Atreo 0.3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Atreo meringis. Luka di kepalanya belum sempurna kering, tetapi panas matahari di luar sini langsung membuat kepala pening, padahal belum ada lima menit Atreo keluar atmosfer. Udara kering di mana-mana dan hanya ada tanah yang tandus sejauh memandangnya mata. Langit di atasnya bersih biru tanpa awan. Seharusnya itu pemandangan yang indah jika saja matahari tidak bersinar semengerikan ini.

Menghalau pikiran yang datang, Atreo bergegas meneruskan langkah. Baju yang dia pakai cukup berat, seperti baju astronot. Tidak terbuat dari besi, namun dari logam lain yang dibuat sedemikian rupa agar mampu menyimpan air—yang dalam dua menit ke depan mungkin sudah habis menguap. Di punggung Atreo juga tergantung dua botol besar baja berisi penuh air dan oksigen, satu tersambung ke mulutnya untuk diminum, satu lagi tersambung ke hidung untuk membantunya bernapas.

Atreo harus bergegas karena semakin lama dia berada di luar atmosfer, logam-logam di tubuhnya akan semakin panas dan persediaan air yang dia bawa akan habis menguap alih-alih karena dikonsumsi. Baju kaos dan celananya yang tadi dibasahi sampai kuyup saja, sekarang sudah mulai mengering. Bahkan rambut Atreo sama sekali tidak tampak sama seperti habis diguyur air.

Wah, ke mana matahari melarikan air-air itu kalau mereka tidak menjadi awan?

Atreo lagi-lagi bergegas menghalau pikiran tidak penting. Sepatunya sudah memanas, membuat pemuda itu berlari, menimbulkan suara logam yang berderak. Ia melihat pengukur oksigen dan air yang dia genggam di tangannya, menunjukkan bahwa isi dalam dua tabung di punggung hanya bersisa setengah. Kenapa lima belas menit berlalu dengan sangat cepat?

Pemuda itu segera mempercepat lari ketika melihat tulang belulang tak jauh di depan. Ini adalah tulang belulang pertama yang dia temukan semenjak keluar dari atmosfer yang tentu saja, ini adalah milik Akra. Tidak ada orang yang mati dalam jarak sejauh ini selain kakaknya.

Ralat, salah satu kakaknya.

Atreo segera membongkar baju astronot Akra setelah meyakinkan diri untuk tidak bernostalgia di sini. Di dalamnya, dia memang menemukan sebuah alat panjang dari logam, persis seperti yang dia otak-atik selama seminggu terakhir. Rupanya benar, Akra memang sungguhan membuat alat ini.

Kenapa kamu dulu tidak memberitahuku, bodoh? Aku jadi repot-repot membongkar ruang kerjamu dan kutinggalkan dalam keadaan berantakan sekarang. Siapa yang akan menjaga ruang kerja dan perpustakaanmu lagi kalau aku tidak ada?

Atreo tersenyum miring. Setelah beberapa detik yang lama ia menatap sisa-sisa eksistensi Akra, dia kemudian bergegas bangkit, lanjut berlari. Logam-logam ditubuhnya mulai terasa panas, kulit-kulit di tubuhnya terasa seperti akan meleleh. Udara di dalam baju astronotnya terasa kering dan berat dan tubuh Atreo terasa menjadi lemah dua kali lipat.

Atreo tidak peduli jika sekarang luka di perut atau pahanya kembali menganga. Beberapa menit telah berlalu lagi dan ia mulai kesulitan bernapas sekarang. Pemuda itu menilik pengukur di genggaman tangan. Air dan oksigen yang dia bawa sudah habis, padahal air yang diminum Atreo belum banyak. Pemuda itu mengerang, memutuskan melepaskan botol-botol logam di punggungnya. Berat.

Lanjut berlari, tulang-belulang yang Atreo lihat semakin banyak dan berserakan. Namun, dia bahkan tidak sempat untuk memperhatikan itu. Isi kepalanya seperti mendidih, napasnya terengah parah, dan jantungnya memacu dengan hebat. Seluruh tubuhnya terasa berat dan kulitnya seperti terbakar.

Atreo mulai melepaskan bagian-bagian baju logamnya yang hanya memberatkan saja. Bukannya melindungi dari panas, justru merambatkan panas lebih cepat ke tubuhnya. Persediaan air di dalam baju logam sudah habis dan senjata itu balik menyerang tuannya sendiri karena dia adalah konduktor panas yang hebat.

Atreo mengejapkan mata menahan kesadaran. Semakin jauh ia berjalan, tumpukan tulang belulang terus berkurang. Jika mengingat Atreo adalah anak rumahan, ia pastinya sudah tergeletak di antara serakan tulang belulang tadi, tempat di mana kebanyakan orang akhirnya tumbang setelah berjalan keluar atmosfer buatan. Namun, segala latihan yang ia terima di akademi dan jurusan rupanya membentuk tubuh Atreo dengan sangat baik. Syukurlah aspek itu tidak hilang karena semua kemampuan spiritual yang Atreo capai tidak dapat ia gunakan di dunia ini. Mungkin buminya ini memiliki kekuatan spiritual berbeda yang tidak bisa Atreo manfaatkan.

Penanda waktu yang Atreo miliki sudah terlepas bersama baju logamnya tadi, membuatnya tidak yakin berapa lama waktu telah berlalu. Namun, ia tidak sempat memikirkan itu ketika ia bahkan tidak sempat berkeringat karena seluruh air di tubuhnya terus menguap. Tenggorokannya terasa sangat kering, kakinya benar-benar lemas dan panas, ubun-ubunnya terasa sangat empuk, dan punggungnya seperti dibakar. Pandangan Atreo mulai berkunang-kunang. Kepalanya terasa sangat pening seolah ribuan jarum merajam di sana. Jantungnya terasa sangat sakit dan paru-parunya terasa sangat sesak. Atreo bahkan sampai tanpa sadar sedikit menjulurkan lidah, entah apa itu membantu atau tidak, secara spontan dia melakukannya.

Napas pemuda itu menjadi semakin berat dan panas seiring dengan langkahnya. Tenggorokannya tercekat. Dia harus segera turun dari bukit ini atau dia mungkin tidak akan sampai. Badan Atreo lemas dan menggigil padahal dunia sebegini panas. Lemak-lemak dalam tubuhnya seperti mendidih, seolah ingin ikut menguap tetapi tidak bisa. Seluruh tubuh Atreo rasanya seperti mengeluarkan asap yang panas bahkan untuk Atreo sendiri.

Ketika napasnya tinggal satu-dua, mata Atreo mendadak berat, minta dipejamkan. Seluruh anggota tubuhnya seperti berteriak memohon ampun. Pemuda itu menggigit bibir, menangis tanpa air mata. Hatinya juga ikut memohon ampun, tidak kuat. Tetapi, sisi lain di hatinya terus berbisik menguatkan. Kepala Atreo mendadak jadi seberat batu, ingin dijatuhkan dan ditidurkan.

Atreo butuh istirahat. Tetapi, jika dia berhenti, dia tidak akan pernah bangkit lagi.

Kenapa jalan turun dari bukit ini jauh sekali, sih?

Bibir pemuda tujuh belas tahun itu mulai pecah. Atreo bahkan hampir tidak bisa menelan ludah. Langkahnya sudah berat, seakan beban ratusan ton diikatkan di kedua kakinya. Ia menggenggam erat alat di tangannya, berusaha menahan kesadaran. Berusaha mengingat alasan kenapa ia harus bertahan.

Ya, Atreo harus bertahan. Atreo harus sampai dan mewujudkan harapan terakhir yang dia punya.

Tubuh pemuda itu oleng dan jatuh ketika kakinya menyandung sesuatu, entah apa, membuatnya menggelinding menabraki apapun menuruni bukit. Atreo hanya bisa pasrah ketika pasir-pasir panas lancang masuk ke mulutnya. Dia hanya mampu memejamkan mata. Tubuhnya kebas, tidak merasakan sakit apapun meski batu-batu tajam sepertinya mengoyak kulitnya. Atreo telah kehilangan tenaga.

Wajah Liam entah kenapa tiba-tiba terlintas dalam kesadaran Atreo yang tinggal setengah. Wajah cantik yang sangat sombong dan menyebalkan, dilengkapi sepasang mata yang menatapnya dengan pandangan yang sangat angkuh disertai kesan merendahkan. Wah, lancang sekali.

Wajah Elsi kemudian ikut lancang terbayang, wajah Alka, wajah Aalisha, wajah Jaac, wajah Zeeb, dan wajah Kaori. Sayup-sayup, dia seperti mendengar teriakan pasrah dan penuh harapan Kaori ketika perempuan itu melindunginya dulu. Teriakan seperti, "kamu harus bertahan! Kamulah harapan terakhir kami! Kamu adalah satu-satunya yang bisa kami harapkan! Cepat pergi! Kalau Treo, Treo pasti tahu bagaimana caranya karena Atreo jenius."

Atreo memaksakan dirinya bangkit. Napasnya patah dan dia kehabisan ludah. Lidahnya terbakar pasir panas. Seluruh tubuhnya gemetar. Tangannya nyaris tidak lagi bisa menggenggam alat pembangun sinyal yang dia bawa. Susah payah Atreo berusaha berdiri di atas tungkainya yang terasa seperti ranting pohon, bergetar hebat menahan berat tubuh Atreo. Pandangannya buram, lebih banyak gelapnya dibanding terangnya. Kepalanya terantuk-antuk. Susah payah ia berusaha melangkah, melupakan panas yang membakar telapak kaki. Bisa maju selangkah saja sudah bagus.

"Kamu adalah atreo, kamu adalah raja."

Suara hangat Kepala Sekolah terasa sangat dekat, membuat kelopak mata Atreo memanas. Bukan panas karena matahari, tetapi panas karena kelenjar air mata Atreo bekerja. Tidak ada air mata yang keluar, tetapi Atreo menangis, dan dia mengakui itu.

Bibir Atreo gemetar, giginya bergemeletuk. Atreo tidak bisa bernapas. Tenggorokannya terasa seperti tercekik. Dia mendongakkan kepala, berusaha meraup udara tanpa membuahkan hasil. Atreo bahkan tidak yakin ke arah mana dia pergi. Pemuda itu tetap berjalan seperti zombie dengan kesadaran yang muncul tenggelam. Dia terbatuk hebat karena sesak napas dan itu melukai tenggorokannya yang sempurna kering kerontang.

Asam dalam lambung Atreo meningkat tajam. Luka-luka menganga dan terbakar sinar matahari membuatnya kembali jatuh. Dagunya berdebam keras mencium bumi. Dia bahkan tidak sempat menguatkan diri sendiri atau menyesal karena gagal ketika nyawanya seperti ditarik keluar secara perlahan.

Wajah Akra membayang dalam ingatan. Wajah Rakea. Wajah Ayahnya. Wajah Ibunya. Wajah keluarganya.

Atreo menyesal pernah membenci mereka. Atreo sungguh menyesal telah membenci mereka. Dan Atreo juga sangat menyesal karena tidak pernah memberikan mereka kesempatan lebih banyak dan memohon lebih tulus untuk menjelaskan.

Padahal Akra keluar dari atmosfer atas kehendaknya sendiri. Padahal Akra keluar dari atmosfer karena keputusannya sendiri. Karena Akra mengidap dementia dan ingatannya mulai memburuk ditambah sakit bawaannya sejak lahir yang dia sembunyikan. Akra akan mati bahkan jika dia tidak keluar atmosfer. Akra percaya dia bisa menggantikan Rakea yang lebih berguna dan mempunyai kesempatan hidup lebih tinggi. Lagipula Akra akan mati, dan itu akan mengganggu keseimbangan atmosfer jika atmosfer kehilangan makhluk hidup di dalamnya.

Padahal, Akra hanya terlalu menyayangi adik bungsungnya hingga tidak bisa mengucapkan perpisahan karena ia sendiri tidak ingin mengakui dirinya akan berpisah. Rakea dan orang tuanya tidak kuat memberi penjelasan karena Atreo adalah kesayangan mereka yang sangat rapuh dan tidak mampu menghadapi kenyataan bahwa Akra memang telah pergi. Padahal, selama ini, bukan hanya Atreo yang terluka. Namun, ia malah melukai keluarganya lebih banyak dari yang sudah mereka punya.

Atreo menangis di ujung kesadaran, susah payah membisikkan kata maaf dengan wajah orang tua dan Rakea di pelupuk matanya. Dengan sisa tenaga, pemuda itu berusaha membuka mata. Seluruh pandangannya terlihat putih untuk beberapa lama, sebelum kemudian menunjukkan bayangan buram apa-apa yang ada di hadapannya.

Atreo tersentak. Dia kembali terbatuk dengan napas yang tercekat dan dada yang seolah berlubang karena jantungnya seperti menghilang, melompat keluar. Paru-paru Atreo terasa terbakar dan ia bahkan tidak bisa merasakan sisa tubuh bagian bawahnya.

Pandangan buram Atreo perlahan menangkap bayangan sebuah tiang pendek tidak jauh di depan tempatnya terjatuh. Susah payah pemuda itu mengumpulkan kesadaran hingga akhirnya sadar bahwa tiang itulah yang dia cari. Atreo kembali terbatuk, kali ini rasa besi menyebar ke mulutnya, membuatnya tak percaya indera pengecap Atreo masih berfungsi setelah kemasukan pasir panas yang membakar.

Pemuda itu menyeret tubuhnya dengan bertumpu pada kedua tangan yang telah kehilangan tenaga. Alat yang dia genggam di tangan kiri beberapa kali terlepas hingga membuat Atreo kesetanan mencari alat itu lagi dengan tangannya yang bergetar mengais-ngais tanah. Ia beberapa kali terdiam di tempat, hilang kesadaran, pingsan, untuk kemudian bangun lagi dan kembali kesetanan dengan sisa-sisa kekuatan.

Kepala Atreo rasanya sebentar lagi akan meledak. Pemuda itu menyeret tubuhnya sekali lagi menuju tiang yang sudah tinggal berjarak sejengkal. Dengan tangan yang bergetar begitu hebat, Atreo mengangkat alat yang dia bawa. Butuh berkali-kali mencoba sampai Atreo akhirnya memasang alat itu dengan tepat.

Dan hal terakhir yang Atreo ingat, adalah wajah Akra yang tersenyum dengan bangga kepadanya.

°†°†°†°























"KENAPA HARUS ATREOO?! KENAPA HARUS TREEOO?!"

Rakea berteriak histeris ketika tahu adiknya satu-satunya pergi keluar atmosfer. Ibunya bahkan sudah pingsan, sementara ayahnya langsung pias, segera membawa istrinya kembali pulang.

Kerumunan yang semenjak tadi tercipta karena melepaskan Atreo pergi, hanya bisa menunduk dalam melihat ratapan Rakea. Beberapa pemuda bahkan bersembunyi di balik bahu temannya, menyedot ingus diam-diam. Meski mereka baru mengenalnya seminggu terakhir, mereka mengenal Atreo sebagai orang yang sangat baik. Mereka bahkan menyesal tidak menyapa Atreo semenjak lama, menyesal pernah takut dan benci pada Atreo, padahal Atreo hanyalah seorang pemuda tujuh belas tahun yang menanggung banyak beban berat di pundaknya.

Rakea meraung. Dia tidak tahu kenapa tadi pagi Atreo tiba-tiba saja datang ke rumah, meminta penjelasan tentang kematian Akra sebenarnya. Dia tidak tahu kenapa Atreo tiba-tiba saja meminta Rakea dan orang tuanya untuk tidak keluar rumah sebelum pukul dua belas. Dia tidak akan tahu apa alasan Atreo melakukan itu semua jika saja Rakea tidak nekat keluar rumah, mengabaikan pesan adiknya.

Perempuan itu meraup udara, berteriak memanggil nama Atreo. Dia sudah kehilangan saudara kembarnya, bagaimana mungkin sekarang dia juga harus kehilangan adiknya? Ini tidak adil! Kenapa bukan Rakea saja yang keluar atmosfer?! Dia sudi dibenci adiknya sepanjang hidup asal adiknya jangan mati dalam keadaan seperti ini.

Membayangkan Atreo meninggal dalam keadaan tersiksa membuat Rakea kembali mengamuk.

Gadis itu berdiri dari simpuhnya, berjalan dengan tatapan marah, kemudian mencengkeram kerah kepala kota.

"KENAPA KAMU SELALU MENGAMBIL SAUDARA-SAUDARAKU?! MEREKA ORANG BAIK! KENAPA MEREKA HARUS MATI?! KENAPA MEREKA HARUS MATIII?!!"

Kepala Kota hanya mampu diam. Rakea tahu apa alasan orang-orang selalu dibuang keluar atmosfer. Rakea tahu itu, dia hanya sedang hilang akal. Semakin Kepala Kota berusaha menjelaskan, Rakea hanya akan semakin emosi.

Maka, yang bisa dilakukan Kepala Kota hanya membawa Rakea ke dalam dekapannya, menepuk punggung perempuan itu dengan penuh kesabaran, meski dirinya sendiri juga masih tidak percaya harus kehilangan Atreo.

Rakea menangis sesenggukan. Amarah sesaatnya langsung menguap. Tubuhnya melemas karena berbagai emosi yang keluar.

"Kenapa harus Atreo?" tanya Rakea lirih. Kepalan tangannya memukul dada Kepala Kota dengan tanpa tenaga.

Layar komputer yang disiapkan di dekat kerumunan orang-orang itu, mendadak hidup secara tiba-tiba. Layarnya hitam putih, seperti masih berusaha menangkap sinyal. Seorang bapak-bapak berseru, kemudian segera mengotak-atik kabel yang kendor, sementara bapak-bapak yang lain juga bergegas bekerja, memastikan tidak ada kesalahan dalam komputer.

Gumaman-gumaman 'Atreo berhasil' langsung mendengung, membuat Rakea mengusap air matanya. Dia berbalik, ikut menatap layar komputer yang kini secara putus-putus menampilkan wajah seseorang yang sangat Rakea kenal. Wajah basah Rakea yang penuh kesedihan secara perlahan berubah menjadi penuh harapan ketika dia berseru,

"Paman Jaac!"

† Atreo: End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro