Mulai: 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Tidak ada sengatan matahari siang ini, awan hitam bergumul di sana sejak pagi, entah kapan hujan turun. Koridor-koridor gedung farmasi juga sedikit lenggang, tidak seperti biasanya yang ramai dilalui mahasiswa. Setelah lima menit berlalu, barulah keramaian terlihat di ujung lorong. Mahasiswa akhir semester tiga ramai keluar ruangan setelah bertempur habis-habisan mengerjakan ujian akhir semester.

Keramaian itu perlahan mengurai, mereka berhambur ke jalanan utama gedung farmasi bersamaan dengan turunnya gerimis. Lama-lama hantaman kecil air langit itu perlahan menderas. Indah masih di dalam ruangan, melihat butir hujan mengganas di luar sana lewat jendela. Matanya terus terarah ke arah taman, berharap seseorang yang selalu berada dalam kepalanya ada di sana.

Nyatanya orang itu tidak muncul hari ini. Beberapa hari lalu, Indah pernah melihat Gie di sana, menunggunya ketika dia sedang mengerjakan soal. Bagaimanapun juga, Indah tidak bisa keluar ruangan. Setelah kejadian malam itu, dia dan Gie sudah tidak pernah saling berkomunikasi lewat ponsel lagi. Kakaknya mengambil kartu selulernya dan memasangkan kartu lain yang hanya berisi nomor keluarga.

Setelah kejadian itu juga, mamanya terus mengabari setiap hari, memastikan dia fokus ujian meskipun tidak lama lagi dia akan pindah kampus di kota asalnya. Indah lagi-lagi menangis, bagaimana bisa dia fokus mengerjakan semua soal-soal itu saat mereka semua dengan tega melakukan ini semua. Padahal, di awal masuk kuliah dia tetap mengikuti perkuliahan dengan baik, nilainya tidak pernah rendah, dan yang paling penting dia masih selalu berpergian dengan Gie, tidak ada yang salah dengan pertemanannya dengan Gie.

"Kamu nangis mulu, lho, Ndah, sehabis ujian. Kamu masih belum mau cerita sama aku?" Mesya yang dengan setia terus menemani Indah akhirnya kembali menanyakan hal serupa. Mesya kasihan melihat Indah seperti kehilangan harapan, tidak seceria biasanya, benar-benar berubah.

Indah tidak menggubris, tatapannya tetap tertuju pada taman yang kini kursi-kursinya telah basah diguyur hujan. Ingin rasanya Indah berdiri di sana, membiarkan air menghantam kepalanya agar semua pikiran yang bersarang di sana ikut luruh ke tanah. Dia sungguh telah kehilangan bahagianya untuk kesekian kali.

"Kamu kenapa sama Gie?" Mesya langsung saja ke inti masalahnya. Sebab tidak ada yang bisa membuat Indah semenyedihkan ini kecuali Gie.

Alih-alih menjawab pertanyaan Mesya, gadis berambut sebahu itu malah menenggelamkan kepalanya sambil terus terisak. Mesya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia tidak memiliki cara membujuk orang patah hati. Mesya tidak masalah jika menyambut masalah dengan air mata, hanya saja jika setiap hari seperti ini tidak akan ada penyelesaian.

"Nangis emang normal, Ndah, kalau lagi ada masalah, tapi nangis setiap hari mana bisa dapat solusi?"

Indah sigap menatap Mesya dengan tajam. "Kamu gak tau aku ngalamin apa, Sya. Kamu memang benar, nangis gak mendatangkan solusi karena emang masalahku gak ada solusinya." Indah semakin terisak, membuat Mesya kalang-kabut sendiri.

"Aduduh, Ndah. Kenapa atuh Neng Geulis? Maafin aku, ya. Sini-sini." Mesya merutuki dirinya sendiri. Kali ini mengaku salah karena langsung berkomentar tanpa tahu seperti apa kesulitan yang dihadapi Indah. Dia menyandarkan kepala Indah di bahunya sambil menepuk-nepuk pelan lengan gadis itu. "Aku gak tega liat kamu nangis terus. Emangnya gak ada yang bisa aku bantu, Ndah?"

Indah menggeleng pelan, masih tersedu-sedu ketika membayangkan sisa waktunya di sini tidak akan banyak. "Aku cuma pengen rasa hidup sama pilihanku, Sya. Dari kecil aku selalu nurutin orang tuaku, selalu dengerin mereka. Sekarang aku pengen mutusin semuanya atas kehendakku, Sya."

"Aku emang gak tau apa masalah kamu, Ndah. Aku cuma pengen bilang, bisa jadi kehendak orang tua kamu sama dengan apa yang Tuhan udah atur untuk kamu, Ndah. Belum saatnya, tapi aku yakin pasti ada waktu untuk kamu mutusin segalanya sendiri."

Tangisan Indah mulai mereda. Perkataan Mesya terngiang-ngiang di kepala. Keinginan orang tua bisa jadi keinginan Tuhan juga. Kalau seperti ini dia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa. Dia tahun keputusan Tuhan selalu lebih baik dari apa yang dia pikirkan. Namun, kenapa dia tidak bahagia?

"Aku pengen bahagia karena keputusanku sendiri, Sya. Aku pengen hidup seperti itu. Tapi aku gak melihat ada celah."

Mesya mengerutkan keningnya, tidak paham kalimat Indah. "Gak ada celah?"

"Bahkan istri kakak aku aja masih sering dipantau sama mama aku, Sya. Apalagi aku, anak satu-satunya perempuan," lirihnya.

Mesya menggeleng tidak percaya. Ternyata pandangannya terhadap hidup Indah selama ini salah. Orang berduit, tidak selamanya bahagia. Dia menghela napas, memeluk temannya untuk menenangkan. Saat itu jugalah matanya menangkap kehadiran Gie di luar sana, tengah menyibak bulir-bulir air dari jaketnya.

"Indah, orang yang kamu tunggu ada di sana," tunjuknya ke arah taman dan diikuti oleh Indah.

Detik itu juga, Indah meraih kasar tasnya dan berlari keluar ruangan. Entah sejak kapan hujan berhenti, yang jelas dia bersyukur bisa bertemu Gie setelah tidak saling mengabari. Saking semangatnya berlari, dia sampai tersandung kaki sendiri ketika jarak antara dirinya dengan taman tersisa beberapa langkah lagi.

Gie yang tadinya sibuk dengan jaketnya yang sedikit basah, kini teralihkan dengan cepat ke arah Indah. Dia berlari mendekati gadis itu dan mengecek apakah Indah baik-baik saja.

"Kamu jangan lari-lari, dong," ceramah Gie seraya membersihkan celana Indah di bagian lutut.

Berulang kali Indah menghapus air mata yang mengaburi objek di depannya, tapi tetap saja tidak berhasil. Dia langsung memeluk Gie erat-erat samb menangis. "Maafin aku, Gie. Maafin aku. Maafin aku," ulangnya terus-menerus.

Gie berusaha melepaskan pelukan Indah sambil mengatakan bahwa Indah tidak salah. Hatinya sakit melihat orang yang disukainya menangis kesakitan seperti ini. Tanpa sadar dia juga ikut berkaca-kaca.

"Bawa aku pergi, Gie. Aku gak mau pulang, aku mau sama kamu," ucapnya terputus-putus karena masih dikuasai oleh tangis.

"Ayo, kita bicara sambil jalan-jalan, naik motor," ajak Gie sambil menarik tangan Indah ke arah parkiran. Dia sudah merencanakan menghabiskan waktu dengan Indah, seperti janji mereka yang ingin menghabiskan waktu selepas ujian akhir semester.

Indah masih sedikit sesegukan, tangannya yang satu sibuk menyibak air matanya yang terus turun. Setelah dapat melihat dengan jelas, dia menatap punggung Gie dengan sedih.

"Gie ... aku gak mau pulang. Gak ada yang ngerti sama aku," lirihnya lagi.

Mereka tiba di parkiran. Gie tersenyum lebar sambil memperlihatkan helm yang dia pinjam dari temannya. Tanpa disuruh, Gie memasangkan pelindung kepala itu kepada Indah dan tidak lupa mengaitkannya agar erat. "Keluarga nomor satu Indah. Aku gak mau bahas itu di sini. Aku gak mau kebersamaan kita habis dimakan kesedihan." Gie memegang kepala Indah yang telah dibalut helm, masih dengan senyuman. "Aku pengen kenangan terakhir kita manis untuk dikenang."

Indah kembali menangis, kali ini tanpa suara. "Semanis apapun kenangannya, kalau gak dikenang sama kamu, Gie, rasanya tetap sakit."

Gie menurunkan tangannya lalu menggenggam tangan Indah. Dia tidak bisa membalas ucapan Indah, kisah mereka mungkin saja tidak berakhir sesuai harapan mereka.

"Perjuangan kita baru dimulai, Ndah. Aku masih berjaung, kamu pun harus begitu."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro