AKTARI || 17. Not Today

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tari sudah mendudukan bokongnya kala langit berubah murung. Tapi, alih-alih menyandarkan tubuh rileks pada sandaran jok, dia justru duduk tegang dengan jari yang saling bertaut. Matanya digerakkan tak fokus dengan bibir yang ia gigit ke dalam.

"Bunda...."

Sementara di luar mobil, sebuah tangan berhenti pada hendel pintu mobil. Aksara memandang sendu langit kelabu. Menghela napas sangat berat, dirinya memasuki mobil dan mendudukan bokong di belakang kemudi.

Ditatapnya lamat Tari yang sudah pucat pasi, rintik air hujan mulai turun membasahi bumi.

Dia meraih sebuah earphone yang tergeletak di jok belakang. Dipasangkannya pada kedua telinga Tari, dia berujar dengan menatap tepat di kedua matanya. Mengunci pandangan Tari untuk fokus pada ucapannya.

"Mereka memang berisik, tapi menenangkan di saat yang bersamaan."

Tari terhenyak. Dia tenggelam dalam tatap menenangkan. Waktu seolah berhenti meredam suara hujan yang menyesakkan. Keduanya terhanyut dalam ketenangan yang menentramkan.

Tari tak pernah merasa setenang ini saat hujan sedang menyapa bumi. Aksara berhasil membuatnya berdamai dengan keadaan. Mengenyahkan segala ingatan yang membuatnya bergetar ketakutan.

Tari masih terdiam menikmati ketenangan yang tak pernah ia rasakan. Pikirannya berkelana memutar tiap pertemuan dengan pria di hadapannya. Sampai pada dirinya yang bermimpi saat sedang di mobil Aksara....

"BUNDA!"

Aksara mengurungkan niat melepas earphone kala Tari menggelengkan kepala dengan tempo cepat tiba-tiba. Matanya kembali berembun dengan bibir yang semakin ia gigit ke dalam. Kini, rintikkan air hujan menjadi satu-satunya suara yang bisa Tari dengar.

Tari meluruhkan air mata dan berkata lirih. "A-aku gak bisa...."

Aksara tersenyum tulus lalu menghapus air mata Tari dengan ibu jarinya. Dia menyetel sebuah lagu dengan earphone yang sudah tersambung dengan gawainya.

Mungkin belum sekarang.

***

"Kamu anugrah buat Papa. Kamu salah satu bahagia Papa."

Aksara membawa langkah gontai dengan pandangan kosong. Beberapa kalimat yang dilontarkan Heri terus terngiang bagai kaset rusak yang terus memutar bagian yang sama.

Langkahnya berhenti pada sebuah pintu kayu jati. Cukup lama terdiam tanpa pergerakan, ia mengarahkan tangan kanan untuk mencapai hendel dan menariknya ke bawah.

"Papa sayang sama kamu. Dan selamanya tetap begitu."

Dengan gerakan lamban, Aksara mendorong membuat pintu terbuka sepenuhnya. Masih di tempatnya berdiri, dia memandang sebuah gitar yang bertengger pada stand-nya. Sebuah hadiah yang menyimpan banyak kenangan untuknya. Salah satu benda kesayangan yang selalu Aksara mainkan dan dijaga dengan sepenuh hatinya.

Kini, benda itu tak pernah disentuh lagi.

"Maafin Papa, ya...."

Aksara hendak mengangkat satu langkah kaki ke depan. Tapi urung saat diingatnya sebuah kalimat yang Heri lontarkan.

"Menikahi mamamu menjadi kesalahan besar pada saat itu."

Pria itu menarik lagi tangannya dalam satu kali tarikan. Hingga bunyi blam terdengar dan menghentak seorang wanita paruh baya yang sedari tadi mengamati di balik tembok tak jauh dari pintu itu berada.

Wanita itu meringis. Dihapusnya jejak air mata yang meluncur pada pipi kanannya, dia berujar lirih dalam hati.

Kapan Aksara bisa berdamai dengan keadaan?

***

"Zee!"

Gadis yang terpanggil menoleh. Debas terdengar kala dilihatnya pria berambut ikal yang dalam berapa lagkah dapat sampai di hadapannya.

"Zee, please...."

Tari terdiam menatap pria di hadapannya sedkit lama. Dirinya menimang apakah harus mendengarkan Aslan atau berpaling seperti biasanya.

"Zee, dengerin penjelasan gue kali ini...."

Mengingat percakapan Aksara dan Heri kemarin, Tari sedikit penasaran dengan cerita versi Aslan. Dia ingin menjawab keingintahuan jawaban dari pertanyaan yang selama ini mengganjal di pikiran.

Menghela napas berat, anggukan samar akhirnya ia perlihatkan.

"Gue tau, mungkin ini terlambat. Tapi, maafin gue, Zee." Dua kalimat pertama yang mengudara mampu mengalihkan atensi Tari dari Cappucino Ice Blend yang sedang diseruputnya. Tari menunduk kembali. Mengaduk asal minuman dengan sedotan di sana.

"Gue pergi ke London, dulu. Gue menempuh hidup baru di sana, memperbaiki ikatan keluarga yang udah lama retak."

Tari sedikit terkejut dengan penjelasan to the point dari Aslan. Meski begitu, egonya sedikit menekan agar Tari tak mengalihkan perhatian.

"Gue tau, ini gak adil buat lo. Gue salah karena pergi tanpa pamit. Gue jahat karena biarin lu dalam kebingungan. Gue brengsek karena biarin lo hadapin rasa takut lo sendirian. Tapi, Zee ... gue gak ada pilihan." Suaranya sedikit parau. Hati Tari sedikit tersentil dengan ucapan-ucapan Aslan.

"Gue benci sama bokap." Tari mengernyit. Meski demikian, dirinya tak berniat membuka suara sedikit pun.

"Gue sama nyokap hancur banget pas tau dia udah beristri lagi dan punya anak seumuran gue. Artinya, dia selingkuh belum lama setelah menikah sama nyokap gue, bukan?" Aslan terkekeh. Senyum pahit tampak samar di sana. "Gue gak nyangka, dia sehebat itu buat nyembunyiin selingkuhannya selama hampir enam belas tahun."

Tari menghela napas berat diam-diam. Dirinya sudah menduga Aslan akan membicarakan ini. yang perlu Tari lakukan hanyalah diam dan mendengarkan.

"Nyokap gue histeris, dia bahkan bawa pisau dapur pas tanya bokap gue mau pilih dia atau selingkuhannya. Dengan segala drama yang ada, akhirnya bokap pilih gue sama nyokap. Lalu, kami terbang ke London dua hari setelahnya." Aslan menghela napas berat. Dirinya menyandarkan tubuh pada sandaran kursi dengan tatapan menerawang.

"Gue benci karena bokap pilih nyokap atas dasar kasihan. Gue tau dia cinta sama selingkuhannya. Gue pengin hidup berdua aja sama nyokap. Tapi gak bisa, nyokap udah terlanjur cinta sama beliau. Akhirnya, gue gak bisa apa-apa selain menerima."

Tidak, Tari tidak ingin menampilkan raut wajah kasihan sama sekali. Hatinya hanya sedikit terenyuh membayangkan masa sulit Aslan. Tidak seperti Aslan yang selalu ada di sisi Tari, dia malah sibuk dengan pikiran negatifnya terhadap kepergian Aslan. Tari menyembunyikan air matanya dengan menunduk dalam.

"Tapi akhirnya, gue bersyukur. Setidaknya, bokap gak pilih Aksara sama ibunya. Gue tau, mereka sama terlukanya. Tapi, gue gak bisa liat mereka ada di radar gue. Itu semakin membuka luka di hati gue, Zee. Karena itu, gue selalu naik darah kalo lihat Aksara."

Tari semakin mengerti dengan penjelasan yang Aslan utarakan. Dia menggabungkan kepingan puzzle yang berserakan. Tentang Aksara yang membenci ayah dan gitarnya, Aslan yang menghilang tiba-tiba, juga hubungan keduanya yang ternyata memiliki ayah yang sama.

"Zee...." Aslan memanggil lirih. Tari mendongak. Dia tersentak saat melihat jejak air mata yang perlahan mengering di pipi kanan Aslan. Sepersekian detik, pandangan mereka berada pada satu garis lurus.

"Jauhin Aksara dan kita mulai dari awal, ya...."

Now suddenly you're asking for it back
Could you tell me, where'd you get the nerve?
Yeah, you could say you miss all that we had
But I don't really care how bad it hurts
When you broke me first
You broke me first

Aslan tersenyum pahit. Lagu You Broke Me First yang mengalun indah di seantero kafe, berhasil menamparnya telak.

Tari menunduk. Keduanya terdiam menghayati lirik demi lirik dari lagu yang berputar. Tari dengan lukanya yang kembali terbuka, Aslan dengan penyesalan dan rasa bersalah kepada gadis di hadapannya.

Ya, meski penjelasan Aslan bisa Tari terima, dirinya tetap penyebab dari luka yang Tari dapatkan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro