Awal Mula: 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Indah tetaplah Indah di manapun dia berada. Meskipun kuliah berhubungan dengan kesehatan, tapi ketika berbelanja hampir semua makanan yang dibeli adalah camilan ber-MSG. Habisnya inilah tahun di mana hidupnya tidak terlalu diperhatikan oleh orang tua di rumah. Dulu, camilan seperti yang dipegangnya sekarang hanya bisa dimakan seminggu sekali. Sekarang walaupun dilarang, dia tetap bisa memakannya karena tidak ada yang mengawasi dari dekat.

Meskipun sekarang dia tinggal bersama kakaknya yang telah menikah, kakaknya itu tidak akan terlalu ambil pusing. Namun, Kak Akiya, nama istri kakaknya, pasti protes habis-habisan kalau melihatnya berbelanja camilan terlalu banyak seperti ini. Wajar saja, Kak Akiya adalah seorang dokter, dapat mandat langsung dari ibu mertua untuk memperhatikan kedua anaknya. Namun, menurut Indah, Kak Akiya tidaklah terlalu ketat terhadapnya, dan Indah suka itu. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh berlebihan.

Indah mengecek jam di ponsel, ternyata hampir tiga puluh menit dia di minimarket. Tidak lama lagi Gie tiba di rumah kakaknya, dia harus segera bergegas. Setelah semua dirasa cukup untuk menemani diskusi mereka malam ini, Indah pun membayar belanjaannya dan keluar dari sana. Percayalah, setiap kali Indah berdiri di minimarket tepat di hadapan perempatan, dia akan berakhir bingung seperti sekarang. Andaikan saja tangannya tidak penuh kantong belanjaan, dan membawa mobil, pasti dia bisa menggunakan map saja. Beginilah jika sok-sokan ingin jalan sore.

"Bentar lagi magrib lagi. Tapi aku yakin, setelah jalan lurus, pasti belok kanan." Indah mulai misuh-misuh. Jalanan berkelok-kelok mulai dia salahkan. "Rumahnya gak jauh, kok, pasti dapat." Meskipun mencoba optimis, tapi lihatlah sekarang. Indah berakhir di depan gang kecil yang tidak dia kenali, atau mungkin dia sebenarnya pernah melewatinya.

"Ya tuhaaan, kenapa aku dilahirkan buta arah seperti ini," ringisnya. Indah meletakkan belanjaannya di jalan untuk sesaat, berniat mengecek map. Entah kesialan apalagi tiba-tiba ponselnya kehabisan baterai.

Indah ngomel-ngomel sendiri, menyalahkan dirinya yang tidak pernah memperhatikan baterai ponsel kecuali jika sudah mati. Dia melirik ke kanan dan kiri, mencoba memasuki gang sempit ini. Seingatnya memang ada beberapa gang sempit ketika hendak memasuki perumahan kakaknya.

"Mana buta arah, ke mana-mana pakai mobil, pakai map, sekarang milih jalan kaki. Indah, Indah, otaknya pintar tapi kadang gak guna, ceroboh."

Semakin jauh berjalan, yang Indah dapatkan malah suasana semakin sepi, hanya tembok-tembok rumah warga saja yang terlihat sedang menghimpitnya saat ini. Indah membuang napas kasar, berniat berbalik ke tempat semula. Tidak sulit karena dia hanya perlu jalan lurus. Namun, perjalanannya mendadak semakin mencekam ketika melihat dua orang cowok berjalan di depannya sambil senyum-senyum, bersiul. Indah merasakan tangannya mulai berkeringat, dan mulai cepat-cepat melangkah.

"Eits, cewek malam-malam dari sini mau ke mana?"

Tepat ketika melewati kedua cowok itu, Indah langsung memasang langkah seribu. Di depan matanya ujung gang terlihat, dia yakin jika berhasil keluar dari sini dia bisa leluasa terlepas dari orang asing di belakang yang turut mengejar.

"Woi!"

Indah meringis, dalam hati dia berjanji ke manapun dia pergi akan menggunakan kendaraan saja daripada jalan kaki dan berakhir seperti ini. Indah mulai merasa sesak, matanya mulai terasa panas ketika menengok ke belakang orang-orang itu semakin memperpendek jarak.

"Dapat! Kita belum kenalan, jangan langsung nyelonong lah."

Indah mengadu kesakitan saat lututnya bersentuhan dengan aspal. Barang belanjaannya berserakan di gang. Matanya tidak bisa melihat jelas dua cowok yang berada di sebelah kiri dan di depannya yang sedikit menutup akses ujung gang di depan sana sebab sudah menangis tidak karuan. Barulah Indah dapat berteriak meminta tolong ketika saku celanannya dipegang, hendak mengambil ponsel, terlebih lagi cowok di depannya memperlihatkan pisau.

"Tolong!"

"Sekali lagi lu teriak, tamat lu di sini."

Pisau hampir menusuk leher Indah andai saja cowok itu benar-benar ingin menusuknya. Indah mulai memelankan suara, berusaha memikirkan sesuatu.

"Cuma ini yang lo punya? Dompet?"

"Aku gak ada dompet." Meskipun bisa menjawab di saat tengah berpikir keras, matanya tetap tidak ingin berhenti menangis, tenggorokannya selalu ingin berteriak meminta tolong.

"Bohong!" Cowok itu melirik temannya yang memegang ponsel Indah. "Buka aja bajunya, kita cek, sekalian pesta gratis."

Senyum jahat dua cowok itu kembali membuat Indah histeris. Jaketnya dibuka paksa, bahkan mulutnya berusaha untuk ditahan agar tidak mengeluarkan suara. Namun, Indah tidak kehabisan akal, dia menggigit tangan orang itu, dan melepaskan jaketnya dengan cepat agar bisa berlari secepat mungkin. Usahanya berhasil, dia berteriak dengan keras. Sayangnya, kedua orang itu berhasil meraihnya lagi.

"Lu gak bisa kabur. Nyerah aja lah. Salah sendiri masuk ke sini."

Tawa mereka seperti memecah gendang telinga Indah. Kedua tangannya sudah dipelintir ke belakang. Usaha terakhirnya hanyalah berteriak sekeras mungkin, berharap ada orang di ujung lorong sana yang akan muncul.

"Tolooong!"

Tepat ketika pisau dari salah satu cowok hampir menikam lengan Indah, seseorang melempar dua cowok itu dengan batu. Sebelum kedua begal itu bangkit, dia berlari secepat mungkin hanya untuk melemparkan batu yang sama ke arah dua orang itu lalu meraih tangan Indah dan segera kabur dari sana.

"Woy! Sialan!"

Indah menghapus air matanya yang menggenang di pelupuk untuk melihat siapa yang menolong. Sedetik kemudian, dia sadar dan semakin menangis.

"Gie makasih."

Gie mengernyit lalu melirik tangan gadis yang digandengnya. "Kamu? Ya ampun. Buruan." Gie langsung menyalakan motor dan menyuruh Indah segera naik sebelum orang-orang itu semakin mendekat.

Indah baru bisa menghela napas lega ketika melihat orang-orang itu memaki di ujung gang. Tangisnya langsung pecah detik itu juga. Beberapa menit lalu dia sudah berpikir hidupnya akan hancur di tempat rantau, tapi yang maha kuasa masih memberinya kesempatan dengan mengirimkan Gie untuk menolongnya.

"Indah? Kamu gak papa? Ada yang luka?" Suara Gie ikut bergetar, sedikit teguncang juga ketika tahu siapa orang yang baru saja diselamatkannya.

"Aku gak papa, Gie. Makasih, ya. Aku cuma kehilangan HP aja."

Mata Gie membulat. "Aja? Kamu bilang aja?"

Indah mengernyit, "Terus apa? Beruntung, kan, kalau HP aku aja yang hilang! Kalau yang lain gimana? Nyawa aku misalnya. Gimana, sih."

Gie tertawa sambil mengangguk-angguk. Benar juga, hampir saja hal lebih buruk terjadi. Jika saja dia tidak salah belok, mungkin saja dia tidak bertemu Indah di sini. Namun, dia tetap penasaran kenapa Indah bisa ada di sini. "Kamu kenapa bisa sampai ke sini?"

Indah menghela napas lalu menjelaskan semuanya. Setelah mendengarkan itu, Gie semakin tertawa hingga membuat Indah kepanasan saking malunya.

"Aku sebenarnya juga salah jalan, kok. Lagian perempatan di sini punya gang-gang banyak banget, jadi aku lupa perumahan kamu belok mana. Tapi, masa iya kamu yang selalu lewat sini bisa lupa. Di luar nurul."

Bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro