BAB XXXIII (Perubahan Clarissa 2)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aldora Weston (part 6)

Clarissa berubah.

Dia benar-benar berubah.

Bagaimana gue tidak berkata demikian, selama beberapa hari ini Clarissa bertingkahnya sangat aneh.

Clarissa menjadi sangat akrab dengan Ariana. Di mana ada Ariana, di situ pula ada Clarissa. Mereka  sangat lengket dan tampak bahagia. Bahkan, Clarissa tidak lagi banyak mengabiskan waktu dengan kami berdua. Dia dan Ariana seperti tak terpisahkan.

Semua itu bermula saat kami ikut serta dalam rapat yang diselenggarakan oleh OSIS. Clarissa yang biasanya terlihat takut serta tidak menyukai kehadiran Ariana, entah mengapa hari itu tampak berbeda. Dia jadi aneh. Bahkan, kata Rana dia yang meminta untuk duduk bersampingan dengan Ariana. 

Waktu itu, pas kami pulang gue bertanya padanya. Namun, Clarissa mengatakan pada gue kalau dia tidak lagi merasa terbebani dengan kehadiran Ariana. Malah, dia mau berteman dengannya. Dia bahkan menyarankan gue untuk melakukan hal yang sama dengannya.

What the hell! Bisa-bisanya dia berkata demikian. Gue tidak tahu apa yang merasuki Clarissa saat ini. Namun, gue merasa semua gerak-geriknya mencurigakan. 

Gue tidak tahu, kapan mereka benar-benar menjadi akrab. Atau bisa saja tanpa sepengetahuan gue dan Rana, apa mereka berdua sudah saling berukar nomor? 

 Clarissa bukan anak yang mudah akrab dengan siapa pun.  Dia adalah salah satu manusia yang memiliki tingkat kecanggungan yang luar biasa. Dia tidak gampang berkenalan dengan orang lain. Jangankan itu, bahkan dia akan salah tingkah jikalau tiba-tiba disuruh untuk memperkenalkan dirinya. Tapi kenapa dengan secara terang-terangan dia tiba-tiba mengatakan kalau dia mau lebih dekat dengan Ariana yang selama ini membuatnya risih? 

Kenapa dia harus memilih Ariana sebagai temannya? Kenapa tidak yang lain saja, seperti Ratu, misalnya? Kan setidaknya gue tahu kalau mereka anak yang asik.

Apa jangan-jangan Clarissa sengaja ingin dekat dengan Ariana?

Dia hanya ingin mencari tahu sesuatu?

Kalau memang benar, harusnya dia membicarakannya pada kami.

"Na, temanin gue, yuk!" Tiba-tiba Clarissa melintasi bangku kami, lalu berhenti persis di hadapan Ariana.

"Lo mau ke mana?" tanyanya.

"Pergi beli minum. Entar lagi bel masuk bunyi. Lo mau kan temenin gue?"

"Boleh, Gur juga mau beli susu, ah."

Ariana mengambil dompet di tasnya lalu bangkit. Mata kami saling bertemu.

Dia menyeringai. 

Sialan! Kapan-kapan dia harus merasakan betapa dahsyatnya hantaman tangan gue.

Begitu berjalan di samping kami, gue manarik lengan Clarissa.

"Kenapa mesti Ariana sih? Kan kita bisa temenin lo," kata gue.

Clarissa berbalik. "Gue gak mau kamu capek, Dora. Lo kan harus jaga stamina karena entar lagi bakalan ikut turnamen, bukan? Pulang sekolah nanti lo latihan lagi, kan? Sementara Rana masih pusing dengan materi yang akan diangkat oleh ekskul Mading. Di bawah matanya sampai menghitam seperti itu, tandanya dia memang bedang dan kurang istirahat. Intinya, kalian semua sibuk, sementara Ariana free. Jadi, yah, mending gue aja Ariana."

 "Lo kok berubah sih, Clarissa?" 

Clarissa melepaskan genggaman gue. "Gue gak berubah, Dora. Kamu yang terlalu sensitif," ucapnya lalu pergi bersama dengan Ariana.

Gue terkejut. Sangking terkejutnya, gue sampai merasa sedikit pusing. Ini pertama kalinya Clarissa mengatakan hal yang menyingggung perasaaan gue. Selama ini, bagaimana pun tingkah gue di hadapannya, dia tidak pernah sekali pun merasa terganggu. Bahkan, gue beberapa kali mengatakan hal yang sedikit keterlaluan yang setelahnya membuat gue menyesal dan meminta maaf padanya, dia sama sekali tidak pernah membalas atau memusuhi gue.

Gue tidak bisa berkata apa-apa lagi  Bukan cuman gue yang syok melihat Clarissa yang menjadi akrab dengan Ariana. Rana pun sama. Bahkan, ekspresi dia lebih lebay ketimbang gue. Biasalah yah, dia emang kan ratu lebay.

Gue bukannya cemburu, Clarissa punya teman lain selain gue dan Rana. Tetapi, ini terlalu mendadak buat gue, di lihat dari karakter Clarissa sebelumnya yang sangat introvert. Dia bahkan tidak pernah terlepas sehari pun bersama kami selama di sekolah, kecuali kalau berhalangan hadir ke sekolah, seperti sakit dan yang lainnya.

"Jangan diambil hati, Dora. Apa yang dikatakan Clarissa memang benar. Tapi, gue juga gak mungkin gak kaget melihat reaksi dia dan ucapannya."

Rasa nyeri tepat di dada, membuat gue merasa sesak. Selama ini Clarissa tidak pernah bertingkah seperi tadi. Kalau pun tidak ingin diganggu, biasanya dia akan berbicara dengan pelan, baik-baik, dan berusaha menjaga perasaaan kami.

"Kenapa Clarissa berubah seperti ini, yah?"

Rana memandangi gue. "Gue juga gak tahu. Gue juga ngerasa Clarissa seperti menjauh dari kita."

"Benar. Apa ini karena Ariana?"

Rana menggeleng pelan. "Kita gak boleh salahin Ariana atas sikapnya Clarissa, Dora."

Gue hanya diam. Percuman bicara dengan Rana yang juga menjalin pertemanan yang baik dengan Ariana. 

Kenapa mendadak semua sahabat gue jadi pro ke dia? Gue seakan-akan ada diposisi yang tidak bagus. Ini tidak bisa dibiarkan.

*_*ALGEA*_*

Dua minggu berlalu begitu saja.

Gue dan Clarissa belum saling bertegur sapa. Bukan gue yang duluan memusuhinya, dia yang memutuskan untuk tidak berteman lagi dengan gue dan Rana. Awalnya, Rana merasa masih memaklumi sikap Clarissa, tetapi lama kelamaan, dia pun juga ikut kesal karena Clarissa tidak lagi mengajaknya, atau meminta pertolongannya lagi. Dia terus saja menempel dengan Ariana, tanpa menghiraukan kehadirannya.

Mereka berangkat ke sekolah sama-sama, ke kantin sama-sama, bahkan Clarissa mau belajar bareng sama Ariana. Ini menjadi sebuah tanda tanya besar, bukan?

Clarissa dan Ariana selalu bersama di mana pun dan kapan pun di sekolah ini. Kalau ada rapat dengan OSIS, dia bahkan rela menunggunya. Sementara kami berdua, masih terus memperhatikan mereka dari kejauhan, berharap ada sesuatu yang akan menjadi petunjuk atas apa yang terjadi dengan perubahan Clarissa yang sangat mendadak.

Suatu hari, gue dan Rana berencana untuk ke rumah Clarissa seraya menanyakan kenapa dia berubah seperti itu? Apakah dia masih marah? Atau ada dari ucapan atau sikap kami yang membuatnya sampai muak dan memilih berteman dengan Ariana?

Namun apa yang terjadi? Dia malah tidak ada di rumah. Padahal kami sudah menulis pesan di whatssap kalau kami akan main ke rumahnya hari itu. Jadi, dengan penuh rasa kesal kami meninggalkan kediamannya.

*_*ALGEA*_*

Beberapa hari yang lalu, kami menarik paksa Clarissa ke dalam toilet. Rana mengunci pintu, agar tidak ada yang mengganggu. Kami ingin membuatnya bicara, ada apa dengan semua yang terjadi padanya.

"Lo kenapa berubah seperti ini?" tanya gue kesal.

Clarissa memasang wajah tanpa ekspresi. "Gue gak berubah."

Dia ingin pergi, namun ditahan oleh Rana. "Lo udah gak mau main sama kita?"

Clarissa menatap tajam ke arah Rana. "Gue udah muak dengan kalian berdua," ucapnya.

"Tapi, kenapa? Kami tidak berbuat apa-apa sama lo? Kenapa lo jadi muak sama kita?"

Clarissa mendengus. "Untuk itu, lo pikir aja sendiri. Intinya, gue udah gak bisa menghadapi kalian," ucapnya. Clarissa menarik lengannya dari Rana, lalu membuka pintu.

Saat Clarissa membuka pintu, sosok Ariana tiba-tiba berdiri tepat di depan toilet. Sejak kapan dia ada di sana?

"Kok lo ada di sini?" Tanya Clarissa.

"Tadi gue mau ke toilet tapi pintunya terkunci," jawabnya sambil tersenyum, kemudian melirik tajam ke arah gue dan Dora.

"Ayo, pergi dari sini!" Clarissa menarik tangan Ariana, kemudian pergi meninggalkan gue dan juga Rana yang masih syok dengan ucapan-ucapan Clarissa yang begitu menohok.

*_*ALGEA*_*

Hari ini, gue dan Rana berencana untuk mendatangi  rumah Clarissa. Kami berdua akan mengintrogasi Clarissa habis-habisan. Dan kami sengaja tidak memberitahu ke dia kalau kami akan datang ke rumahnya untuk memperjelas semuanya sekaligus meluruskan apa yang terjadi. Selama ini, kami memang salah karena tidak pernah menghiraukan apa yang Clarissa rasakan. Kami selalu berpikir kalau Clarissa memang tidak pernah merasa sakit hati dengan apa pun yang kami lakukan.

Sejujurnya, gue dan Dora merasa sangat bersalah. 

"Lo udah siap-siap kan, Sisy?" gue menelpon Rana.

"Udah dari tadi, Dora! Lo kok lama banget?"

"Sory, tadi gue ketiduran. Oke, gue udah mau on the way  nih! Maybe, lima belas menit  gue udah sampai kalau gak macet."

"Okedeh, baby!" jawabnya.
Gue mematikan ponsel, lalu menancap gas menuju ke rumah Rana.

*_*ALGEA*_*

Setelah menjemput Rana, akhirnya kami berdua menuju ke rumah Clarissa yang pastinya  tanpa sepengetahuannya.

"Ran, kita udah berkali-kali ngebahas ini. Clarissa benar-benar berteman dengan Ariana? Atau gue cuman mimpi aja?"

"Awww!!" Rana mencubit lengan gue.

"Sakit tau, Ran!" sambil mengusap-usap lengan gue.

"Lo sih! Udah berapa kali jugag ue bilang, ini bukan mimpi! Kalau ini mimpi, mana bisa lo ngerasain cubitan gue?"

"Iya, sih! Gue cuman gak percaya aja."


Rana menatap gue. "Inilah gunanya kita ke rumah Clarissa, kan? Kita harus mendapatkan alasan mengapa dia bisa sampai sedekat itu dengan Ariana."

"Kita juga harus minta maaf dan berbaikan dengannya. Gue kangen anget sama  Clarissa yang biasanya," kata gue sungguh-sunggu.

"Gue juga. Gue kangen kita kumpul-kumpul lagi. Semoga Clarissa memaafkan  dan masih mau berteman sama kita," kata Rana sedih.

Gue mengangguk setuju.

*_*ALGEA*_*

Akhirnya, kita sampai di rumah Clarissa.

"Selamat siang, Non Rana, Non Dora," ucap Pak Trisno yang bertugas menjadi satpam di rumah Clarissa. Pak Trisno lalu membuka pagar untuk kami.

"Siang, Pak. Clarissanya ada?" Tanya Rana.

"Ada kok, Non," jawab Pak Trisno.
Gue tersenyum. "Oke, terima kasih, Pak. Kita masuk dulu, yah!"

"Iya, Non!"

Gue pun membawa mobil gue masuk ke halaman rumah Clarissa yang sangat luas, lalu memarkirnya tepat di samping mobil kesayangannya.

Tok ... tok ... tok ...

Gue mengetuk pintu rumah Clarissa.
Tidak berselang lama, pintu pun terbuka.

"Hai,  anak-anaknya Mommy yang cantik," Mommy langsung memeluk gue dan Rana. "Kok, kalian gak sering mampir ke sini lagi sih?"

Gue dan Rana saling bertatapan. "Mom, kami sering kok datang. Cuman, mommy-nya aja yang ga ada di rumah," jawab Rana sambil tersenyum.

Kami terpaksa berbohong karena tidak ingin Mommy tahu kalau kami dan Clarissa saat ini sedang tidak saling berhubungan baik. Toh, beliau juga sangat sibuk.

"Yang bener? Aduh..., maafin Mommy yah!"

"Mom! Kok anak-anaknya gak disuruh masuk?" ucap Daddy yang mulai berjalan menghampiri kami berdua.

"Ohiya, maafin Mommy lagi! Ayo masuk dulu sayang ..."

Daddy memeluk gue dan Rana satu persatu.

"Dad, Clarissanya ada kan?"

"Ada, kok!" jawab beliau.

"Clara ... Clara ..." Daddy memanggil Clarissa tetapi tidak ada respon.

"Biar kami berdua yang langsung ke kamarnya, Dad!" ujar Rana.

"Hm ... gitu! Baiklah! Kalian langsung ke kamar Clara aja. Nanti Mommy bakalan siapin snack buat kalian," ucap Daddy yang membuat gue dan Rana langsung tersenyum senang.

"Terima kasih, Daddy!" ucap gue dan Rana bersamaan.

Gue dan Rana langsung naik ke lantai dua rumah yang bergaya American Classic ini. Kamar Clarissa terletak tepat sepuluh meter dari dari tangga.

Tok ... tok ... tok ...

"Clarissa, ini kita!" ucap Rana.

Hening.

"Clarissa, buka pintu dong!"

Masih hening.

Gue mencoba mengetuk pintunya lebih keras.

Tidak lama kemudian, Clarissa akhirnya membuka pintu kamarnya.

"Loh? Kok kalian bisa ada di sini?" tanyanya.

Oke, gue kesal mendengar ucapan Clarissa begitu melihat kami berdua. "Jadi, kita berdua udah ga boleh datang ke rumah lo?"

"Bu-bukan seperti itu. Gu—gue ... "

"Sepertinya lo udah ngelupain kita berdua. Baiklah, kita balik aja. Lo memang sudah berubah Clarissa, lo berubah!" ucapan gue mendapat respon yang positif dari Rana. Pasti Rana merasakan hal yang sama dengan gue. Clarissa benar-benar sudah berubah. Biasanya kalau gue dan Rana datang, Clarissa pasti sangat senang. Dia tidak pernah  menanyakan kedatangan kami.  Ini pertama kalinya.

"Lo udah berubah, Clarissa," ucap Rana. "Lo bahkan gak mempersilahkan kita masuk ke kamar lo. Sepertinya, lo memang udah gak mau berteman dengan kami berdua."

"Bu— bukan seperti itu, Ran," ucap Clarissa dengan raut wajah sedih.

"Kalau gak seperti itu? Trus kenapa?" Tanya Rana lagi dengan nada yang sedikit sinis.

"Kamar gue berantakan dan tadi gue gak terlalu denger ada yang ngetuk pintu," ucap Clarissa.

"Klasik banget jawaban lo!" gue dengan cepat merespon perkataan Clarissa.

"Kalau tidak percaya, kalian bisa lihat sendiri," ucap Clarissa sambil mempersilahkan kami melihat kamarnya.

Dia benar. Kamar Clarissa benar-benar sangat berantakan.

"Kenapa ini bisa terjadi?" Rana menanyakannya kepada Clarissa.

"Gue udah ngenalin  Arnold ke kalian berdua, kan?" Clarissa menutup pintunya. "Dialah yang melakukan ini."

Gue masih ingat nama itu. Arnold, yah nama salah satu hantu yang menjadi teman Clarissa. Kalau dia bisa terlihat oleh mata gue, mungkin gue bisa percaya. Tetapi sayangnya, dia tidak Nampak sama sekali.

 Seperti yang kalian ketahui, gue tidak pernah mempercayai segala hal yang berhubungan dengan mahluk tak kasat mata, dan juga orang-orang yang bisa melihatnya. Meskipun itu sahabat gue sendiri. Gue selalu berpikir, Clarissa cuman salah satu manusia spesial yang memilki dunia sendiri.

"Hantu Belanda itu?" Rana bertanya ragu-ragu.

"Benar!" Clarissa menatap gue. "Lo pasti gak percaya dengan apa yang gue katakan, bukan?"

Gue mengangguk membenarkan.

"Apa lo mau melihat dia secara langsung? Gue bisa membuat lo bisa melihat Arnold. Dia masih ada di dalam ruangan ini," ujar Clarissa yang entah mengapa membuat buluk kuduk gue bergidik.

"Gak usah, Sissy! Gue gak berminat."

"Clarissa, kita datang ke sini untuk--"

Clarissa melangkah sedikit lebih dekat ke arah gue. "Plis, Dora! Gue mau lo berinteraksi dengan Arnold! Gue bukannya mau membuktikan bahwa gue benar. Atau mau memamerkan kemampuan gue. Ini murni untuk membantu  untuk menyelesaikan kasus yang terjadi di sekolah kita. Gue gak kuat kalau sendiri."

Rana menghampiri Clarissa. "Maksud lo apa, Cla? Apa hubungannya hantu yang bernama Arnold ini dengan kasus di sekolah kita?"

Clarissa menatap Rana. "Gu-gue mau kita  bekerjasama untuk menghentikan perbuatannya. Gue gak bisa sendirian. Gue gak kuat. Dan lagi, seluruh kasus yang terjadi di sekolah kita berkaitan  dengan dunia para Dewa sekaligus dunia para mahluk tak kasat mata," ujarnya.

Gue dan Rana saling berpandangan.
Gue mencoba mencerna seluruh apa yang dikatakan Clarissa. "Gue makin gak ngerti. Kenapa lagi ada dunia Dewa-Dewa segala?"

"Cla, gue bukannya gak percaya. Cuman, yang lo katakan barusan benar-benar tidak masuk akal," ucap Rana.

"Makanya, gue mau Aldora berinteraksi dengan Arnold. Gue mau kalian percaya sama gue!" ujar Clarissa.

Rana menatap gue, lalu menganggukkan kepalanya.

"Baiklah, Sisy. Gue bersedia untuk berinteraksi dengan hantu bernama Arnold itu." Kali ini gue akan mencoba percaya dengan hal-hal yang sangat bertentangan dengan akal sehat gue.  Ini demi sahabat gue. Kalau pun nantinya gue tidak melihat apa-apa, gue akan mencoba berkomunikasi dengan kedua orangtua Clarissa  dan menyarankan beliau untuk membawanya ke psikiater.

Gue bukannya jahat, tetapi ini demi kebaikan sahabat gue.

"Baiklah. Lo duduk mengarah ke depan lemari gue," ucap Clarissa.

Gue melakukan apa yang dikatakan sahabat gue itu.

"Pejamkan kedua mata lo. Trus angkat tangan lo ke depan," ucapnya lagi.

Gue merasakan tangan  Clarissa menyentuh ubun-ubun gue.

"Sekarang, secara perlahan bukan mata lo." Gue pun membuka kedua mata gue secara perlahan.

"Perhatikan baik-baik, apa yang saat ini ada di hadapan lo," ucap Clarissa lagi.

Gue terkejut.  Sangat-sangat terkejut.  Ternyata selama ini Clarissa berkata benar. Dia bukan memiliki masalah dengan otaknya. 'Mereka' benar-benar ada di dunia ini.

"Apa yang lo lihat?" Tanya Clarissa.

"Gu— gue melihat, anak kecil berambut pirang dengan setelan baju— anak-anak pada zaman Belanda, kalau gue gak salah? Anak itu tersenyum ke arah gue." Dengan detail, gue menjelaskan apa yang saat ini terlihat oleh kedua mata gue.

"Lo beneran lihat, Dora?" Tanya Rana.

"Bener! Gue ngelihat dia sangat jelas. Emang lo gak lihat?"

"Gak!" ujar Rana kesal.

Gue dan Rana secara spontan menatap Clarissa.

"Maaf guys, gue sengaja mendekati Ariana karena semua kasus ini berkaitan erat dengan dia," ucap Clarissa sedih.

"I really miss you guys!" ucapnya lagi.

"Maafin kita Cla. Selama ini gak percaya sama lo."

Clarissa hanya terdiam, lalu mengamburkan tangisannya ke pelukan gue dan Rana.

Kami bertiga pun menangis sejadi-jadinya.

Dari sudut mata, gue melihat hantu yang bernama Arnold itu juga ikut menangis melihat kami.

*_*ALGEA*_*
*

*

*

*

*

*

*
BERSAMBUNG

Hai sahabat bintang❤😊

Kali ini ceritanya lumayan panjang yah! Krna aku keburu harus namatin ceritanya😂.

Terimalasih atas segala dukungan kalian. Aku benar-benar sangat terharu. Rasanya pengen meluk kalian satu per satu, tapi sayangnya kalian jauh.
Tapi gak apalah yah, aku bisa meluk kalian secara online🤗.

Oke, sekian dari aku. Seperti biasa, kalau ada kesalahan dalam kepenulisan seperti typo, plot hole atau semacamnya. Kalian bisa langsung DM aku☺.

Happy Reading, Sahabat❤💋💋💋



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro