2.Telat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Langit, bisakah kau turunkan jodoh dan uang kepadaku? Aku sudah bosan jomblo terus."

-Manda Mataya-

Helai-helai rambutnya berterbangan karena angin di pagi itu cukup kencang. Manda tidak memperdulikan penampilannya, hal terpenting sekarang adalah sampai di sekolah secepat mungkin. Gadis itu melirik dari ekor matanya, memperhatikan orang-orang di sekitarnya, ada pemuda pemudi dengan seragam sekolah, mereka tampak begitu menggemaskan.

Di sisi lain, ada wanita paruh baya dengan anaknya yang menyandarkan kepala di punggung ibunya. Pemandangan yang menghangatkan perasaannya sekaligus mengiris begitu dalam, perasaan iri hinggap di hatinya. Pemandangan yang dilihat dari balik kaca helmnya, tersenyum sembari membayangkan betapa menyenangkan bila berada di posisi mereka, bisa sedekat itu dengan orang yang disayangi.

Yah, dia dan abang ojek. Selalu saja bersama abang yang setia mengantarnya kemana pun dia mau. Berangkat ke sekolah dan pulang pasti bersama abang ojek yang berbeda, hidupnya tidak begitu menarik. Bahkan, dia bosan dengan hidupnya.

Kepalanya semakin berat dan Manda memutuskan untuk memejamkan mata sejenak. Lagian, dia masih bisa menjaga keseimbangannya selama merem sebentar. Hingga bunyi klakson mengagetkannya.

Manda mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha mengembalikan kesadarannya.

"Pak, ini kok berhenti, sih? Ada apa memangnya?" Manda mengerutkan keningnya heran. Gadis itu merogoh ponselnya dan melihat jam di layar itu. Matanya membulat ketika mengetahui dia sudah hampir terlambat.

"Amsyong! Pak, ini saya hampir telat. Duh, gawat." Manda sudah keringat dingin sekarang, dia mulai melihat jalan menuju ke sekolahnya.

"Yah, mau gimana lagi, Mbak? Bukan mau saya juga mandek gini."

Manda langsung melepaskan helm yang dikenakan dan turun dari motor abang ojek.

"Saya turun di sini saja, deh." Manda langsung berlari meninggalkan abang ojek itu. Tidak berselang lama kemudian, terdengar teriakan dari abang itu.

"Mbak! Belum bayar ini!"

Gadis itu langsung berhenti berlari dan menatap lagi abang itu. Pikirannya sempat hanging karena itu.

"Astaga, saya kira tadi bukan bayar cash! Maaf-maaf," ucapnya berulang kali seraya merogoh kantong celananya mencari pundi-pundi uang yang tersisa.

"Berapa, Pak?"

"Enam ribu."

Ekspresi Manda berubah jadi kecewa, lembar uang di tangannya membuatnya sadar kalau uangnya tidak sampai enam ribu.

"Yah, Pak. Uang saya lima ribu lima ratus, nih. Gimana, dong?" tanya Manda dengan ekspresi bingung.

"Udah-udah, nggak apa-apa."

Gadis itu tersenyum senang lalu menyerahkan uang itu pada abang ojek. Setelah itu dia segera mengerahkan tenaga yang tersisa untuk berlari ke gerbang sekolahnya. Helai-helai rambutnya semakin bertebangan, poninya yang tadi dijepit sudah tidak lagi rapi, wajahnya sudah memerah karena panasnya mentari, keringat sudah mengalir di sekujur badannya. Jaraknya lumayan jauh, ditambah lagi dia jarang berolahraga membuatnya semakin engap sekarang.

"Pak, tunggu! Please, Pak. Jangan ditutup gerbangnya!" teriak Manda lagi.

Hari ini tidak sepenuhnya buruk, gadis itu bisa bernapas lega karena bapak Satpam yang menjaga sekarang adalah bapak yang baik dan sering diajak mengobrol setiap jam pulang sekolah.

Manda langsung masuk ke gerbang yang sengaja tidak ditutup oleh Pak Nam. Gadis itu langsung membungkukkan badan dan memegang lututnya, mencoba mengatur napasnya. Wajahnya sudah memerah, badannya juga mulai terasa gatal-gatal karena keringat. Nasib orang dengan kulit sensitif dan tidak bisa kena keringat memang menyiksa.

"Duh, mbak. Kali ini kenapa bisa telat?" Pak Nam kembali menutup gerbang sambil menunggu Manda mengatur napasnya.

"I-itu, Pak. Ma-macet. Nggak ngerti, deh, kenapa bisa macet. Saya jadi harus lari gini," ucapnya terbata-bata.

"Ya udah, sana ke kelas. Udah jam segini," ucap Pak Nam lagi.

Baru saja Manda mau melangkah, ada seseorang yang menghalangi jalannya. Seseorang yang dikenalnya dengan baik. Sayangnya, dia sangat menyebalkan.

"Pak Nam, bukannya dia telat ya? Sekarang udah jam segini, harusnya, sih, dia telat. Saya benar, kan?"

Dia Claudia, sahabat baik Manda yang sangat limited edition. Hobinya membuat sahabat baiknya sengsara. Hal yang paling disukainya adalah menciduk sahabatnya yang terlambat dan mengantarnya ke hukuman untuk siswa yang terlambat.

Pak Nam tersenyum kikuk lalu menatap Manda dengan tatapan bersalah. Manda menatap balik pria itu dan tersenyum, sebab sudah seharusnya dia dihukum karena terlambat.

"Pak Gabriel, ini ada yang terlambat," lapor Claudia pada sosok yang baru saja bergabung dengan mereka. Sosok yang sangat dikenalnya, dia adalah kakak Manda. Sial, bukan?

"Wah, gemar telat bener kamu," ejeknya pelan.

Gabriel hendak melanjutkan ucapannya begitu melihat ada orang lain yang berdiri di luar gerbang. Manda jadi penasaran siapa yang dipandang Gabriel. Memandang orang itu membuatnya terpesona, sosok yang sangat menarik perhatian, begitu tampan dengan kemeja yang dikenakannya.

"Ehm, selamat pagi. Saya hendak bertemu dengan kepala sekolah. Boleh saya masuk ?" tanya orang itu lagi memecah kesunyian karena terpesona menatapnya.

"Oh iya, boleh. Silahkan masuk," ucap Pak Nam sembari membuka gerbang sekolah.

"Terima kasih."

Mereka memandang orang itu hingga orang itu kembali lagi ke depan mereka.

"Maaf, ruang kepala sekolah di mana, ya?" tanya orang itu lagi.

"Biar saya tunjukkan jalannya," ucap Gabriel lalu melirik ke arah Claudia, "Kamu sama Manda langsung ke kelas aja. Hari ini tidak ada hukuman, berikutnya kalau ada yang telat lagi baru dihukum."

Manda dan Claudia menatap Gabriel dengan ekspresi yang berbeda. Kalau Manda menatap dengan wajah berseri-seri, sementara Claudia menatap dengan tatapan tidak percaya padahal dia sudah menunggu hari ini. Menindas sahabatnya adalah hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan.

Seusai Gabriel dan pria tampan itu pergi, dua gadis itu langsung berpandangan dan beradu tatap dengan sinis.

"Kampret emang. Udah bagus-bagus ada Pak Nam yang mau nolongin, kamu malah kayak gitu," omel Manda.

"Ya elah, kayak nggak ngerti sahabat sendiri aja. Makanya jangan telat kalau nggak mau dihukum. Untung ada si ganteng, kalau nggak pasti udah kena hukum kamu.

"Ganteng-ganteng! Dih!" serunya sambil berlari meninggalkan Claudia.

Mereka begitu kompetitif, tidak mau tertinggal sedikit pun. Dua gadis itu berlari kencang menuju kelas mereka. Ada peraturan tidak tertulis yang mereka setujui, barang siapa yang kalah maka dia harus mentraktir yang menang di kantin.

Manda tidak pernah menang melawan Claudia dalam urusan lomba lari, dia tidak sekuat Claudia. Sekarang saja Manda sudah berhenti berlari sambil memegang dadanya, rasanya sesak.

"Nah lho. Sok ngide lomba lari, sih. Udah tahu kamu olahraga satu kali dalam satu tahun. Gimana bisa menang lawan aku yang sering olahraga?"

Manda menggeleng heran lalu memegang dinding di dekatnya, berjalan dengan pelan.

"Asli, salah apaan coba aku? Rasanya kayak jalan sama siput."

"Kamu kalau mau jalan duluan ya udah sana. Siapa juga yang nyuruh nungguin aku?" omel Manda lagi. Wajahnya sudah memerah, telapak tangan kirinya masih memegang dadanya.

"Udah nggak usah ngamuk. Sekarang gimana? Udah baikan? Bisa napas?"

"Udah. Tuh, udah ada guru di dalam sana," ucap Manda lagi.

Claudia tersenyum lalu menatap Manda dengan tatapan penuh makna. Perasaan Manda sudah tidak baik, dia tahu kalau Claudia merencanakan sesuatu dan pasti tidak menguntungkannya.

-Bersambung-



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro