Menurutmu: 5

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Indah sudah bosan menghela napas berulang kali. Matanya terus menatap lurus taman di sebelah gedung tempatnya mendengarkan mata kuliah beberapa menit lalu. Sudah seminggu dia tidak pernah mendapat pesan masuk Gie sampai-sampai Indah ragu mengirimkan pesan kepada cowok itu. Selama ini, Gie yang selalu mengabarinya lebih dulu.

Sekarang dia terus berharap agar mendapati kehadiran Gie di kursi taman, mengirimkan pesan bahwa cowok itu sudah kelelahan menunggu. Indah kembali menghela napas, kali ini helaan itu mengganggu Mesya yang tengah kesulitan menghafalkan sesuatu dari buku catatannya.

"Kenapa, Neng Bugis dari tadi hela napas terus? Gelisah gak ketemu Gie?" Mesya menarik kursinya agar lebih dekat dengan teman pertamanya semenjak memasuki dunia perkuliahan.

Indah tersenyum kecut, berulang kali meminta maaf. Dia tahu kalau tindakannya memang sedikit mengganggu. Namun, tidak dapat dipungkuri kalau ucapan Mesya benar. Sepertinya ada yang salah setelah pertemuan terakhir dengan Gie malam itu.

"Udah sedekat apa kamu sama Gie, Ndah? Udah hampir selesai semester satu loh kita dan kamu ternyata masih selalu bareng dia." Kali ini Mesya betul-betul ingin tahu hubungan dua manusia berbeda fakultas ini. Pertemuan mereka di kantin waktu itu ternyata berlanjut hingga sekarang.

Karena tidak kunjung mendapat jawaban, gadis berambut panjang dan berwajah khas cewek-cewek Sunda itu pun kembali meluncurkan pertanyaan yang membuat Indah kalang kabut. "Jangan-jangan kamu udah pacaran sama Gie, ya?"

Wajah tengil Mesya sungguh membuat Indah kesal. Memang benar dia dekat dengan Gie, tapi untuk pacaran rasanya tidak mungkin. Gie bisa saja menyukai gadis lain di fakultasnya, bukan? Buktinya saja seminggu ini cowok itu tidak pernah mengunjunginya lagi.

"Gak, Sya. Gak mungkin aku pacaran sama Gie. Kita cuma teman, sebatas mendiskusikan hal yang kita suka aja." Jika boleh jujur, sebenarnya Indah tidak rela mengatakan itu semua. Rasanya seperti mengkhianati diri sendiri.

Mesya tersenyum miring seraya memicing. "Gitu, ya. Yahhh, padahal Gie udah nunggu di sana, Ndah, liatin kamu."

Indah yang dari tadi menghadap Mesya seketika memegang kaca jendela di sebelahnya, mencari keberadaan Gie. Satu detik, dua detik, Indah memperlihatkan wajah kesalnya pada Mesya. "Gak lucu, Sya. Lain kali kalau pengen bohong, ending-nya lucuan dikit lah, jangan bikin nyesek."

"Lah! Kamu ngaku suka sama Gie barusan." Mesya terbahak-bahak juga akhirnya. Beruntung hanya ada mereka berdua saat ini dalam ruangan. Teman-temannya sudah berada di kantin mengisi energi sebelum mata kuliah berikutnya.

Indah memelotot, kepalanya tambah berat, dan entah mengapa telingnya ikut memanas. Dia sudah menghitung di dalam hati, memastikan dalam hitungan kesepuluh, kepalanya akan meledak. Namun, saat yang ditunggu malah tidak jadi ketika notif ponselnya memunculkan nama Gie di sana. Jantungnya lebih heboh lagi ketika membaca isi pesan singkat itu kalau Gie sekarang berada di taman. Indah langsung memalingkan wajah ke arah tempat Gie berada dan menemukan cowok itu duduk sambil memegang sebuah buku. Selalu, Gie selalu terlihat memegang satu buku yang berbeda tiap mereka bertemu.

"Sya, aku duluan. Jangan lupa kabarin kalau jadwal kuliah udah mau dimulai. Aku takut lupa waktu." Indah memasukkan barang-barang secara asal, melesat secepat kilat hingga membuat Mesya kehabisan kata-kata.

Tidak butuh waktu lama, Indah sudah berada dia lantai satu. Sebelum muncul di hadapan cowok itu, dia mengatur napas, takut ketahuan berlari karena ngos-ngosan. Bukannya apa, Indah tidak mau dibilang sangat bahagia melihat kehadiran Gie setelah menghilang. Setelah dirasa aman, Indah berjalan ogah-ogahan menghampiri Gie yang sudah tersenyum lima jari menyambutnya.

"Cepet banget nyampenya. Kamu lari?" tanya Gie sambil memperbaiki tali tasnya yang melorot.

Indah membulatkan mata dan merutuki dirinya detik itu juga. "Enak aja!" Tangannya memukul punggung cowok itu lumayan keras hingga Gie kaget. "Siapa juga yang lari. Emangnya kamu siapa harus disamperin pakai cepet-cepet segala!"

Gie meringis, tapi juga ketawa. Setelah seminggu tidak bertemu, melihat Indah seketika memberinya warna baru hari ini. "Ya udah, sih, Ndah. Gak usah tabok-tabok juga. Sakit tau."

"Eh? Beneran? Aduh, sori." Wajah khawatir Indah membuat Gie gemas. "Gue sengaja." Detik itu juga raut Indah berubah jadi ketus hingga membuat mulut Gie menganga.

"Kesel karena aku munculnya kelamaan? Ya gimana, aku sibuk. Gak ada waktu ketemu sama kamu." Gie sengaja membuat Indah tambah kesal. Semenjak mengenal Indah, dia jadi makin mahir membuat orang-orang di sekitarnya ingin memaki, terlebih Indah.

Indah membuang napas sebal. Tidak ada gunanya meladeni sikap Gie yang satu ini. Bisa-bisa dia tua lebih cepat sebelum sempat menjadi apoteker. Namun, Indah bersorak dalam hati saking senangnya melihat Gie hari ini. "Kamu beneran sibuk? Sibuk apa?"

Gie membuang napas pelan. Sebenarnya dia tidak begitu sibuk sampai-sampai tidak punya waktu bertemu Indah, hanya saja selama itu otak dan hatinya tengah berperang. Dia berusaha mendinginkan diri dengan sibuk mempersiapkan proyek organisasi dan tugas-tugas menulisnya. Kali ini, tugas menulis itu bukan hanya melibatkan penilaian dosen, tapi juga berkaitan dengan pemilihan naskah untuk drama bulan bahasa di fakultasnya.

Sampai detik ini, hatinya masih kerap panas mengingat ucapan kakak Indah malam itu. Dia tidak akan pernah menyukai orang yang merendahkan diri dan impiannya. Namun, Indah adalah orang yang tidak gampang untuk dihiraukan. Jika boleh, Gie ingin Indah selalu berada di hidupnya. Sudah senyaman itulah hatinya. Gie menatap Indah dengan tatapan sendu. Gie bahkan belum sempat mengucapkan apa yang dirasakannya, tapi sudah ada kesulitan yang terasa nyata di antara mereka.

Indah sadar akan perubahan Gie, dia pun tidak begitu bodoh sehingga tidak sadar ada yang mengganggu cowok itu. "Gie ... kamu baik-baik aja?"

Gie mengangguk sambil tersenyum. "Baik, Ndah. Kamu?"

Indah tidak dapat tersenyum. Entah mengapa, wajah Gie yang sekarang terlihat tertekan. Mungkinkah karena dirinya? "Aku selalu baik kalau ketemu kamu, Gie. Kamu juga gak bisa bohong kalau sebenarnya kamu gak baik-baik aja."

Untuk beberapa saat mereka berhenti bersuara, membiarkan keramaian sekitar mengisi jeda waktu itu. Gie ingin memperjelas sesuatu, sedangkan Indah ingin mengetahui apa yang ada di benak cowok di sebelahnya. Pemandangan gedung putih di depan mereka seperti menonton sebuah pertunjukan peran batin yang terjadi. Daun-daun gugur pohon yang menaungi mereka seperti memberi tepukan meriah agar pertunjukannya bisa lebih menarik.

Angin berembus sedikit kencang hingga hampir melepaskan topi hitam yang selalu dikenakan Gie saat ke kampus. Cowok itu bergumam sejenak sebelum melontarkan pertanyaan, gumaman samar yang tetap dapat Indah dengar dan cukup membuat jantungnya berdebar kencang.

"Gie? Gie ... kamu serius?" Indah tidak dapat berkedip detik itu juga.

Gie tersenyum tipis, menatap netra kelam Indah seraya mengangguk. "Aku nyaman di dekat kamu. Aku gak bohong, Ndah. Tapi aku pengen kamu jawab dengan jujur pertanyaan aku." Gie membuang napas sebelum melanjutkan kalimat berikutnya. "Apa gak masalah kamu temenan sama aku? Kita beda, Indah."

"Beda?" Indah tidak mengerti. Perbedaan seperti apa yang membuat Gie jadi gelisah seperti ini?

"Apa aku bisa sama kamu meskipun kita beda? Kehidupan kita jauh berbeda, Ndah. Kamu sadar kalau itu bisa jadi bumerang buat pertemanan kita?"

Indah mulai paham sekarang. Namun, yang tidak dapat dia pahami, apa yang membuat Gie jadi berpikir seperti ini? Gie yang dia kenal sangatlah optimis, tidak mudah terpengaruh. Lihatlah sekarang? Indah jadi ragu mengakui cowok di depannya ini bukanlah Gie.

"Aku gak tau kenapa kamu ngomong seperti itu, Gie. Kalau kamu belum mau jabarin alasannya, let me tell you something kalau pertemanan kita jadi bumerang, kenapa gak sekalian aja kita perparah dengan hubungan yang lebih serius? Udah basah, lebih baik nyebur sekalian."

Eh eh eh, Indah ngode😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro