🥀Home 6🥀

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Terlalu baik adalah sikap yang mudah untuk dimanfaatkan orang-orang munafik di luaran sana."

🥀🥀🥀


"TUNGGU!"

Cowok itu mengacak rambutnya sebal saat seorang cewek kembali mencegat jalannya. Padahal kelas sudah sepi karena bel istirahat telah berbunyi sepuluh menit lalu.

"Apa lagi, sih?" Alka Yudhistira menatap tajam pada cewek dari kelas sebelah itu.

"Tanggung jawab dulu!"

Alka berdecak sebal. Kalau ada yang mendengar ucapan cewek itu, sudah pasti dia yakin bahwa akan ada kesalahpahaman. Dikirnya dia sudah berbuat sesuatu yang tidak bertanggung jawab pada cewek itu. Padahal kenal dekat tidak, ketemu juga baru kali ini.

Salah, sejak kemarin.

Kemarin, cewek berlesung pipit ini tiba-tiba muncul di hadapannya, mengomel panjang lebar tentang tanggung jawab sampai ada yang salah paham. Alka masih ingat ketika dia mendapat tatapan sinis dari anak-anak kelas. Tentu saja dia langsung menjelaskan, bahwa masalah ini bukan perkara tindakan negatif.

"Apa sih lo?" tanya Alka dengan lebih galak.

"Heh! Kamu itu udah bakar sepatu Fay, jadi kamu harus ganti. Kasihan dia, ke sekolah cuma pake sendal," jawab Disya tanpa rasa takut sedikit pun.

Meski Alka ini anak dari orang berpengaruh dan terkenal sombong lagi killer, Disya punya segudang stok keberanian untuk memperjuangkan hak Fay.

Alka buang muka, muak mendengar alasan cewek ini sampai mengganggunya. "Semiskin itu dia, sampe buat beli sepatu baru aja gak mampu, dan nyuruh lo buat tagih ganti rugi ke gue?" serangnya pedas dan sarkas.

Beberapa cowok berjalan masuk kelas sambil mengobrol, tak mengindahkan keberadaan dua makhluk itu. Alka mengalihkan pandangannya pada mereka, hanya untuk mencari tahu apakah dia akan mendapat tatapan penuh selidik lagi seperti kemarin atau tidak. Namun, tiga cowok itu langsung ke belakang kelas, duduk bersandar ke tembok, dan mulai memiringkan ponsel. Suara opening game terdengar cukup kencang.

"Jahat banget mulut kamu, ya!" sembur Disya dengan nada kencang. Jelas saja suara lembutnya itu mengagetkan Alka.

Cowok itu lebih kaget karena mendengar kata-kata yang dilontarkannya, sih. Kata-kata penuh ultimatum dan tuduhan. Padahal dia merasa dirinya telah berlaku jahat.

"Apanya yang jahat?" Alka bertanya dengan nada datar.

Hal itu jelas saja bikin Disya tambah sebal. Alka ini entah betulan polos atau memang pura-pura tak menyadari kesalahannya untuk lari dari tanggung jawab. Wajah cowok itu yang tampak datar juga bikin kekesalan Disya makin menjadi-jadi. Rasa-rasanya sekarang dari tubuhnya keluar kobaran api besar yang siap membakar cowok di depannya sampai gosong.

"Udah deh, gue mau pergi. Minggir!" usir Alka. Tangannya terulur, hendak mendorong tubuh Disya, tetapi cewek itu lebih dulu menangkis tangannya.

"Gak! Dasar cowok angkuh dan nyebelin! Gak bertanggung jawab—"

"Berhenti nyebut gue gak bertanggung jawab!" potong Alka geram. Dia menajamkan pandangannya pada cewek yang lebih pendek darinya itu. "Orang-orang ngira gue udah hamilin lo! Kalau gue dipanggil ke ruang BK terus di-DO gimana?"

"Biarin!" Bukannya takut, Disya malah dengan sengit menjawab ucapan cowok itu. Keduanya beradu pandang, tetapi buru-buru dia mengalihkan tatapan karena ternyata seram juga berhadapan dengan cowok itu.

"Ck!"

"Lagian kamu udah salah, jadi sekalian aja aku bawa ini ke guru BK. Biar kamu ditegur sekalian!" ancam Disya.

"Jangan!" larang Alka. Tidak, dia tidak takut, tetapi terlalu malas berurusan dengan orang dewasa sekarang ini.

Diam-diam Disya melebarkan senyum. Dia kira ancaman asalnya tadi tidak akan mampu menggoyahkan cowok seangkuh Alka. "Ya udah, tanggung jawab, ganti rugi sepatu Fay kalau gak mau aku bawa kasus ini ke guru BK!"

Hela napas terdengar. Sebenarnya kalau perkara uang, Alka tidak akan merasa berat. Hanya saja, masalah ini lebih ke dia sebal pada Diysa. Cewek itu tak punya masalah dengannya, terkesan ikut campur. Padahal cewek culun yang sepatunya dia lempar ke tempat pembakaran sampah waktu itu tidak pernah muncul di hadapannya.

"Ck, iya!" putus Alka yang sudah malas berdebat. Dia merogoh ponsel mahalnya dari saku celana. "Butuh berapa duit lo?"

Disya tampak berpikir, mempertimbangkan harga sepatu trendi untuk cewek yang belakangan lagi viral. "Tiga ratus mungkin," jawabnya diakhiri senyuman manis.

"Gila! Pemerasan lo!" Alka pasang tampang jengkel, makin sebal dengan cewek ini.

Namun, tanpa dosa Disya justru memamerkan senyuman manisnya, bikin Alka habis kata-kata dan akhirnya mentransfer sejumlah uang ke dompet digitalnya. Yah, pada akhirnya karena tidak ada cash, Disya jadi pemegang amanat itu.

Usai menyelesaikan transaksi, Alka berlalu pergi sambil pasang tampang horor. Sementara itu, Disya malah kesenangan. Sekarang dia harus mencari Fay.

"Fay mana?" tanya Disya begitu kembali ke kelas.

Ini jam istirahat dan untuk pertama kalinya, dia tak melihat kehadiran Fay yang biasa selalu duduk di kursinya saat waktu istirahat tiba. Teman-temannya sedang asyik ngemil sambil gibahin A sampai Z.

"Hah?" tanya Rini yang mulutnya penuh cireng isi suir daging ayam pedas.

"Si Fay," jawab Disya. Dia lalu duduk di samping Selvi.

"Dari mana?" Selvi menoleh dengan tatapan penuh selidik.

"Nyamperin Alka."

"Ngapain?" Rini dan Selvi kompak bertanya. Mulut keduanya juga menganga.

Disya mengernyit heran. Kenapa deh kedua temannya ini bereaksi berlebihan? "Minta tanggung jawab karena udah bikin sepatu Fay masuk ke tempat pembakaran sampah."

Kalau saja Disya tak menyelesaikan kalimatnya dalam sekali tarikan napas, bisa-bisa teman-temannya ini salah paham.

"Apaaa?"

"Seberani itu?"

"Ngapain sih kamu sebela itu sama Fay?"

"Iya lho, padahal kan dia anaknya nyebelin!"

Reaksi teman-temannya ini terlalu berlebihan menurut Disya. Jadi, dia menggeleng-geleng.

"Kan, dia temenku—"

"Kamu mah terlalu baik jadi orang, teh," potong Selvi sambil mencocol sambal dengan nikmat.

"Iya, kadang karena itu juga kamu sering dimanfaatin sama orang." Ana mengimbuhkan.

Menyadari dirinya disudutkan, Disya memilih tak lagi mengeluarkan kata-kata untuk membela diri. Dia hanya duduk dengan tenang, menyimak teman-temannya mengobrol, yang tak lain tengah membahas sikapnya. Disya dinilai terlalu baik jadi manusia. Dia yang memang pada dasarnya tak tegaan, selalu tanpa pikir panjang akan menolong orang dengan semaksimal mungkin.

"Eh, tapi tadi aku lihat Fay di Warna, warung tongkrongan di seberang itu." Rini tiba-tiba membelokkan obrolan. Sontak dia jadi pusat perhatian, terutama oleh Disya yang menatapnya dengan penuh pertanyaan. "Kayaknya dia kerja di sana, soalnya tadi bantu-bantu gitu," sambungnya.

"Masa?" tanya Selvi sambil mengernyit dalam.

"Bisa jadi aja, sih. Soalnya kan itu anak biasa diam di kelas aja, tapi hari ini untuk pertama kalinya dia ke luar." Ana membuat spekulasi.

Mereka diam selama beberapa saat. Kemudian, Disya tiba-tiba bangkit berdiri dan melangkah menuju pintu.

"Mau ke mana?" tanya Rini.

"Nyamperin Fay," jawab Disya sebelum benar-benar meninggalkan kelas.

Sontak saja jawaban itu membuat mereka berlima habis kata-kata, sementara Disya sudah berlari menuju lantai satu. Waktu istirahat harusnya sebentar lagi selesai, tetapi Disya sudah tak sabar untuk menyerahkan uang ini dan melihat reaksi cewek itu.

Bel berbunyi nyaring. Disya baru saja tiba di gerbang dan tak bisa melanjutkan langkah. Dia menyipitkan mata, melihat sebaik mungkin ke warung tongkrongan yang berada di seberang sekolah. Benar, ada Fay yang baru saja keluar dari tempat itu sambil merapikan seragamnya.

"Fay!" Disya melambai-lambai heboh.

Di seberang sana, Fay hanya menyipitkan mata dan mengernyit heran. Ada apa sampai Disya menyusulnya? Jangan-jangan dia telat masuk? Haduh, padahal kan dia hanya ingin memanfaatkan waktu istirahat untuk belajar adaptasi di tempat kerja, daripada bengong tidak jelas di kelas.

"Sini! Aku punya kabar gembira," kata Disya bersemangat.

"Apa?" Fay bertanya singkat.

Disya menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan beranda akun dompet digital. "Ada dompet digital nggak? Tadi Alka nitip uang buat ganti sepatu kamu," bebernya tak jujur sepenuhnya.

Dengan polosnya Fay menggeleng. Memang, dia tak punya dompet digital karena ponsel tidak support.

"Yah, ya udah deh, entar pas jam pulang sekolah, kamu ikut aku dulu, buat cairin duit ini ke Alfa terus kamu bawa," putus Disya sambil berjalan untuk kembali ke kelas.

Fay yang berjalan di sampingnya tak berkomentar sedikit pun. Dia senang tentu saja, karena kalau sudah ada uang, dia bisa beli sepatu baru, kan?

"Terus, nanti jangan lupa kerja kelompok, ya. Mau di rumah kamu atau aku?" tanya Disya tanpa melihat perubahan ekspresi di wajah Fay.

"Aku sibuk," jawab cewek itu setelah lama terdiam. Mereka telah menaiki anak tangga menuju lantai dua dengan sedikit terburu-buru.

"Kan, bisa dikerjain pas kamu senggang. Aku cuma butuh diskusi." Disya menoleh pada cewek di sampingnya. "Atau gini aja deh, aku yang ke rumah kamu, gimana?"

Alternatif yang ditawarkan Disya sebenarnya tak ada unsur paksaan, cenderung membebaskan dirinya untuk memutuskan. Namun, keadaannya sekarang tak mendukung untuk hal itu.

Kalau dia bawa teman ke rumah, apa kabar reaksi ibunya? Lagi pula dia tak sedekat itu dengan Disya untuk bisa mengajak "teman" ke rumah. Kalau dia yang pergi ke rumah Disya? Belum tentu Sari akan memberi izin.

"Rumahku jauh," kilah Fay, berusaha mencari alasan.

"Kan, bisa naik ojek," jawab Disya.

"Mahal, sayang uang."

Tawa Disya meledak. Cewek itu kelihatan manis saat terawa. "Berapa sih? Paling cuma 15.000 doang itu." Dia melihat ekspresi Fay yang tampak mencurigakan. "Ya udah, aku deh yang bayarin ongkosnya."

Fay menggeleng. "Aku belum tentu diizinin sama Ibu," katanya, terpaksa jujur.

"Kalau gitu, memang aku harus ke rumah kamu, buat minta izin sama ibu kamu biar ngizinin anaknya ini nugas bareng di rumahku."

Kali ini, keputusan Disya seperti ultimatum yang tak bisa diganggu gugat. Lagi pula mereka sudah tiba di depan kelas dan ada guru di dalam sana. Jadi, keduanya buru-buru masuk dan berlari kecil menuju kursi masing-masing.

Pelajaran Sosiologi akan dimulai.

🥀🥀🥀

Terima kasih untuk vote, komen, share, dan semua dukungan teman-teman. Itu sangat membantu dan berarti buat penulis.🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro