintikan airnya.

Dengan gerakan cepat, dia mengecek ponselnya dan memastikan notifikasi tadi berasal dari gadis yang dicintainya.

Tanpa berpikir panjang, dia melesat-berlari menerjang hujan menghampiri motornya.
Menjalankannya dengan perasaan gelisah terhadap gadis di luar sana.

Hal yang pertama melintas di ingatannya adalah saat dia menjemput Tari dengan menggendong sebuah gitar di punggungnya. Lalu ruang seni musik di sekolah menjadi kemungkinan di mana gadis itu berada.

Berlari setelah memarkirkan motor di parkiran sekolah yang sudah sangat sepi, dia membuka kasar pintu coklat sebuah ruangan lalu terdiam sejenak. Perlahan, dia berjalan masuk menelusuri ruangan kedap suara dengan banyak alat musik di sana.

Lalu pandangannya terkunci pada sebuah gitar klasik yang bertengger cantik di stand-nya. Saat itu juga Aksara terdiam cukup lama menatapnya.

Tersadar, dia kembali menelusuri ruangan lantas memastikan tak ada gadisnya di sini.

Membuka kasar satu persatu pintu kelas yang ada di sekolah yang cukup luas, Aksara mengumpat karena belum menemukan Tari. Lantas dia menghampiri motornya lalu mencari di tempat yang lain.

Dia sungguh mengkhawatirkan Tari. Raut gelisahnya tiba-tiba melintas di pikiran Aksara. Jari tangan yang saling bertaut, pandangan mata yang bergulir ke beberapa titik, serta rahang yang sesekali gemerlatuk, cukup menyiksa batin Aksara begitu saja.

Jika Aksara menyukai apapun yang berkaitan dengan hujan, lain dengan Tari yang justru selalu merasa cemas dan gelisah ketika langit menumpahkan tangisannya.

Ya, Tari mengidap ombrophobia. Atau bisa dikenal dengan pluviophobia, yaitu rasa takut akan hujan yang meliputi gangguan kecemasan umum dan bisa terjadi pada anak-anak ataupun orang dewasa.

Penyebab ketakutan ini biasanya bermula dari ketakutan karena terlalu sering mengonsumsi berita bencana alam dan adanya insiden traumatis.

Aksara yakin, penyebab Tari mengidap ombrophobia tak lain karena dia mengalami kejadian traumatis terkait dengan hujan di masa lalu.

Ah, bagaimana jika dia benar-benar terjebak hujan dan melawan ombrophobia-nya ... seorang diri?

***

Gadis itu mendesah kecewa saat dilihatnya baterai ponsel yang menyisakan satu persen. Segera, dia memencet aplikasi dengan ikon hijau. Mencari kontak Olive lalu mengetikan sederet kalimat agar pak Dadang menjemputnya di halte dekat sekolah.

Lagi-lagi, desahan kecewa Tari meluncur kala melihat pesan yang terkirim dengan centang satu. Terlintas satu nama, dia mencari kontak seseorang dengan nama Kak Aksara.

Ragu, dia mengetik sederet kalimat tanya lalu menyentuh tombol kirim di sana.

Dua menit berlalu, centang biru tak jua terlihat. Berpikir sejenak, Tari teringat sebuah aplikasi yang sudah lama terinstal di ponselnya.

Pesan ojol saja!

Sampai di beranda aplikasi ... bip. Ponselnya tiba-tiba mati. Tari mendengus kasar dibuatnya.

Menyesal tak mengecek baterai ponsel saat teman-temannya mengajak pulang bersama, tadi, dengan sok-nya dia menolak ajakan mereka dan berdalih pak Dadang akan menjemputnya. Lalu sekarang, dia harus apa? Mengharap angkutan umum melewatinya di waktu yang hampir petang? Ya, semoga keberuntungan berpihak padanya.

Mengembuskan napas berat, dia mendudukan bokongnya pada kursi besi di sana.

Lalu tiba-tiba dia menautkan jarinya gelisah kala dilihatnya awan sore yang tak menampilkan cerahnya lagi. Meski tak selalu terjadi, hari ini dia cukup yakin, hujan akan segera turun.

Sedetik setelah suara hati Tari berhenti, saat itu juga tetes air tiba-tiba terdengar jatuh menghantam atap halte bus. Saat itulah terdengar gemuruh petir menyambar. Angin sepoi-sepoi kini menyeret kesejukan yang tak ingin Tari rasakan.

"Dengar lagunya. Jangan dengar suara hujannya. Jangan buka mata sebelum reda. Tenang, ada gue di samping lo."

Dengan gerakan kasar, dia membuka resleting ransel dan merogahnya. Mencari sebuah earphone dengan kepanikan yang luar biasa.

Mendapat apa yang dicari, dengan segera dia memasang di kedua telinga dan mengambil ponsel di sakunya. Sial. Ponselnya, 'kan, mati. Dia merutuki kepanikan yang justru menelan pikiran jernihnya.

Gadis itu bangkit dengan pupil mata yang bergerak tak beraturan. Air matanya menggenang dan ingin segera diluncurkan. Rintihan kecil mulai lolos dari bibir yang kian memucat.

Ia harus bagaimana?

Sekujur tubuhnya meremang kala gemuruh petir kembali menyambar. Seketika itu juga jantungnya bertalu cepat tanpa segan.

Tari merasakan kaki yang menopangnya melemas seketika. Ia kemudian jatuh terjongkok di tepi jalan raya.

"B-bunda ... Tari takut."

Ia menelusupkan kepala di antara lutut yang kini tertekuk gemetaran. Kedua tangannya ia gunakan untuk menutup telinga guna menghindari suara bising hujan yang memekakan. Bulir bening perlahan mengalir membasahi pipi. Pingsan. Hanya itu yang terlintas di benak Tari.

"Kak Aksara ... aku takut."

Ia merasakan pandangannya mulai berputar. Namun, ketika gadis itu hampir terjatuh dalam genangan, sepasang tangan kokoh mendekap erat bahu mungilnya.

"Kak, a-aku takut...."

"Tenang, ada gue."

Setelahnya, yang Tari rasakan hanya dekapan hangat lalu kesadaran perlahan menghilang bersamaan dengan netra yang terpejam.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro