XII (Benar-benar sesuatu yang aneh)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Clarissa Wiradmaja (Part 4)

Ketika manusia dilahirkan ke dunia ini, disaat yang bersamaan lahirlah pula mahluk lain. Mahluk itu berupa jin yang bernama Qarin. Jin Qarin akan hidup bersama manusia seumur hidupnya. Mereka mengetahui seluruh hal tentang manusia yang diikutinya. Mulai dari apa yang disukai dan juga tidak disukai dari manusia yang dia dampingi, keluarga, sahabat, musuh, dan yang lainnya.

Bukan hanya mengetahuinya, bahkan wajahnya pun juga sangat mirip dengan manusia yang dia dampingi.

Meskipun aku bisa melihat seluruh mahluk tak kasat mata seperti hantu dan sebangsanya, tetapi secara pribadi aku belum pernah melihat mahluk sebangsa jin yang menjadi pendampingku di dunia ini. Aku hanya bisa berinteraksi dengan mahluk penjaga secara garis keturunan.

Ada hal yang selama ini menjadi pertanyaan besar di dalam kepalaku. Bisakah mahluk yang bernama Qarin ini, bertukar jiwa dengan manusia yang dia dampingi?

Mungkin, pertanyaan ini sedikit tidak masuk akal. Tetapi, itu sanggup membuat kepalaku pusing memikirkannya. Dan yah, lagi-lagi asam lambungku kembali naik.

Baru-baru ini, aku mendapati Ariana yang merupakan teman sekelasku sedang berbicara di depan cermin. Sekilas, mungkin itu bukan lah hal yang perlu dipermasalahkan. Namun, yang membuat aku terkejut ialah, bayangan di dalam cermin itu tidak bergerak sesuai dengan tubuhnya yang sedang berkaca, dan bahkan bayangan itu juga bisa berbicara. Sayangnya, aku tidak terlalu mendengar apa yang mereka bicarakan.

Aneh, kan? Bukan aneh lagi, pemandangan itu cukup menyeramkan. Bayangkan saja, tiba-tiba bayangan kalian di dalam cermin tidak bergerak sesuai dengan gerakan kalian dan yang lebih horor lagi, dia bisa bicara.

*_*ALGEA*_*

Pukul 16.00 Sore.

To be fly ...

Lagu soundtrack anime Haikyuu yang menjadi salah satu anime kesukaanku berbunyi, itu pertanda ada panggilan masuk di dalam ponselku.

Ketika melihat ke layar ponsel, nama Aldora terlihat didalamnya.

"Halo, Dora."

"Halo, Cla. Dalam waktu 5 menit dari sekarang, gue bakalan nyampe di rumah lo. Lo siap-siap, kita sama-sama ke sekolah. Gak usah dandan."

"Hah? Kita mau ngapain ke sekolah? Lo ada kelupaan sesuatu?"

"Bukan, Cla. Pokoknya, lo siap-siap aja. Nanti gue bakalan jelasin di mobil. Intinya, sekarang Rana lagi butuh kita."

"Rana? Oh--Oke. Gue langsung siap-siap."

"Oke, bye .."

"Bye ..."

Setelah panggilan terputus, perasaanku menjadi tidak karuan. Ada apa dengan Rana? Bukan kah tadi dia di kumpulkan oleh OSIS? Kenapa nada suara Dora terdengar tidak tenang?

Sesuatu terlintas diingatanku.

Ariana.

Ketika memikirkan Rana, entah mengapa bayangan Ariana melintas di kepalaku. Perasaanku semakin menjadi tidak enak. Aku tidak tahu kenapa wajah Ariana bisa masuk ke dalam kepalaku. Namun satu hal yang pasti, dia berbahaya. Aku masih mengingat dengan jelas ekspresi wajahnya di hari itu. Menyeramkan, sangat menyeramkan.

Aku baru menyadari bahwa, Rana dan Ariana saat ini masih berada di sekolah.

Semoga Rana baik-baik saja.

*_*ALGEA *_*

Pip ...pip ...

Bunyi klakson mobil Dora sudah terdengar, aku langsung pamit ke mommy dan daddy. Lalu, keluar dan mulai masuk ke dalam mobil Aldora. Tadinya mereka sempat bertanya kenapa aku pergi malam-malam seperti ini, begitu mendengar penjelasanku, kedua orangtuaku malah panik karena takut terjadi apa-apa dengan Rana. Mereka bahkan menyuruhku untuk cepat-cepat pergi.

"Pasang sabuk pengaman dulu, sisy!" Ucap Aldora.

Aku hanya mengangguk.

Setelah memasang sabuk pengaman, mobil Aldora mulai memacu.

"Ini kenapa yah, Dora? Maksud gue, ada apa dengan Rana? Apa dia dalam masalah?"

"Sebenarnya, gue gak tahu pasti Rana kenapa. Tapi tadi dia tiba-tiba nelpon gue sambil nangis-nangis. Karena dia ngomong sambil nangis, jadi ucapannya agak kurang jelas. Dan yang bisa gue tangkap ialah, katanya dia melihat mayat di dalam ruang ekskul dance."

"Apa?! Ada mayat lagi?"

"Iya. Gue heran, kenapa akhir-akhir ini sekolah kita menjadi tempat ter-hits untuk bunuh diri? Gak ada tempat lain, apa?" Ucap Aldora berapi-api. "Karena penasaran, gue menelpon Aryan yang juga ikut dalam acara itu. Dia pun menceritakan semuanya."

"Dia bunuh lagi?" tanyaku.

"Iya, mereka tergantung di atas plavon ruangan itu," jawabnya.

"Mereka?"

"Yah, kali ini mayat yang ditemukan ada dua."

Buluk kudukku bergidik karena ngeri. Ini sudah yang kedua kalinya sekolah menjadi tempat kejadian perkara kasus bunuh diri.

"Kenapa yah mereka mereka berpikir se-sempit itu? Mana sekarang bunuh dirinya ngajak temen. Mereka tuh harusnya bersyukur dengan hidupnya, bukan malah membuang nyawa dengan enteng seperti itu." Dora kesal.

"Untuk itu, gue cuman bisa bilang, setiap orang memiliki takdir masing-masing. Kita gak tahu, di mana kita akan meninggal, apa penyebab kita meninggal, dan kondisi kita saat meninggal. So, itu sudah menjadi takdir. Dan kebetulan, sekolah kita saat ini menjadi takdir kematian murid-murid itu."

"Bener juga sih. Tapi yah, Cla lo gak ngerasa ada yang aneh dengan beberapa kasus bunuh diri ini?"

Sebenarnya, aku memang merasa ada sesuatu yang mengganjal. Tetapi, sayangnya karena aku belum bisa menemukan petunjuk lain selain surat yang ku temukan di bawah pohon kemarin, jadinya aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain menunggu.

Berapa kali aku mencoba untuk kembali terhubungan dengan arwah Anada, namun tidak bisa sama sekali. Aku bahkan sampai melakukan perjalanan astral hanya untuk menemukan sosoknya. Aku benar-benar penasaran dengan kematiannya.

"Cla? Clarissaaaa!"

Aku terkejut mendengar teriakan Aldora.

"Eh-iya. Sory, lo ngomong apa tadi?"

Raut wajah Aldora berubah menjadi kesal. "Gak deh, lupain aja. Gue capek ngomong dua kali. Lagian, kita juga udah mau nyampe."

"Sory, Dora."

"Gak apa-apa, Sisy."

"Gue khawatir dengan kondisi Rana," ucapku.

"Gue juga. Dia pasti udah nangis-nangis ampe ingusnya meler. Kalau dilihat sama kita berdua mah gak masalah, secara kita udah terbiasa. Nah yang berabe kalau dia di lihat sama orang lain. Bagus-bagus anak itu gak punya gebetan. Kalau ada, dan gebetannya itu melihat dia kayak gitu, gue yakin sembilan puluh sembilan persen dia bakalan langsung dijauhin," ucap Dora.

Ucapan Dora membuat gue ingin tertawa. Yang dikatakan Dora memang benar. Rana kalau menangis, pasti benar-benar seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan gulali.

*_*ALGEA*_*

Seusai melalui perjalan yang lumayan singkat, dikarena Aldora mengemudikan kendaraannya sangat laju. Akhirnya, kita sampai di sekolah. Hari mulai gelap. Itu pertanda seluruh aktivitas mahluk yang menetap di sekolah ini mulai terbuka. Salah satu alasan gue tidak pernah mau keluar malam ialah karena pintu gerbang gaib terbuka lebar, dan semakin malam mataku semakin peka melihat mahluk-mahluk dari bangsa mereka.

Sebenarnya aku bingung. Kenapa tidak ada satu pun mobil kepolisian atau petugas medis yang datang ke sekolah ini, sementara kembali ditemukan mayat? Sekolah nampak sepi seperti biasanya. Tidak ada tanda-tanda bahwa terjadi tragedi lagi di tempat ini.

"Kita langsung cari Rana aja," saranku.

"Sisy, jangan langsung main masuk-masuk aja. Bukannya gue takut sama hantu yah, tapi kita gak mungkin bakalan mencari Rana di sekolah yang luas ini hanya berdua. Lagian, dia kan pasti lagi sama-sama anggota OSIS yang lain. Kita telepon dia aja dulu."

"Kamu gak diberi tahu Aryan?"

"Gak. Astaga, harusnya tadi gue sekalian tanya ke dia." Dora mengambil ponsel di saku celananya. "Kita telpon Rana dulu. Kalau dia gak angkat, gue baru telpon Aryan."

Gue mengangguk setuju.

Aldora mencoba untuk menghubungi Rana. Di saat Aldora sedang sibuk menelpon, aku tidak sengaja melihat sesuatu yang aneh di balik pohon besar yang menjadi salah satu lokasi bunuh diri beberapa minggu yang lalu.

Ketika mencoba untuk lebih memperhatikannya lebih jelas, aku menangkap sosok itu lagi. Saat terakhir kali bertemu dengannya, dia seperti tidak ingin berinteraksi sama sekali. Lagi-lagi aku mengatakan bahwa untuk ketemu dengannya saja gue sampai melakukan perjalan astral bersama Arnold.

Ingatkah kalian dengan mahluk yang ku temui di bawah pohon beberapa minggu yang lalu? Yap, saat ini dia kembali menunjukkan wujudnya. Mahluk itu adalah arwah dari salah satu siswi di sekolah ini. Dari aura yang dia pancarkan, sepertinya dia ingin berinteraksi denganku.

Oke, aku akan mencoba untuk berinteraksi dengannya. Aku akan berinteraksi dengannya.

"Akhirnya, kita ketemu juga," ucapku tersenyum.

Dia hanya diam dengan wajah pucat dan datar.

"Ada apa? Bicara lah" Tanyaku.

"Ada yang ingin gue sampein sama lo," ucap arwah itu.

"Apa?"

"Tolong, bantu gue," pintanya.

"Asal lo mau cerita sama gue."

"Cerita apa?" tanyanya.

"Tentang kejadian sebelum lo meninggal."

Dia kembali terdiam.

"Gue mau lo bantuin cari tempat yang baik untuk gue," ucapnya.

"Maaf, gue gak bisa. Lo udah memilih cara kematian lo. Dan gue gak bisa membantu apa pun untuk itu. Yang bisa gue lakukan hanya mendengar cerita lo. Kalau memang lo ternyata meninggal di bunuh oleh seseorang, gue pasti akan membantu. Tetapi, kalau kasus bunuh diri seperti ini, gue juga gak bisa apa-apa."

"Lo jangan gitu. Ini bukan sesuatu yang gue mau. Asal lo tau, gue bukan meninggal karena bunuh diri, tapi gue---" ucapannya terhenti.

"Akkhhhhh...." jeritnya sambil memegang lehernya.

"Lo kenapa?"

"To--long ..."

Aku melihat arwah itu menatap ke arah lain. Dan aku mengikuti arah tatapannya. Saat itu, Ariana muncul, seketika arwah itu menghilang.

Deg!

Entah mengapa, aku selalu merasa ketakutan ketika melihat Ariana. Dia terlihat sangat menyeramkan. Apalagi kalau sudah malam seperti ini. Semenjak kejadian itu, gue selalu mengawasi gerak-gerik Ariana. Gue masih penasaran dengan mahluk hitam yang persis Dementor berada di belakangnya. Yah, walaupun hanya sekilas, guemelihatnya dengan sangat jelas.

Ariana datang menghampiri aku dan Aldora.

"Lo mau apa ke sini?" Tanya Aldora sinis.

Ariana tersenyum, "gue cuman mau kasih tahu ke kalian, kalau Rana ada di ruang UKS."

"Oh gitu. Yaudah, yuk Cla," ajak Aldora.

Entah mengapa, aku tidak bisa berhenti menatap wajah Ariana. Bak ada magnet yang membuat pandanngan gue tidak bisa lepas darinya.

"Kenapa lo ngeliatan gue sampai segitunya? Gak usah takut, gue gak gigit kok," ucapnya sambil kembali memamerkan senyumannya yang menurut aku menyimpan suatu keanehan.

"Ngapain Clarissa takut sama lo? Gak guna juga. Ingat yah, gue gak tahu apa tujuan lo. Tapi, kalau lo sampai berani macam-macam sama sahabat gue, gue bersumpah lo akan gue kirim ke neraka," ancam Aldora.

Ariana sedikit memiringkan kepalanya. "Gue gak ngerti sama ucapan lo dan gue juga gak takut sama lo. Ngapain lo marah sama gue? Kan gue udah berbaik hati ngasih tahu lokasi temen lo," ucapnya. "Lagian gue hanya becanda. Lo terlalu tegang, Dora."

"Bodo! Yuk, Cla. Gak usah peduliin dia. Semua yang dia lakukan hanyalah sebuah kepalsuan belaka," ucap Aldora, lalu menarik tanganku.

Saat mulai meninggalkan Ariana, aku berbalik. Ariana tersenyum. Lalu aku tidak sengaja melihat Ariana mengambil sebuah cermin, lalu tersenyum ke arah cermin itu. Kuakui aku memang memiliki kemampuan otak di bawah standar, tetapi aku mempunyai satu kelebihan lain, yaitu memiliki indra pendengaran yang lumayan tajam. Yah, meskipun punya pendengaran yang tajam, bukan berarti gue selalu nguping pembicaraan orang.

Sayup-sayup aku mendengar Ariana berkata, "Aku melakukan hal yang menyenangkan lagi. Coba kita lihat, siapa selanjutnya?"

"Jangan lakukan itu lagi. Ku mohon!"

Aku tidak yakin, tapi aku berani bersumpah kalau suara itu berasal dari dalam cermin yang di pegang Ariana.

Saat mulai berbalik, Ariana juga memutar cermin itu seperti sedang melakukan selfie. Aku melihat, pantulan bayangannya di dalam cermin seperti sedang menutup mata menggunakan kedua tangannya. Sedangkan, Ariana tidak melakukan hal yang sama dengan yang di cermin itu.

Sepertinya, memang ada yang aneh dengan Ariana.

"Dora, kenapa gak ada satu pun polisi dan petugas medis di sekolah, yah? Harusnya kan mereka masih ada."

"Mungkin mereka udah pergi membawa mayat-mayat itu. Gue penasaran, siapa kedua siswi yang melakukan aksi bunuh diri."

"Gue juga."

"Aryan ....," Dora tiba-tiba teriak yang sontak membuat gue terkejut.

Cowok bernama Ryan itu pun datang menghampiri kami.

"Yo! Kalian udah ketemu sama Rana?" tanyanya.

"Belum. Katanya dia ada di ruang UKS, kan?"

"Iya, lo tahu dari mana?"

"Dari Ariana," jawab Dora.

"Ariana?"

Kami menatap ekspresi Aryan yang nampak berubah. Walau pun sekolah gelap, namun masih ada beberapa lampu yang menyala. Dan kami dengan sangat jelas melihat reaksi Ryan.

"Kenapa?" tanya Dora.

"Oh, gak. Gak apa-apa. Cuman, ada yang aneh sih menurut gue."

"Aneh?"

"Iya, gue gak ngelihat dia dari tadi. Padahal kan gue adalah lawannya di seleksi kali ini," kata Ryan bingung. "Ah, mungkin karena guenya aja kali yang datang kecepatan."

Aku dan Dora saling bertukar pandangan.

"A-anu, gue mau nanya," Aryan menoleh ke arahku, lalu tersenyum ramah.

"Tanya aja."

"Apa mayat-mayat itu sudah dibawa?"

"Belum. Mereka masih ada di dalam ruangan ekskul dance modern. Para Kakak kelas berusaha menurunkannya dari plavon."

"Kenapa gak panggil polisi dan petugas medis?" tanya Dora juga.

"Udah kok. Ada beberapa yang datang untuk segera mengamankan TKP dan sekaligus bertugas untuk mengintrogasi penemu pertama mayat-mayat itu alias si Rana. Kata salah satu dari mereka, rekan-rekannya akan datang bersamaan dengan petugas medis."

Kami berdua mengangguk.

"Lo tau identitas kedua siswi itu?" tanya Dora lagi.

"Dia Mulan dan juga Riska," jawab Ryan. "Eh, gue duluan, yah. Gue disuruh untuk mengarahkan pihak ke polisian dan petugas media ke TKP, soalnya."

"Baiklah, thanks , yah," ucap Dora.

Gue hanya tersenyum. Lalu dia pun meninggalkan kami.

"Dora, lo kenal dengan mereka?"

Dora mengangguk dengan wajah pucat. Kulit Dora memang putih, hampir pucat malah. Namun, raut wajahnya benar-benar berubah.

"Lo kenapa? Kok lo pucat banget? Sakit perut?"

"Oh--gak kok. Ayo kita ke Rana," ucapnya mengalihkan topik.

"Serius lo gak apa-apa?"

Dia mengangguk lalu menarik tanganku untuk segera berjalan.

Dora kenapa, yah?

*
*
*
*
*
*
*
BERSAMBUNG

Happy, Reading :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro