17.Anjlok

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gabriel sudah meninggalkan kelas, sejak itu Niko menatap ke arah Manda. Manda jadi risih karenanya.

"Ni-niko kenapa? Kok mandangin Manda gitu? Manda buat salah ya?"

Niko mendengkus pelan. "Nggak." Cowok itu menatap lekat ke arah Manda."Kamu pura-pura bego, kan?"

"Hah? Manda memang nggak pinter, kok. Kenapa Niko nanya gitu?"

Cowok itu memutar bola matanya lalu menghela napas. "Bohong."

Manda tersenyum, dia tidak menyangka cowok itu akan memikirkan dirinya, meskipun hanya kecurigaan semata. Ada sepasang mata yang menatap mereka dengan tatapan curiga, hatinya panas melihat kedekatan Niko dengan cewek lain. Pasalnya dia jarang melihat Niko mau berbicara lama dengan orang lain, apalagi lawan jenis.

Claudia baru saja duduk di kursinya, dia langsung keluar kelas lagi karena kesal. Gadis itu mau pergi ke ruang guru, ada seseorang yang ingin ditemuinya. Sudah beberapa menit dia berada di ruang guru dan mencari orang yang dicarinya, sayangnya dia tidak menemukan orang yang dicarinya.

Tiba-tiba terdengar suara deheman dari belakang gadis itu. Claudia langsung berbalik dan wajahnya memucat.

"P-pak Nares?"

"Hei, kamu nyari siapa?"

Jelas pria itu bingung akan keberadaan anak didik di ruang guru, pria itu menduga gadis itu pasti memiliki tujuan yang membuatnya berada di tempat ini.

"O-oh itu saya tadi mau nyari Pak Gabriel, katanya ada tugas yang mau dikasih tapi bapaknya nggak ada di ruang guru."

"Gabriel ya?" gumam Nareswara pelan. Pria itu cukup terkejut mendengar pernyataan Claudia, pasalnya Gabriel jarang meminta anak didiknya ke ruang guru. Temannya itu tipe orang yang kelihatannya terbuka, padahal tidak.

"Dia lagi ada urusan mungkin, nanti coba datang lagi mungkin orangnya udah datang."

"Baik, Pak. Saya permisi."

Claudia terlihat terburu-buru pergi meninggalkan ruang guru, tetapi Nareswara baru teringat satu hal.

"Oh iya, boleh minta tolong panggilkan Manda ke ruang guru?"

Kali ini Claudia yang tertegun, sayangnya meskipun dia penasaran alasan Nareswara mencari Manda, dia tidak berhak menanyakan hal itu.  Gadis itu tersenyum lalu menyanggupi permintaan itu.

"Baik Pak, akan saya sampaikan ke Manda. Permisi, Pak," ucap Claudia lalu pergi dari sana.

Claudia berjalan dengan langkah gontai, perutnya sudah demo daritadi karena belum diisi makanan. Gadis itu kurang nafsu makan, dia juga kurang istirahat. 

"Kenapa hidupnya anak itu enak banget? Aku tiap hari disuruh belajar, sementara dia otak pas-pasan juga hidupnya santai. Udah gitu dicariin sama guru ganteng kayak Pak Nares lagi. Parahnya dia malah deket sama Niko, orang yang pernah berarti di hidupku," ucapnya pelan.

Claudia tidak menyadari ada orang yang berjalan di depannya. Orang itu juga tidak sadar ada Claudia, dia tengah mengetik di ponselnya. Lorong yang dilalui mereka memang tengah sepi, sepertinya anak-anak sedang berada di kantin karena sekarang jam istirahat.

"Akh!" pekik Claudia kaget karena menabrak seseorang. Gadis itu hampir terpental kalau tidak dipegang bahunya oleh pria itu. Pria yang dicarinya sedari tadi.

"Eh? Pak Gabriel?"

Gabriel langsung melepaskan pegangannya begitu Claudia sudah berdiri tegap lagi.

"Sorry, tadi nggak nyadar ada orang," ucap Gabriel tulus.

"Iya, Pak. Oh iya Pak, mengenai lomba Fisika yang pernah bapak tawarkan ke saya tempo hari, apakah tawarannya masih berlaku?"

"Ah itu, akan ada seleksi sih. Kalau mau ikut nggak masalah. Kebetulan saya lagi bawa formulirnya, ini kalau kamu mau," ucap Gabriel sambil menyerahkan selembar kertas.

Claudia tersenyum lalu mengambil formulir itu. Matanya berbinar, dia ingin mencoba hal yang baru, sebelumnya dia pernah mencoba olimpiade Kimia dan Matematika, sekarang dia mau mencoba Fisika, setidaknya sebelum dia fokus untuk ujian kelulusannya.

"Rencananya saya mau tawarkan ke Niko sama Manda juga."

Claudia tertegun mendengar hal itu, dia tidak menyangka Manda akan ada dalam list siswa yang akan ditawarkan Gabriel. Raut wajahnya langsung berubah, dia seperti takut tersaingi padahal jelas-jelas Claudia jauh lebih pintar dibanding Manda.

"Manda, Pak?"

Gabriel menangguk. "Iya, Manda. Kayaknya anak itu punya potensi."

Claudia menangguk pelan lalu tersenyum tipis. "Baik Pak, saya permisi."

"Oke, terima kasih ya." Gabriel memandang anak itu dengan tatapan heran, dia kira Claudia akan senang karena temannya juga akan diajaknya untuk ikut seleksi. Gabriel pikir karena mereka cukup dekat pasti akan mudah untuk saling menyemangati satu sama lain dan berjuang bersama. Namun, ekspresi yang diperlihatkan Claudia membuatnya cukup ragu. 

"Hm, apa salah ya? Aku nggak memihak Manda karena dia adikku kan? Duh, susah."

Gabriel melanjutkan langkahnya ke ruang guru dengan perasaan yang tidak tenang, dia tahu di sekolah tidak ada yang tahu mengenai relasinya dengan Manda. Namun, perasaan takut itu tetap ada. Dia takut bersikap tidak sama dengan siswa lainnya, padahal Gabriel sayang dengan semua anak muridnya.

Di lain tempat, sepanjang perjalanan perasaan gadis itu semakin tidak baik. Gadis itu tersenyum miris. "Lagi-lagi Manda. Kenapa perhatian orang-orang jadi ke arah anak buruk rupa itu?"

Claudia baru sampai di kelas, tatapannya terarah ke Manda yang lagi bercakap-cakap dengan Niko. Mereka terlihat dekat dan Claudia tidak suka akan hal itu. Claudia tidak suka jika Manda melebihinya.

Manda baru saja mau menanyakan hal lain begitu ada suara yang mengagetkannya. Di hadapan Manda dan Niko kini berdiri seorang gadis yang dikenal baik oleh Manda, dia Claudia.

Manda mengerutkan keningnya, heran dengan ekspresi yang terpancar dari wajah Claudia. Entah kenapa Manda merasakan adanya amarah dengan melihat tatapan gadis itu. 

"Heh, gendut. Kamu dipanggil sama Pak Nares. Bikin masalah aja kamu tuh," ujar Claudia. Gadis itu sering mengucapkan kalimat yang menyakiti hati Manda. 

Manda terdiam sejenak, dia tersenyum. Dalam pikirannya dia berpikir mungkin Claudia sedang ada masalah di rumahnya jadi dia bersikap demikian.

"Oke, Claudia. Terima kasih."

Manda segera pergi dari sana, gadis itu berjalan sambil menundukkan kepala. Claudia terus menatap hingga Manda tidak terlihat lagi dari pandangannya. Lalu, gadis itu menatap ke arah Niko. Cowok itu merasa kalau ada yang menatapnya, dia langsung menatap balik ke arah Claudia.

"Kenapa?"

"Harusnya aku yang nanya kenapa. Kenapa Manda?"

"Hah? Maksudmu?" Niko tidak paham arti pertanyaannya Claudia. Perasaan tidak ada sesuatu yang berarti antara dirinya dan Manda.

"Selama ini aku nggak pernah lihat kamu mau ngobrol sama orang lain. Sekarang kenapa kamu mau ngobrol lama sama Manda?"

"Memangnya masalahnya apa? Kan ini hidupku, kamu nggak berhak ngatur aku mau ngobrol sama siapa."

"Oh gitu, iya sih. Kita kan udah nggak ada hubungan apa-apa."

Claudia masih berdiri dan Niko masih duduk di kursinya, tangan Claudia sudah mengepal. Gadis itu menahan amarahnya.

"Baguslah udah move on berarti, kukira masih ngarep mau balikan."

Niko terseyum miris. "Nggak minat balikan, makasih."

Jawaban yang cukup menohok bagi Claudia. Dia benci ditolak oleh orang lain, apalagi Niko.

"Seleramu anjlok sekarang, Nik. Masa cewek gentong kayak gitu kamu deketin?" ujar Claudia sinis. 

Niko tidak merespon ucapan itu, dia memilih keluar dari kelas sambil membawa buku pelajarannya. Merespon ucapan negatif seperti itu tidak ada gunanya, hanya akan menyerap energinya saja.

-Bersambung-


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro