Kisah Cerpen: 1

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pemandangan orang-orang berlalu lalang di hadapan dua mahasiswa baru itu menjadi sesuatu yang patut disyukuri. Entah bagaimana ceritanya mereka berdua berakhir di sebuah cafe yang tidak jauh dari kampus. Hampir tiga puluh menit bersama, belum ada yang memulai pembicaraan.

Gie menghela napas, menggaruk tengkuk seraya sebelah jarinya sibuk menggoyangkan kursor laptop ke sana kemari tanpa tujuan, matanya saja sibuk menatap pelanggan lain. Indah pun sama, sibuk melihat-lihat keadaan cafe.

"Waktu berharga loh. Kalau kamu gak pengen ngomongin apa-apa, lain kali mikir dulu buat ngajak aku. Waktu aku harus didedikasikan sebaik mungkin untuk menjadi apoteker. Paham, kan?" Indah meraih ponselnya di atas meja, lalu memasukkan benda pipih itu ke dalam tas. Bukannya marah, dia paham perasaan cowok di sebelahnya. Tidak nyaman, canggung, dan masih banyak lagi.

Jujur saja, Indah pun merasakan hal yang sama. Lagi pula siapa yang tidak seperti itu ketika hanya berdua dengan orang asing, apalagi ini pertama kalinya Indah berdua dengan cowok di tempat umum. Indah memang tidak pernah pacaran. Semasa selokah, waktunya banyak dihabiskan belajar dengan giat untuk masuk ke kampusnya sekarang.

"Gini, ya, Gie? Gie, kan?" Setelah memastikan Gie mengangguk, Indah kembali melanjutkan ucapannya, "Kenapa kamu tertarik sama uang panaik? Kenapa kamu harus buat cerpen tentang itu?"

Gie menghela napas. Untungnya Indah mulai membuka percakapan di antara mereka. Bukannya tidak bisa memulai, hanya saja Gie bingung. Ini pertama kalinya dia duduk berdua dengan cewek di tempat umum, pacaran pun dia tidak pernah. Malu juga sebenarnya. Akan berbeda jika ngumpul ramai-ramai.

"Maaf, aku ganggu kamu. Makasih karena udah pengen bantuin aku. Aku pengen nulis cerpen tentang uang panaik untuk tugas akhir organisasi budaya karena tertarik setelah mendengar salah satu senior membahas tentang suku Bugis." Gie memeperlihatkan artikel dari laptopnya dan kembali menjelaskan. "Dan aku nemu fakta kalau cewek suku Bugis merupakan salah satu cewek yang gak gampang diajak nikah karena uang panaik ini."

Indah tersenyum, tangannya menggulir artikel di hadapannya sampai akhir. Di situ tertulis bahwa tahapan adat dan derajat menjadi penyebab cewek Bugis sulit untuk didapatkan. "Gini, Gie. Sebenarnya gak semua suku Bugis menetapkan uang panaik sebanyak yang kamu pikirin."

Gie mulai memperbaiki posisi duduk dan bersiap mencatat hal-hal penting untuk bahan tulisannya. Dia sungguh tertarik dengan suku Bugis, dan juga tertarik dengan suku di luar pulau Jawa. Dari dulu, Gie memang ingin menuliskan banyak cerita dengan latar belakang suku yang berbeda-beda. Sejauh ini, karya tulisanya masih berputar di sukunya sendiri, suku Jawa.

"Tapi, zaman sekarang jarang banget ada gadis Bugis yang nikah uang panaiknya kurang dari tujuh puluh juta."

Gie menghela napas. "Dapat uang dari mana segitu? Cowok-cowok yang nikah sama cewek Bugis kaya-kaya?"

Indah tertawa seraya menggeleng. "Gak semua, kok. Aku udah bilang, kan, tadi."

"Gak semua?"

"Iyap. Sebenarnya cerita tentang uang panaik bisa panjang banget, Gie. Aku jadi pusing sendiri jelasinnya mulai dari mana." Indah mendorong kembali laptop Gie ke hadapan cowok itu. "Namaku Andi Batari Indah. Dalam suku Bugis, Andi adalah gelar yang diberikan untuk keluarga keturunan bangsawan. Uang panaik untuk perempuan penyandang Andi ini gak kaleng-kaleng, Gie. Untuk cowok penyandang gelar Andi pun harus siap sedia mempersiapkan uang panaik sebanyak mungkin agar tidak dipandang rendah di mata orang-orang Bugis."

Gie menganga. Ternyata uang panaik tidak sesimple yang dia dengarkan. "Uang panaik itu sebenarnya apa? Beda sama mahar?"

Indah kembali mengangguk. "Uang panaik itu uang yang diberikan oleh pihak laki-laki ke pihak perempuan sebagai simbol penghargaan bagi calon istri. Uang panaik digunakan untuk keperluan perayaan pernikahan. Sedangkan mahar? Kamu tau sendiri, kan? Gak perlu aku jelasin."

Gie kembali menatap Indah sepenuhnya setelah beberapa menit menuliskan beberapa informasi. Dia tersenyum, sangat beruntung sekali bisa mendapatkan apa yang dicarinya dari orang yang tepat. Beginilah keindahan yang Gie maksud ketika menjadi seorang penulis. Banyak mencari hal baru yang sebelumnya sangat asing, dan kegiatan ini selalu membuat impiannya terasa dekat.

"Setelah aku dengar penjelasan kamu, kowe bakal nikah karo suku apa?" Gie berusaha menahan tawa ketika mengucapkan kalimatnya barusan. Wajah bingung dan kesal di depannya saat ini sangat menghibur.

"Ndk paham ka. Kasi paham dulu." Indah membalas menggunakan bahasa sehari-harinya ketika di kampung halaman.

Gie tersenyum lebar, semakin menikmati kebersamaan mereka. Indah pun demikian, tidak menyangka bisa seleluasa ini berbicara dengan orang asing.

"Hahaha maaf, Indah. Tadi aku bilang nanti kamu nikahnya mau suku apa? Tetap Bugis?"

Indah bersedekap dada sambil menatap lurus laptop di atas meja. "Aku ... aku sesuai sama yang di atas aja deh. Kalau dikasihnya sama suku lain aku gak masalah, kok. Cuma, mungkin akan sedikit sulit aja jalannya."

Gie mengernyit. "Sulit?"

"Kamu pasti tau kalau ada orang yang pernah bilang kenapa harus beda suku kalau bisa yang sama aja. Iya, kan?"

Mereka saling pandang, di otak masing-masing memikiran pernikahan beda suku yang terjadi, bahkan ada yang tidak jadi menikah karena beda suku. Sedetik kemudian mereka tertawa, seperti paham akan pikiran satu sama lain.

"Pikiran kita sama ya? Kamu pasti mikirin banyak yang nikah beda suku. Tapi, Gie di kampung aku, banyak yang sesama suku tapi pada akhirnya nikah lari atau dalam bahasa Bugis namanya silariang gara-gara mereka gak direstui karena faktor salah satu mempelai bukan dari keluarga bangsawan, atau uang panaiknya gak mencapai target, tapi mereka saling suka."

Gie menganga. "Beneran? Parah juga efek uang panaik ini."

"He'em. Makanya, jangan suka sama cewek Bugis kalau belum mapan. Kalau bukan dari keluarga bangsawan, minimal mapan, lah." Indah melirik Gie sejenak. "Aku tau apa yang ada di pikiran kamu. Kamu pasti mikir suku Bugis terlalu materialistis. Tapi, begitulah Bugis, Gie."

Gie menghela napas mengetahui fakta ini. Memang benar yang dikatakan Indah, dia memang berpikir seperti itu. Terlalu tidak bijak menghalangi cinta hanya karena macam perbedaan.

"Jangan tegang gitu. Gak semua orang-orang suku Bugis begitu."

"Keluarga kamu gitu gak?"

Pertanyaan Gie membuat Indah terhenyak. Seketika tidak dapat menjawab detik itu juga. Apa yang telah dia paparkan tadi masih sedikit, belum seutuhnya. Jika Gie tahu lebih banyak, bisa-bisa cowok itu tidak ada niatan suka dengan orang Sulawesi. Bukan berarti Indah kecewa, hanya saja dia tidak suka ketika gadis-gadis suku Bugis banyak yang dihindari karena masalah adat.

"Indah? Sampeyan mesthi lara?" Gie menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Indah.

Indah menatap Gie dengan jengkel. "Tidak tau. Keluargaku de' to nappakkero. Maga memengi? Loki sibawa iyya?"

Giliran Gie yang melongo. Melihat wajah bingung Gie, Indah sontak menyemburkan tawa.

"Makanya, jangan usil. Bingung, kan. Hahaha pokoknya kalau kamu pakai bahasa Jawa, aku bakalan pakai bahasa Bugis."

Gie ikut tertawa. "Oke, kita lihat siapa yang gak jengkel lebih dulu."

Indah mengangguk sambil mengulurkan tangan, hendak bersalaman dengan Gie. "Tangan kamu."

"Untuk?"

"Udah, sini." Indah pun meraih tangan Gie sambil tersenyum. "Aku Andi Indah Batari dari Bone, Sulawesi Selatan. Suku Bugis. Semoga betah berteman sama aku."

Gie melebarkan senyumnya. Jika diingat-ingat, mereka memang belum memperkenalkan diri selayaknya awal pertemanan. Selama hampir dua bulan ini, Gie terus menghampiri gedung kuliah farmasi hanya untuk mencari keberadaan Indah, selalu mengikuti gadis itu untuk membantunya. Tepat dua hari lalu, akhirnya Indah setuju membantunya ketika gadis itu melihatnya duduk lesu di depan gedung kuliah Indah.

"Aku Gie Angga dari Yogyakarta, suku Jawa. Semoga betah temenan sama aku."

Indah dan Gie melepaskan jabatan tangan mereka dan mulai membereskan barang-barang mereka. Rasanya sudah cukup lama mereka di sini sampai-sampai memesan minum dan makanan dua kali.

"Oh iya, kenapa kamu akhirnya mutusin buat bantu aku?" Gie melirik Indah sekilas yang tengah sibuk merapikan rambut.

Indah ikut melirik Gie sebentar. "Muka kamu payah banget. Nungguin aku di depan gedung kuliah sampai sore. Aku kasian, kusamperin aja. Lagian gak ada salahnya bagi-bagi informasi sama penulis, sekalian aku juga bisa belajar nulis sama kamu. Aku punya cita-cita kayak kamu Gie."

Gie berhenti dari pergerakannya, menatap Indah dengan fokus. "Penulis?"

Indah mengangguk semangat, tapi membuang napas pasrah detik berikutnya. "Kapan-kapan kita cerita lagi. Aku harus pergi sekarang. Aku ada tugas untuk besok."

Gie jadi tidak enakan sekarang karena telah mengganggu waktu gadis ini. "Sori, aku ganggu. Aku anterin, ya?"

Indah tertawa kecil. "Gak, kok. Udah jadi keputusanku bantu kamu. Tapi nganterin aku pulang boleh juga, hemat biaya."

"Siap. Kapan-kapan kita lanjut. Aku masih butuh informasi. Kalau boleh aku minta nomor kamu, ya?"

Indah mengangguk lalu menerima sodoran ponsel Gie dan mengetikkan nomornya di sana. "Chat aja, kalau aku gak sibuk bakalan kubalas secepat mungkin."

"Makasih."

Note:

*Ndk paham ka. Kasi paham dulu: Aku gak paham, bantu aku paham, dong.
*Keluargaku de' to nappakkero. Maga memengi? Loki sibawa iyya?: Keluargaku sepertinya gak gitu. Kenapa? Kamu mau sama aku?

Ada gak, nih, yang punya temen orang Bugis?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro