11.Salahkah?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


"Tidak ada yang menarik di kisah hidupku. Tersenyum di balik tangisan."

-Manda-

Manda tidak marah, tidak juga menangis. Dia hanya terkejut, berdiam diri tanpa melakukan apapun. Manda kecil masih berdiri di tempat yang sama, berusaha mencerna setiap kata yang didengarnya. Mendengar kejujuran yang menyakitkan memang tidak mudah, anak yang baru mengenal arti suka pada lawan jenis. Mungkin ini terlalu dini untuk anak seusianya menyukai lawan jenisnya, tetapi bukan inginnya untuk jatuh hati.

Mungkin hatinya yang terlalu lemah, mungkin hatinya yang terlalu mudah untuk jatuh pada pesona seseorang yang begitu baik padanya. Jatuh hati hingga terlampau dalam, terlalu mengaggumi hingga lupa diri, mengingat kehebatannya hingga lupa mengurus diri sendiri. Membiarkan urusan diri sendiri terbengkalai dan tertinggal oleh orang lain.

Tidak mengurus diri hingga tidak serius belajar, terlalu asik pada perasaan bodoh yang bernama cinta. Berharap bahwa akhir yang bahagia itu nyata, berharap orang itu juga membalas perasaannya. Terlalu bodoh karena terbuai sikapnya yang baik padanya. Terlalu bodoh untuk menyadari kalau kebaikan itu tidak hanya untuk dirinya seorang, melainkan semua orang. Terlampau bodoh untuk menyadari, sudah ada seseorang yang disukai sang pujaan hati.

Badannya gemetar, dia dan teman-temannya hanya terpisahkan oleh pintu geser berwarna cokelat tua. Pemisah antara ruang tamu dan ruang keluarga. Manda kecil berada di ruang keluarga karena pergi sebentar mengambil bukunya yang tertinggal di kamar, sementara teman sekelompoknya berada di ruang tamu.

Matanya mulai berkaca-kaca, keringat dingin mulai terasa di kakinya dan sekujur tubuhnya. Badannya mulai terasa lemas, seakan-akan tidak ada tulang yang menyangga badannya. Rasanya dia tidak ingin kembali ke ruang tamu. Dia tidak tahu caranya kembali ceria di saat perasaannya hancur. Kenyataan yang pahit kembali hadir, kali ini karena perasaan bodoh bernama cinta. Mungkin lebih tepatnya cinta monyet di umur yang belia. Cinta yang bodoh di usia sekecil itu, memadamkan semangat belajar hingga lupa jika ada harapan yang didoakan orang tua untuk anaknya, harapan supaya anaknya sukses sehingga mereka rela bekerja hingga larut malam untuk masa depan anaknya. Anak yang malah memilih berhenti belajar karena patah hati. Anak yang memilih menyendiri karena takut bersosialisasi.

Tidak ada kata teman. Orang-orang itu hanya memanfaatkannya demi keuntungan mereka sendiri. Terlihat seperti teman yang baik, nyatanya tidak. Membuat Manda rela menukarkan kebahagiaannya demi kebahagiaan orang lain, orang yang dianggapnya teman. Hidup yang penuh sandiwara belaka, memanfaatkan dan berlindung pada topeng kebaikan. Nyatanya semua itu sampah.

Kenangan yang pahit. Hingga hari ini, rasa sakit itu masih bisa dirasakannya. Dia tidak dendam pada orang itu, hanya saja lukanya masih belum sembuh. Ibarat paku yang ditancapkan pada kayu, meskipun pakunya sudah dicabut sekalipun, bekas paku itu akan ada selamanya. Tidak menghilang meski waktu terus berjalan. Seperti itulah luka di hatinya, tetap ada meskipun dia sudah beranjak menjadi remaja.

Hari sudah berganti menjadi malam. Manda menatap langit-langit kamarnya lalu duduk dan bersandar sembari melihat keadaan kamarnya. Seragam sekolahnya tergeletak pada tutup keranjang pakaian kotor, tasnya ditaruh di lantai dekat pintu kamarnya, lalu meja belajarnya terdapat buku-buku yang berserakan begitu saja. Jendelanya sudah ditutup, lampu di kamarnya juga dibiarkan menyala. Gadis itu tidak pernah mematikan lampu karena begitu kamarnya gelap, bayangan yang tidak-tidak akan menghantui pikirannya.

Gadis itu mendekap tubuhnya erat. "Hari ini cukup lelah. Mungkin karena ada tugas tambahan dari Pak Nareswara. Yah, apes memang. Dari sekian banyak siswa, kenapa harus aku yang jadi asistennya dia? Padahal aku mau hidup damai dan biasa-biasa saja. Malah jadi repot gini," keluhnya.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Tadi dia sudah makan malam dengan keluarganya. Keluarga kecil yang menjadi tempatnya untuk pulang dan berkeluh kesah. Tempat ternyaman untuk menangis dan bersandar. Manda tidak perlu takut untuk dilukai, dia tidak akan dikhianati oleh keluarganya sendiri. Dia sudah tahu rasanya dikhianati oleh orang yang dianggapnya teman dekat. Hal itu membuatnya semakin tertutup. Masa kecilnya dipenuhi luka dan pengkhianatan orang yang dipercayainya.

Diperbandingkan, dimarahin, dikucilkan karena asal, warna kulit dan badannya yang besar membuatnya terbiasa sendirian di sekolah. Tidak ada niatan untuk bermain dengan tetangga sehabis pulang sekolah, tidak ada orang yang dianggapnya sebagai teman. Baginya menghabiskan waktu bersama keluarga sudah lebih dari cukup.

Dia tidak butuh teman, hanya perlu baik pada semua orang, tidak mencari musuh dan hidup damai. Tidak terlalu dekat dengan orang lain, menjalin hubungan dan menjadi dekat hanya akan menjadi bom waktu. Bom yang menunggu waktu untuk memperlihatkan sifat asli orang yang dianggap teman, mengulang masa lalu dan kembali melukai perasaan sendiri.

"Kenapa aku jadi mau melindungin Niko? Harusnya aku cuman cuci mata doang ngelihatin dia. Yah, namanya juga orang cakep. Biar nggak sumpek ngelihatin guru, kerjain tugas dan rutinitas yang membosankan lainnya. Begonya aku malah mau dekat sama Niko," gumamnya pelan.

Manda masih asik dalam lamunannya begitu ada ketokan yang membuyarkan lamunan itu. Tidak lama kemudian, masuklah seorang wanita paru bayah yang dipanggil Manda dengan sebutan Ibu.

"Bu? Ada apa?"

Wanita itu tersenyum tipis. "Ibu ganggu kamu, Nak?"

"Tidak kok. Manda juga nggak lagi belajar." Manda tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di bahu ibunya begitu wanita itu duduk di samping anaknya itu.

"Kamu lagi kepikiran sesuatu?"

Naluri ibu selalu tahu ketika ada yang salah dengan anaknya. Ibu yang menjadi orang di garda terdepan begitu ada orang lain yang menyakiti anaknya. Ibu yang rela mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan anaknya ke dunia. Ibu yang setia mendampingi anaknya hingga kapanpun, dan mata Manda kembali berkaca-kaca mendengar pertanyaan itu.

"Kok ibu bilang gitu? Manda biasa aja, kok."

"Masih terlalu dini kamu untuk ngibulin ibu. Ibu tahu isi kepalamu apa. Kalau nggak mau cerita ya nggak apa-apa juga, sih."

Manda tersenyum, ibunya selalu tahu apa yang dirasakannya. Orang paling peka dan paling menyayanginya. Manda duduk tegap lalu memeluk wanita itu dengan erat.

"Bu. Manda masih umur segini. Belum juga separuh jalan ya? Tapi, rasanya kok berat ya, Bu?"

Wanita itu tetap diam, dia mengelus pelan rambut Manda.

"Manda nggak ngerti kenapa Manda jadi secengeng ini. Manda capek, Bu. Capek dimanfaatin, capek jalanin aktifitas yang monoton, capek sama realita yang isinya ujian hidup terus. Kayak nggak ada habisnya dikecewain."

"Manda mau berhenti sekolah?" tanya ibu pelan.

"Mau lanjut. Tapi, Manda capek, Bu."

"Ada yang gangguin Manda lagi?"

"Nggak ada lagi, kok, Bu. Cuman Manda kepikiran aja ke masa lalu. Kepikiran gimana orang yang Manda anggap teman malah ngecewain Manda. Takut rasanya berhubungan sama orang lain."

Wanita itu tersenyum. "Hatimu, pikiranmu, tindakanmu. Hanya kamu yang bisa kendalikan. Kamu nggak bisa kendalikan orang lain, Nak. Kalau kamu masukkan ke hati, kamu sendiri yang capek."

Malam itu, mereka terus bercerita hingga Manda mulai mengantuk. Namun, perasaannya jadi jauh lebih baik. Hati-hati dengan hati, jika salah bertindak resikonya pada rasa kecewa. Hidup yang dihidupi ini benar-benar unik, semuanya tergantung bagaimana seseorang bersikap. Sakit atau tidaknya, ada di tangan setiap orang.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro