Hari yang pahit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bagai disambar petir, hatiku hancur melihat rumah berdinding kayu kusam itu. Lihat, bahkan tiangnya sudah digerogoti rayap di beberapa sisi. Yang membuatku lebih hancur, rumah itu adalah rumah orang tua Devan, suamiku. Bagaimana aku bisa hidup di tempat reyot ini?

“Ayo masuk, Sayang,” ucap laki-laki yang telah menikahiku empat tahun lalu. Ia menenteng tas besar dan koper berisi pakaian kami. Sedangkan aku masih terpaku dengan bayiku dalam dekapan.

Aku diam menahan tangis. Bukan ini yang ada dalam bayangan. Bukankah Devan bilang, mertuaku termasuk orang kaya di kampung? Punya tanah dan sawah yang lumayan banyak dan luas. Tapi apa yang ini? Rumah saja reyot.

“Mama, cini!” Suara Amel ; anak pertamaku yang berusia 4 tahun membuyarkan lamunan. Gadis itu berlari kecil menghampiri. Meraih tanganku dan menariknya.

“Iya, Sayang,” sahutku mengikutinya.

Dengan berat hati ku paksa kaki melangkah masuk ke dalam rumah tua itu, sebelum tatapan menyebalkan para tetangga yang berkumpul di sekitar rumah itu semakin tajam. Seolah menghakimiku. Apa yang salah denganku? Bahkan tak ada yang kukenal di antara mereka.

Rumah ini cukup luas, tapi sama sekali tidak terawat. Satu set kursi kayu di pojok ruangan membuatku bergidik. Lantai tanah yang tidak rata menambah kesan mengerikan. Ada dua kamar yang terlihat. Sekatnya juga dari kayu. Saat menyadari tidak ada pintu pada setiap kamar, sontak aku menatap tajam ke arah Devan.

Devan berpaling kikuk. Jelas ia tahu bahwa aku tengah marah padanya.

Laki-laki itu tengah berbincang pelan pada seorang wanita tua yang kuyakini adalah ibunya. Wanita itu tersedu. Aku bingung, bukan menyambutku tapi malah menangis seolah kecewa pada sesuatu. Hatiku sesak dengan keadaan aneh di sini.

“Devan. Bagaimana kamu tega melakukan ini? Bagaimana nasib mereka? Kamu jahat, Nak,” lantang wanita tua itu sambil sesekali memukul bahu suamiku. Semakin tersedu saat menyadari aku telah berdiri di sini.

Aku masih membisu. Sulit sekali menebak apa yang sedang terjadi. Air mata sudah menggenang sejak tadi. Namun, sekuat tenaga tak kubiarkan luruh sampai saat ini.

Entah apa yang dimaksud, tapi hatiku kalut bukan karena itu. Kami baru saja dari perjalanan jauh. Membawa bayi yang belum genap tiga bulan. Tapi tidak disambut dengan baik. Ingin murka rasanya. Hanya mampu mematung dan memberi tatapan setajam mungkin pada suamiku.

“Sayang, duduk dulu di sini. Biar aku yang gendong bayi kita.” Bayi yang belum sempat kami beri nama ini tidur dengan tenang. Melihat wajahnya membuatku ingin menangis. Betapa nekat kami membawanya dalam perjalanan hampir tiga belas jam.

Devan menghampiriku. Mengambil alih anak laki-lakinya. Lalu menuntun raga ini duduk. Sempat menyalami ayah mertua, laki-laki yang mirip dengan Devan. Laki-laki beruban itu menatapku sayu. Tampak jelas kepedihan di sana.

Hatiku terluka, untuk pertama kali bertemu dengan keluarga suami, tapi rasanya kehadiranku tak diharapkan sama sekali.

Aku diam sampai semua orang pergi. Devan memintaku beristirahat di kamar. Kasur kapuk yang sudah keras dengan seprai lusuh juga bantal yang penuh titik-titik hitam pada keempat sudutnya. Aku menangis, mengelus bayi mungil yang masih terlelap sejak tadi.

Kutumpahkan genangan di pelupuk mata. Tidak peduli akan terdengar isak pedih ini sampai luar. Hampir habis nafas menahan sesak di dada. Banyak sekali pertanyaan yang membuatku gusar. Tidak sabar melemparkannya pada Devan.

“Sayang, dede bayi udah bobo?” Suara Devan membuatku segera menoleh padanya. Kubiarkan air mata berlinang. Aku ingin dia melihat jelas bahwa aku terluka.

Laki-laki bertubuh tinggi itu mendekat. Berjongkok dan menggenggam tanganku. Aku masih diam dengan tangis yang tak kunjung reda.

Maafin aku, Sayang.”

“Untuk apa? Emangnya kamu ada salah apa?” pancingku di sela tangis.

“Sebenarnya, a-aku udah punya istri.”

Aku menyeringai, “Leluconmu gak lucu, Dev. Kamu pikir itu bisa menghiburku?”

Sungguh menyebalkan. Aku tidak butuh lelucon saat ini. Aku hanya butuh penjelasan.

“Aku sudah beristri saat melamarmu.” Devan tampak tidak bercanda.

Sontak aku melotot. Kejutan apa lagi? Belum sempat kudapat penjelasan, tapi lagi-lagi dihantam kepedihan yanh lebih dalam. Semua tampak berputar, dan gelap. Sekuat tenaga kupertahankan kesadaran.

“Kamu gila, Devan,” ucapku lirih. Tidak melihat perubahan pada ekspresi laki-laki itu membuat hatiku semakin ngilu. Nafasku sesak. “Kamu gila?” Teriakku. Seperti hilang akal, tanganku menarik erat rambutku sendiri. Rahangku mengatup menahan amarah.

Maafin aku, Diara sayang.... Maaf.” Ia memelukku erat. Menahan kedua tanganku. Genggaman tangannya semakin kuat saat tubuhku melemah. Duniaku benar-benar berhenti berputar, lalu semua gelap.

***

Samar-samar kudengar suara Devan menelefon seseorang. Kepalaku sakit sekali. Setelah sepenuhnya sadar, tak kudapati bayiku.

Dev....”

“Sayang, kamu udah sadar? Alhamdulillah.” Laki-laki itu mengelus rambutku pelan. Ia menatapku sendu. Sesekali menunduk menyembunyikan air matanya.

“Empat tahun, Dev.” Devan menunduk lagi. Aku kembali menangis. Mengetahui bahwa aku telah dibohongi selama ini sungguh lebih menyakitkan dari pada disambut dengan tidak enak tadi pagi.

“Kamu benar-benar gila.” Tangisku kembali pecah. Tak mampu mengutuk lebih banyak lagi, atau hatiku semakin terluka. Pantas saja kedatanganku bersama anak-anak tak disambut hangat.

Devan menggenggam tangan kananku dan menciuminya bertubi-tubi. Kata maaf tak terhitung lagi. Aku lelah. Perjalanan panjang membawa bayi, sambutan tidak menyenangkan, serta kenyataan pahit. Tidak memberiku sedikit waktu untuk beristirahat sejenak.

Bagaimana mungkin aku adalah istri ke dua Devan? Tanpa sengaja aku telah merebut suami orang. Selama 4 tahun Devan selalu bersamaku. Bagaimana perasaan istrinya? Ya Tuhan, apa yang telah kulakukan sehingga semua ini terjadi?

Untuk apa aku memikirkan perasaan perempuan itu? Aku adalah korban. Benar, aku tidak melakukan kesalahan.

“Di mana Amel dan bayiku?” tanyaku setegar mungkin.

Amel bermain di luar, bayi kita ada bersama Emak di depan.”

“Pulangkan kami ke rumah orang tuaku, Dev.”

“Tapi, Sayang... Kumohon tetaplah di sini. Tolong jangan seperti ini.” Kudengar Devan terisak.

Aku tersenyum kecut. “Tetap di sini? Sedangkan kehadiranku bukan yang mereka inginkan. Di mana istrimu? Di mana dia selama ini?” Aku tak peduli lagi jika tangisku terdengar sampai luar. Dinding kayu ini pun tak mungkin mampu meredam.

“Tenangkan dirimu dulu, Sayang. Kita bahas ini nanti saja. Kasihan dede bayi. Maafin aku, tapi tolong jangan begini.”

Laki-laki ini benar-benar gila. Bagaimana ia memintaku tenang? Setelah menipuku habis-habisan. Aku tak mampu lagi bicara. Lelah diri dan juga hati. Kutepis tangan Devan lalu pindah posisi membelakanginya.

Air mataku tak juga kering. Berkelebat kenangan dulu saat pertama kali bertemu dengan Laki-laki ini. Ketika untuk pertama kalinya aku jatuh hati pada laki-laki yang belum lama kukenal.

Ingatanku melayang saat anak pertama kami lahir. Semakin banyak kenangan teringat, semakin dalam pula sesak dalam dada. Entah bagaimana setelah ini aku menjalani hidup. Rasanya lebih baik mati.

Aku tertidur karena kelelahan menangis. Entah pukul berapa saat bayiku menangis. Sejak kapan pula sudah di sampingku. Amel juga terlelap di sisi adiknya. Segera kususui bayi malang itu. Kutepuk pelan pahanya. Air mata kembali merebak. Habislah wahai air mata. Aku sangat lelah.

Aku bangun dari kasur setelah memastikan bayiku kenyang. Seluruh badanku sakit karena berbaring di atas kasur keras menyebalkan ini. Aku terus merutuk dalam hati. Rindu sekali dengan kasur kami di kota.

Tenggorokanku kering, butuh minum. Sejak datang, belum sempat minum atau bahkan duduk tenang, malah disuguhi kenyataan pahit berkali-kali. Setidaknya aku tidak boleh limbung lagi saat nanti mendapati kejutan lain. Siapa tahu masih banyak yang Devan sembunyikan selama ini.

Dengan gerakan sepelan mungkin mencari botol air mineral yang sempat kubeli saat perjalanan. Aku menemukannya di sebelah tas besar yang masih tertutup rapat.

Segera kutenggak sebanyak mungkin setelah membuka tutupnya. Perutku protes minta diisi. Ke mana Devan? Lampu ruang tamu masih menyala terang. Ternyata Devan dan mertuaku sedang berbincang di sana.

Aku keluar kamar karena tidak kuat lagi menahan lapar. Jangan sampai pingsan lagi. Kepalaku masih sedikit pusing saat berdiri.

“Sayang,” panggil Devan saat melihatku.

“Aku laper. Ada sesuatu yang bisa di makan?” tanyaku tanpa basa-basi. Bukan hanya keroncongan, tapi perih merambat perlahan di dalam sana. Mungkin karena terlambat makan, perutku juga terasa sangat tidak nyaman.

“Bentar aku ambilin nasi dulu. Tadi Emak masak, kita juga udah makan. Mau bangunin kamu tapi gak enak.” Ayah dari anak-anakku itu beranjak mengambilkan makanan. Aku melihat mertuaku sekilas. Mereka terlihat tidak baik-baik saja. Tentu saja. Anaknya pulang membawa istri ke dua tanpa sepengetahuan mereka. Sama sekali bukan hal yang mudah di terima.

Hatiku nyeri tiap mengingat bahwa aku bukan yang pertama. Fakta rumah reyot mungkin bisa kuterima seiring berjalannya waktu. Tapi yang satu ini? Bagaimana aku harus menerimanya? Berulang kali aku menelan ludah. Mataku sembab dan sakit. Untuk pertama kalinya menangis sehebat ini selama empat tahun menikahi laki-laki menyebalkan itu.

Devan membawakan sepiring nasi dan lauk ke dalam kamar. Aku memilih makan di sini. Andai bisa, aku ingin menghilang saja.

Kulihat wajah polos bocah empat tahun dan bayi tiga bulanku yang tengah terlelap. Air mataku kembali mengalir. Aku menangis di sela kunyahan. Aku harus tetap makan demi kalian. Maafin mama, Nak. Maafin mama.

Kutelan suapan demi suapan dengan berlinang air mata. Belum genap sehari di rumah mertua saja aku sesakit ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro