9.Kapan?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dia mulai merasakan keringat dingin di sekujur badannya. Rasa penasaran yang besar membuatnya segera keluar dari tempat itu. Untungnya dia sudah selesai membayar semua makanannya, jadi dia bisa segera mengejar orang itu.


Seorang pemuda dengan rambut pendek di bagian belakang dan samping (short back and sides). Rambutnya lebih panjang di bagian atas, dengan bagian belakang dan samping tetap pendek dan rapi.

Pemuda itu selalu rapi dalam balutan kemeja berwarna gelap. Manda selalu suka mendekatinya, sekedar melewatinya saja sudah cukup, setidaknya dia bisa mencium aromanya yang wangi. Penampilan dan pesonanya benar-benar memikat Manda hingga tidak bisa berpaling ke orang lain. Yah, tidak ada juga yang mengejarnya jadi tidak masalah.

Tidak biasanya pemuda itu terlihat khawatir dan berlari dengan tergesa-gesa. Tentu saja Manda jadi khawatir terjadi sesuatu padanya atau orang terdekat pemuda itu. Di pikiran gadis itu, jika dia membantunya di saat genting seperti ini, pasti pemuda itu akan mengingat dan menyadari kalau dia ada di bumi ini. Mungkin terdengar lebay, tetapi gadis itu sedang dibutakan oleh cinta. Dia sudah ditolak oleh beberapa cowok sebelumnya, mungkin kali ini dia akan berhasil, begitu pikirnya.

"Kamu mau kemana, sih, Niko?"

Setelah berlari cukup lama, akhirnya pemuda itu berhenti berlari dan berjalan perlahan-lahan. Gerak-geriknya terlihat aneh, tidak seperti Niko yang biasanya yang selalu berjalan tegap dan penuh percaya diri. Niko yang ada di hadapannya membungkuk dan melihat ke kanan dan kiri beberapa kali, tidak seperti biasanya.

Niko berjalan masuk ke jalan yang menuju jembatan. Manda tahu karena dia sering melewati jembatan itu sekedar melihat sungai di bawahnya. Sungai dengan aliran yang cukup deras, suara air begitu menenangkan dan damai. Apalagi pemandangan yang indah, cukup menyenangkan dan menjadi hiburan tersendiri baginya.

Manda sengaja berjalan lebih lambat, dia hanya ingin tahu apa yang dilakukan pemuda itu dan membantunya jika dia bisa, setidaknya dia ingin berguna bagi hidupnya.

"Bagus, jam segini baru datang. Mana uangmu? Harusnya kamu sudah ada di sini dari tadi dasar bocah bodoh!" seru seorang pria paruh baya dengan rambut gondrong. Pria itu tidak sendirian, ada beberapa orang di sekitarnya.

"Kamu harusnya sadar diri! Udah numpang di rumah juga, dapat makan sama minum lagi! Sadar diri, dong buat ngasih uang ke aku. Kamu pembawa sial tahu nggak? Buat mamaku sendiri pergi dari rumah karena pecundang kaya kamu!"

Niko diam, badannya gemetar dan dia menundukkan kepala.

"Punya mulut, kan? Aku nggak lagi ngomong sama tembok, dasar bocah tidak tahu diuntung!"

"Sudahlah, buang-buang energi aja ngomong sama dia, sayang," ujar seseorang lainya. Manda terkejut mendengar suara itu, entah kenapa dia tidak merasa asing dengan suara itu. Namun, dia tidak tahu siapa dan dimana dia pernah mendengarnya. Apalagi orang tersebut memunggunginya dan dia juga menggunakan penutup kepala (hoodie) jadi dia tidak akan melihat wajah perempuan itu.

Pria itu menatap perempuan itu dan tersenyum, senyuman yang menjijikkan di mata Manda. Pria itu terlihat begitu genit dan memandang ke bagian tubuh perempuan itu. Tentu saja membuat Manda merinding, melihat saja sudah membuatnya merinding apalagi dia yang dilihat seperti itu, bisa-bisa dia menangis.

"Benar juga, Yang. Bocah ini bikin emosi doang. Gara-gara dia uang jajanku jadi sedikit. Dia doang yang diperhatikan," ucap pria itu sambil menarik kerah Niko.

"Mana uangmu? Kasih sekarang," desisnya lagi.

Niko segera merogoh saku celana dan memberikan uang yang ada padanya.

"Segini doang?" tanya pria itu lagi. Dia tidak percaya Niko hanya punya uang seratus ribu rupiah. Padahal bagi Niko itu sudah banyak, tetapi tidak bagi pria pemabuk dan gemar menghamburkan uang sepertinya.

"Dasar nggak guna. Pasti kamu pake untuk hal-hal yang nggak bener, kan? Ngaku deh, atau kamu beli itu ya?" tuduh pria itu lagi.

Niko tahu apa yang dimaksud itu oleh kakak tirinya itu.

"Bu-bukan, kok. Tadi bayar kebutuhan perlengkapan sekolah sama urunan ke bendahara kelas. Jadi uangnya terpakai lumayan banyak, Kak."

"Halah, berani nipu juga, nih, anak. Pasti kamu pergi ke tempat nggak bener, kan? Buat muasin nafsu jangan-jangan?" Pria itu semakin memperjelas apa yang dimaksud dengan itu pada adik tirinya.

"Asli nggak, kak." Niko tidak berani mengucapkan kalimat yang panjang, percuma saja dia menjelaskan panjang lebar, semua tidak ada artinya. Bagi kakaknya dialah orang yang bersalah, orang yang menghancurkan hidupnya dan keluarganya. Bukan ingin Niko untuk menghancurkan kebahagiaan orang lain. Dia hanya ingin hidup damai, dia hanya ingin merasakan gimana rasanya punya ayah di hidupnya. Sayangnya keinginan kecilnya malah menjadi api yang menghancurkan hidup orang lain.

"Kamu bakal nyesel kalau berani nggak ngasih apa yang aku mau. Kamu bakal nyesel kalau nggak nurutin apa yang kakakmu mau. Jadi, jangan coba-coba melaporkan hal ini ke papa mertua ya. Jangan biasain jadi cepu ya jelek," ucap perempuan itu.

Ucapan yang mengundang gelak tawa bagi pria itu. Pria itu semakin mempererat pelukan di pinggang perempuan itu.

"Memang kamu pacar yang terbaik, kita emang cocok banget, dah!" serunya dengan wajah yang bersemu merah.

"Sayang aku laper. Udahan, deh. Bisa nggak suci lagi nih mata karena ternodai ngelihat wajah adikmu itu. Kan, sayang skin care aku, Yang."

Entah apa hubungan antara skin care dan menatap wajah Niko. Padahal Niko termasuk cowok yang tampan di sekolahnya, hanya saja bajunya yang sering lusuh ini jadi mengurangi pesona cowok itu. Namun, namanya penggemar tidak akan peduli mau idolanya pakai kaos kutang aja atau pake sarung aja. Kalau sudah suka maka akan tetap suka dan mendukungnya. Tidak ada yang tahu kalau Niko memiliki masa lalu yang suram, masa lalu hingga sekarang sama saja suramnya, bahkan semakin suram.

"Oke, Yang," jawab pria itu lalu menatap tajam ke arah Niko. Tatapan sinis dan tarikan kuat pada kerah kemejanya. Nafas Niko semakin memburu karena hal itu, dia mulai takut dengan apa yang akan dilakukan kakak tirinya itu. Lalu, dilepaskan pegangannya, membuat Niko kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

Melihat Niko yang meringis kesakitan membuatnya tertawa senang. "Puas-puasin, deh, hidup bergelimang harta, dasar anak perebut kebahagiaan."

Setiap kalimat yang terucap sangat menyakiti hati Niko. Dia jadi menyesal sudah mendatangi rumah ayahnya waktu itu, seharusnya dia sadar diri begitu melihat ayahnya sudah bahagia bersama keluarganya. Ayahnya bahkan tidak ingat kalau dia punya anak yang ditelantarkan di luar sana. Seharusnya dia tidak mengatakan hal itu. Ya, seharusnya dia tidak mengatakan kebenarannya.

"Kapan aku bisa hidup bahagia seutuhnya?" gumam Niko pelan.

Bukankah melihat orang yang disayangi bahagia itu sudah cukup? Melihat dari jauh bila ayahnya bahagia dan tidak mengingat dirinya ada di dunia. Sekarang dia memang mendapatkan apa yang diinginkan sedari dulu, sayangnya tidak semuanya berjalan mulus.

-Bersambung-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro