9. Kosong

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Hidupku saat ini baik-baik saja.

Seharusnya memang seratus kali lipat lebih baik daripada aku yang hancur di masa lalu.

Tapi kekosongan yang kurasakan tetap tidak terisi. Lubang di hatiku meninggalkan kehampaan tidak berujung.

Aku selalu bertanya-tanya, apa yang harus kulakukan pada diriku sendiri? Aku sudah melindungi hati ini sebaik mungkin. Agar tidak kembali dilukai, tidak dibuat lagi-lagi tersakiti. Sesekali aku memang terjatuh, tapi luka yang kutanggung hanya goresan, bukan lagi tikaman pisau yang membuatku hilang akal.

Kosong. Hampa. Rasanya hidup semakin tiada makna. Aku mulai lelah menjalani kehidupan, aku berharap bisa hilang ingatan.

Setiap aku membaik, sayatan luka itu kembali terbuka oleh mimpi. Mencabikku, menghancurkanku, menarikku kembali ke dalam kegelapan yang berusaha keras aku hindari.

Kenapa hanya aku?

Kenapa harus aku?

Kesalahan fatal macam apa yang sudah kuperbuat sampai diperlakukan seperti sampah di masa lalu?

AKu tahu aku tidak berguna, tapi aku selalu berusaha mengusahakan semua yang terbaik yang kubisa. Tapi tidak ada seorang pun yang mengerti. Bahkan anggota keluargaku pun menunjukkan punggung mereka seolah tidak peduli.

Mereka mencintaiku setelah aku hancur seperti ini.

Entah mereka benar menganggapku ada, atau karena aku sudah terlanjur ada dan bisa menjadi aib keluarga jika dibiarkan berantakan terlalu lama?

Apa pun motif mereka, bagiku tidak ada artinya. Karena semua perkataan mereka pada akhirnya tidak bisa diterima oleh akalku.

Dari aku yang sudah terlanjur hancur. Dari aku yang sudah terlanjur lebur.

Semua kalimat manis hanya seperti gula yang mematikan. Pada akhirnya ... aku pasti akan ditinggalkan.

Terjebak dalam kesendirian.

"Kenapa kamu nangis?" pertanyaan pantulan bayanganku di cermin membuatku meluruskan pandangan. Menatap aku yang lain dengan sorot sakit. "Seharian yang kamu lakuin cuma ngurung diri di kamar, kenapa kamu harus nangis?"

Aku menelan ludah. Berusaha mengingat alasanku menangis sesenggukkan padahal baru bangun tidur. Pagi ini aku memang terluka. Saking dalamnya luka yang kuterima, aku bahkan tidak ingin beranjak dari tempat tidurku.

"Tadi malem aku mimpi, ketemu sama orang yang ngebully aku di masa lalu," aku menelan ludah saat mengingatnya, "padahal aku udah lupa sama muka orang itu, tapi cowok itu tiba-tiba muncul di mimpi aku. Padahal aku udah lupa sama nama anak itu, tapi aku malah jadi keinget lagi sama semuanya."

Aku menjambaki rambutku sendiri, "Kenapa Tuhan sebenci ini sama aku?"

"Hm ..." dia menyahut tidak tertarik, "emang Tuhan itu ada?"

Aku berkedip, meremas jari-jariku sendiri dan menyahut, "Ada ... kayaknya."

"Kalau Tuhan ada, Dia gak bakalan biarin hidup kamu sehancur sekarang."

Mataku bergerak gelisah, "Tapi kalo Tuhan gak ada, mungkin aku masih hancur kayak dulu."

"Mungkin Tuhan emang ada."

"Hm." aku mengangguk. "Ibu bilang Tuhan itu ada."

Aku menangis lagi. Lukanya lagi-lagi terasa sakit, ingatan yang mulai samar kini kembali terungkit. Aku meringkik sambil meremas wajahku sendiri. Kenapa aku tidak bisa bersyukur dengan hidupku yang sekarang? Kenapa aku masih terjebak sesuatu yang sudah lama aku lewati?

Kenapa aku terus terperangkap di dalam penderitaan yang nyaris membunuhku berkali-kali?

"Aku boleh mati gak, sih?"

"Boleh kok." pantulan bayanganku tersenyum. Melirik gunting yang ada di meja rias, "kalo menurut kamu itu pilihan terbaik kamu boleh mati."

Aku tercenung.

"Dunia itu gak pernah adil." Dia memiringkan kepalanya. Senyuman di bibirnya tidak juga memudar, "kamu tahu satu-satunya yang bisa menerima kamu apa adanya itu cuma keluarga. Tapi makin lama, kakak atau adik kamu pasti sibuk dengan kehidupan mereka, orang tua kamu satu per satu pasti mati. Dan kalo kamu hidup terlalu lama, kamu bakalan ngerasain lagi sakitnya sendirian. Gak ada seorang pun yang butuhin kamu lagi."

Sendirian?

Ditinggalkan?

Merasakan perihnya kesepian yang dulu.

Aku menggeleng tidak mau.

"Kamu tahu?" aku menutup kedua telinga rapat. Tapi suara aku yang lain masih terdengar begitu jelas di kepalaku. "mungkin ... kematian gak seburuk yang orang-orang bilang."

Oh, begitu ternyata?

Ya, tidak ada yang pernah kembali dari kematian. Apa itu artinya mereka merasa nyaman? Karena mereka tidak perlu bertemu dengan orang-orang lagi, mereka tidak akan dilukai dan dibuat tersakiti.

Tapi mati itu gelap.

Aku menelan ludah, "Aku takut di tempat gelap."

Dia berdecak tidak suka. Tubuhnya keluar dari cermin, sambil menggebrak gunting di depannya. Dia memelototiku, "Jadi ... kamu lebih pilih menghadapi orang-orang busuk kayak mereka seumur hidup? Kamu tahu kamu gak bakalan bisa bertahan kalo semua orang yang peduli sama kamu sekarang hilang. Kamu itu cuma sampah dan semua sampah itu harus dibuang!"

Aku menangis sesenggukkan.

"Hidup kamu cuma jadi beban keluarga. Kamu tahu semahal apa semua obat yang kamu konsumsi tiap hari? Mereka mau kamu sembuh, tapi kamu tetep gak waras. Ngehidupin kamu itu cuma buang-buang duit aja."

Aku menunduk, "Ta-tapi, aku udah mulai bisa cari uang sendiri."

"Cukup?!"

Aku tidak bisa menjawab.

"KAMU ITU GAK PERNAH PUNYA PILIHAN SELAIN MATI!!!"

"TAPI-!" aku menyangkal. "Mereka bilang ... suatu hari nanti pasti ada orang selain keluarga aku yang mau terima aku apa adanya." 

Seseorang itu ... sudah berapa lama aku menunggu?

Seseorang yang akan menganggapku cantik bagaimana pun keadaanku. Seseorang yang tidak akan pernah pergi walau tahu aku hanya seonggok boneka rongsok. 

Seseorang itu...

"GAK ADA MANUSIA YANG PUNYA HATI SEBESAR ITU! DI DUNIA INI GAK ADA ORANG BAIK! MAU SAMPE KAPAN KAMU PUNYA PEMIKIRAN SETOLOL ITU!!!" dia balas meneriakiku. "Gak ada satu pun yang berharap kamu hidup, kamu itu sampah. Sampah. Sampah. Sampah. Dari lahir udah jadi sampah, sekarang malah jadi sampah busuk."

Sampah ... busuk?

"Mau sampai kapan kamu jadi beban orang lain? Kamu itu gak pernah sedikit pun berguna buat mereka."

Aku menangis histeris. Sakit sekali. Sejak awal aku sudah tahu itu. Dia tidak perlu mengatakannya berulang-ulang.

"Mati!"

Aku menggeleng.

"Mati!"

Aku menggeleng lagi.

"MATI!!!"

"AAAAAARGGGGGGHHHHHH!!!" teriakku parau. 

Dunia ini memang kejam.

Hidup itu menyakitkan.

Kenapa sampai hari ini aku bisa bertahan?

Tanganku terulur, namun sebelum meraih gunting, ada tangan lain yang mendahuluiku. Aku menoleh, Ibu berdiri di sana, menangis terisak, berusaha mengukir senyuman lebar.

"Ibu pinjem guntingnya, Sayang." Ibu berkata serak. Tangisanku berhenti spontan. Aku mengangguk sekali.

"Cermin di kamar Ibu pecah." Ibu melihat cerminku, "boleh sementara Ibu  pinjem cermin kamu?"

Aku melihat cermin di depanku, "Itu ... besar."

"Nanti biar minta Abang kamu yang mindahin."

Aku menunduk sejenak, lalu mengangguk lagi.

"Hm."

"Makasih, kamu bener-bener anak baik." Ibu memelukku erat. Mengecupi puncak kepalaku berulang-ulang, "anak cantik yang paling baik."

Ah, begitukah?

Aku anak cantik. Aku juga baik.

"Ibu bersyukur punya anak sehebat kamu."

Ibu bersyukur memilikiku. Ternyata ... begitu, ya? Mungkin masih belum saatnya aku mati. Setidaknya walau itu hanya Ibu, ada seseorang yang menganggap hidupku ada artinya.

"Bu..." panggilku pelan, aku balas memeluknya, "aku ... ada gunanya?"

"Jelas ada gunanya. Walau kamu gak mau keluar rumah, kamu ngelakuin semua hal yang bantu keluarga kita. Kamu bahkan mau bantu ngerawat Ibu kalau Ibu sakit. Kalo kamu gak berguna, mana mungkin Ibu sayang, kan?" Ibu melepaskan pelukannya, mengusap wajahku yang sembab, "Ibu bisa mati kalau kamu kenapa-napa. Kamu salah satu anak Ibu yang paling berharga."

Ternyata memang begitu.

Aku masih ada gunanya. 

Aku tersenyum kecil.

"Hm."

"Sekarang kamu makan dulu, terus minum obat." 

Aku berdiri dan menjawab, "Aku ambil makanan ke dapur sendiri."

Aku pergi ke dapur. Mengambil piring di rak, aku merasakan seseorang mengawasiku, saat menoleh aku melihat Ibu yang menatapku lalu tersenyum.

Aku balas tersenyum.

Ibu ... terlalu mengkhawatirkanku.

***

Saya mau klarifikasi beberapa hal ya.

Pertama, ini bukan cerita pribadi saya. jadi saya itu sering jadi tempat curhat beberapa orang yang ngalamin gangguan jiwa dan sebagian besar depresi. Mereka putus asa, udah berusaha deket sama Tuhan, meditasi, konsultasi ke dokter, tapi emang sembuh dari depresi itu gak gampang.

Orang-orang yang bisa membantu mereka yang hancur itu adalah lingkungan -kalian. 

Pertama dengan berhenti meremehkan masalah orang lain. Hal yang kalian anggap remeh itu bisa berarti masalah besar untuk mereka.

Kedua, jangan membandingkan dan mengatakan masalah kalian lebih besar dan buruk dibanding si penderita depresi. Karena bahkan walau masalah serupa, cara orang-orang menanggapi dan menanganinya gak sama. Jadi stop membandingkan dan mengatakan 'gue lebih'.

Ketiga, jika kalian tidak bisa peduli, setidaknya jangan menyakiti. Anggapan si penderita depresi itu gak deket sama Tuhan, disuruh lebih beriman, dll, itu sama sekali gak membantu mereka lebih baik. Singkatnya TUTUP MULUT BUSUK KAU ITU KALO KAU TIDAK PEDULI. Hahahahaha. 

Karena banyak orang yang depresi mengeluhkan hal ini. Mereka gak bisa cerita dan pilih tutup mulut karena terlalu banyak orang semacam itu di sekitar mereka. 

Keempat, jika kalian peduli, cukup dengarkan ceritanya. Biarkan dia mendengar kalimat menenangkan semacam 'masih ada yang peduli, masih banyak yang berharap kamu tetap hidup'. Well ... itu pasti lebih menenangkan daripada kalian ngoceh-ngoceh tentang kedekatan si pengidap depresi dengan Tuhan.

Dan untuk penderita depresi. Ada satu hal yang harus kamu tahu. Tidak ada seorang pun yang bisa menyembuhkan lukamu, selain diri kamu sendiri.

Semoga kita semua selalu sehat mental dan jasmani. XD




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro