*BAB [7]*

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku sering mengatakan
Kalau luka itu bertalu
Mengapa?
Karena luka terus
Menghampiriku

~Aan Apriansyah~

***

Matanya yang terpejam kembali terbuka. Napasnya yang tak teratur membuatnya kesulitan bernapas, apalagi matanya yang masih sembab membatasi penglihatannya. Walau samar-samar Aan tahu dia sedang berada di mana. Aan telah berada di rumah, tepatnya di atas kasurnya. Dia merasakan sakit di seluruh tubuh terutama di bagian perut sampai ke paha. Terasa begitu nyeri seperti dihantam dengan ribuan balok.

Mengingat kembali semua rentetan kejadian yang masih memutar di kepalanya membuat Aan ingin mati saja. Tak perlu menerka lagi, Aan tahu siapa yang membawanya ke rumah. Siapa lagi kalau bukan Damar. Pria tersebut tak pantas disebut punya hati.

"Allah, mengapa kau biarkan aku seperti ini!" Aan berteriak sejadi-jadinya. Tubuhnya yang lemah tak mampu berdiri atau pun berjalan. Sekarang dia tahu apa yang terjadi pada dirinya. Aan telah dilecehkan. Dia seperti kehilangan segalanya. Biasanya Aan hanya mendengar cerita ini dari berita. Kini dia pula yang merasakan penderitaannya. Sungguh kejam dunianya.

Remaja tersebut melempar apa saja yang dapat diraih oleh tangannya. Tak peduli jika vas kecil dan bingkai fotonya pecah akibat terkena lemparan darinya. Dengan usaha yang begitu keras dan memakan waktu cukup lama. Aan dengan langkah terpaksa dan terseok-seok menahan sakit berusaha menuju kamar mandi. Sesekali dia terjatuh sambil meronta tak kuasa. Aan baru sadar saat melepas semua pakaian yang dia kenakan ternyata pakaian tersebut adalah milik Damar. Kaos hitam yang di pakai untuk membungkam mulutnya. Aan merobek kaos itu meski dia coba tapi kunjung robek sebab dia seperti tak punya tenaga lagi.

Kakinya melemah, hingga membuat dia terjatuh di lantai kamar mandi yang dingin. Disiramnya seluruh tubuh yang penuh dengan bercak merah dan lebam. Aan menangis, diusianya yang masih sangat muda dia harus menghadapi hal seperti ini. Aan tak henti-hentinya menggosok kasar tubuhnya. Walau air dan sabun telah banyak Aan gunakan dia sadar kalau itu tak akan membersihkan dosanya.

"Allah, Kau jahat padaku!" rengek Aan dalam tangis. Diambilnya handuk biru yang selalu ada di kamar mandi untuk menutupi tubuhnya. Kulitnya yang putih tampak semakin pucat. Bibirnya terus bergetar menahan perih. Perban di kepalanya sudah tak ada lagi. Aan tak tahu kapan perban itu terlepas dari kepalanya. Yang pasti luka di kepalanya itu baru terasa perih sekarang.

Dengan tatapan lesu, Aan melihat jam dinding di dapur yang menunjukkan pukul 4 sore. Entah sudah berapa lama dia tak sadarkan diri dan tiba di rumahnya. Aan pun tak tahu.

"Allah, aku lelah!" Aan berbisik menatap langit-langit rumahnya. Air mata tak henti-hentinya terjatuh.

Aan tak lagi mengingat untuk menjemput adiknya. Pikirannya hanya satu kali ini dia ingin mengakhiri hidupnya. Aan berpikir ini akan menjadi aib keluarga. Usia 13 tahun membuat dosa yang begitu besar. Aan meraung kembali di kamarnya.

Saat Aan sibuk dengan pemikirannya sendiri sebuah ketukan keras menghentikannya. Abdul baru saja tiba. Tak mengucapkan salam Abdul langsung masuk ke dalam kamar anaknya tersebut. Aan hanya tertunduk. Remaja tersebut pasrah jika Abdul ingin memarahinya lagi. Toh, dia akan mengakhiri hidupnya juga, begitulah yang Aan pikirkan.

"Bagaimana anak durhaka?! Senang dengan pekerjaanmu!" Abdul bersandar pada sisi kanan pintu sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

Aan menatap Abdul. Begitu banyak penderitaan yang tergambarkan di mata anak tersebut. Tapi, Abdul tak akan melihatnya sebab dirinya sudah tertutupi keegoisan.

"Aku rasa itu cukup untuk memberi pelajaran padamu!" Abdul meludah ke arah Aan. Walau tak kena itu membuat Aan terluka. Sangat terluka. Apalagi dengan kondisi jiwanya yang seperti ini.

"Apa yang Ayah maksud?" Bibir Aan bergetar bahkan bibir bagian dalamnya telah dia gigit sampai berdarah karena menahan isak. Aan tahu ayahnya membenci orang yang lemah makanya Aan selalu bersikap tegar.

"Damar!" ucap Abdul menyeringai.

Aan yang mendengar nama itu diucapkan menutup telinga secara refleks. Matanya membulat sempurna. Berusaha menyusun kata-kata yang dimaksud oleh ayahnya. Tapi, dia benar-benar tak paham. Otaknya terasa sangat berat.

"Ternyata anak sial sepertimu bisa menghasilkan uang juga," Abdul mengeluarkan beberapa lembar uang merah dan biru dari sakunya. "Rupanya duda tersebut tertarik padamu, dasar homo! Tck!" lanjut Abdul tanpa memikirkan Aan sama sekali.

"Jadi Ayah ... Ayah menjualku dengan pria ..." Aan bersuara membuat Abdul segera memotong ucapan anaknya tersebut.

"Berhentilah memanggilku Ayah! Goblok! Setidaknya itu bisa membiayai ibumu yang menyusahkan itu!" Abdul berkata seolah-olah semua ucapannya itu benar.

Remaja tersebut menjadi paham apa yang telah terjadi. Semuanya tergambar jelas. Aan menarik napas kemudian diembuskannya secara perlahan. Aan yang sedari dulu menguatkan hatinya agar setegar karang di lautan kini dengan mudahnya Abdul mengoyahkan semuanya. Aan benar-benar tak percaya. Mengapa kasih sayangnya kepada Abdul selalu berdampak buruk padanya.

Aan menunduk dalam, dia sangat tak menduga ayahnya akan melakukan hal seperti ini. Melukai hati dan meninggalkan trauma yang mendalam. Kemana hati ayahnya pergi? Aan semakin terpuruk.

"Semakin lama aku menatapmu maka semakin muak pula aku sama bocah pendosa sepertimu!" Abdul menghardik.

"Pendosa?" Aan bergumam. Entah keberanian dari mana Aan menatap tajam ayahnya. "Apa yang Ayah lakukan padaku adalah dosa!" Aan berteriak membuat Abdul menarik kasar rambut Aan. Beberapa helai terpaksa terputus dari pangkalnya. Aan hanya mampu meringis. Sekali hentakan Aan tersungkur di lantai. Abdul dengan amarahnya menginjak jemari remaja tersebut.

"Lebih baik kau mati!" teriak Abdul dan sekali lagi Abdul meludah. Pria tersebut meninggalkan Aan yang tak kunjung bangun dari lantai. Semua perkataan ayahnya berputar-putar di otaknya.

"Allah, ke mana Kau taruh bahagiaku!" Aan kembali terisak. Antara sadar dan tidak Aan mulai membenci segalanya tentang dirinya.

Kamar Aan terlihat berantakan. Semua benda tak lagi pada tempatnya. Cobaan ini begitu berat untuknya. Bahkan untuk memejamkan mata saja terasa begitu sulit. Aan membenturkan kepalanya di lantai.

Aisah tiba-tiba muncul di depan kamar Aan. Tak ada orang di rumah membuatnya masuk begitu saja. Mulut adiknya tersebut menganga melihat kamar Aan. Apalagi saat tatapannya tertuju pada kakaknya tersebut.

"Kak, kakak kenapa?" tanya Aisah mendekati Aan yang masih saja tertunduk di lantai. Bercak darah dapat terlihat jelas. Aisah yang tak tahu apa-apa mulai menangis. Darah tersebut semakin banyak. Tak ada suara yang Aan keluarkan. Embusan napasnya begitu keras. Aan sulit bernapas. Ternyata luka di kepalanya sobek kembali membuat semuanya terasa semakin sulit.

"Kak, bangun, Kak! Aisah takut," rengek Aisah di sela tangisnya.

Aisah berlari keluar rumah. Bocah tersebut berusaha mencari pertolongan. Baru saja dia mau kembali ke rumah Jumrana. Sari muncul dari arah berlawanan. Jika Aisah perhatikan kakaknya tersebut sedang menangis diboncengan Tama. Apa yang sedang terjadi? Di sisi lain keadaan semakin memburuk.

***

Vote
Coment
Kritik
Saran

Tinggalkan jejak
Apakah Aan harus bertahan?

Mari temukan jawabannya

Next chapter

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro