Chapter 1: Terlahirnya Mimpi Buruk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam 11:00 malam di sebuah apartemen tua yang sepi dan sudah lama ditinggalkan di Kota J.

“Kau telah dibutakan oleh sesuatu. Itu sebabnya kau melihat dari sudut pandang yang salah. Dengan membunuhku, tidak akan membuatmu merasa puas. Aku ini cuma pion, tidak akan berdampak besar.” ucap seorang laki-laki yang duduk bersimpuh dengan luka tembak di perutnya.

“Paling tidak dengan membunuhmu, akan tercipta rasa aman meskipun cuma sedikit.” ucap seseorang yang berpakaian serba hitam dengan pistol di tangannya.

Orang berpakaian serba hitam itu pun mengarahkan pistolnya tepat di kepala laki-laki yang duduk bersimbah darah itu. “Ada pesan atau kata-kata terakhir?” tanyanya datar.

“Kau tidak akan pernah bisa menumpas Black Mask, meskipun kau sudah membunuh banyak sekali anggota kami dalam satu tahun terakhir ini.” ucap laki-laki itu sambil menatapnya dengan tersenyum.

“Kalau begitu, sampaikan salamku pada semua anggotamu di alam sana.”

DORR!

Setelah membunuh laki-laki itu, dia meletakkan kembali pistolnya di sarung yang dikaitkan di ikat pinggangnya. Lalu, dia mengeluarkan sebuah kertas yang tertulis nama-nama orang yang dicurigai sebagai anggota Black Mask dan mencoret nama di urutan nomor 21.

Dia pun keluar dari apartemen yang sudah lama terbengkalai dan tidak terurus itu. Sesampainya di luar, dia menelepon seseorang melalui ponsel hologramnya.

“Karasu, bukan dia orang yang aku cari.” ucap orang itu agak lesu.

Sudah aku duga, tidak mudah mencari mereka. Selama satu tahun ini, kita mencarinya bersama tapi belum menemukan hasil yang bagus. Di mana kau sekarang?” tanya Karasu terdengar cemas.

“Aku masih di TKP,” jawab orang itu datar.

Baiklah, aku akan mengirim orang ke sana. Beristirahatlah, besok pagi kau tidak boleh terlambat, bukan?” ledek Karasu.

“Kau ini. Terima kasih sudah mengingatkan hal itu,” ucap orang itu patah semangat.

Sama-sama. Selamat malam, Amery.” ucap Karasu dengan sedikit tertawa.

“Iya, selamat malam.” jawab Ame dan langsung menutup teleponnya dengan lesu.

Ame pun masuk ke dalam mobilnya yang ada di seberang jalan. Meletakkan pistol di sebelahnya, lalu mengambil sebuah CD di dalam laci mobilnya dan menyetelnya di pemutar musik.

Counteraction rising,
Yeah we are ready for the punchline.
There’s no use with all your gimmicks,
So check this out!...

“Selera musikmu tidak buruk juga, Ogura.” ucap Ame dengan tersenyum setelah mendengarkan musik yang baru saja diputarnya. "Tidak terasa sudah tiga tahun berlalu," gumamnya dengan tersenyum.

Dia pun pergi dari tempat itu dan pulang ke apartemennya kembali.

***

Keesokan harinya …

Jam 08:00 pagi di kediaman Keluarga Shigure.

Ayase turun dari kamarnya menuju ke ruang makan untuk menemui Ayah dan Ibunya. “Selamat pagi,” ucapnya dengan riang.

“Selamat pagi,” jawab Ibunya yang sedang mengoleskan mentega di sebuah roti.

Sedangkan ayahnya tidak menjawab dan sibuk membaca berita melalui komputer hologramnya. Karena sedikit kesal diacuhkan ayahnya, dia pun berpikir untuk menjahili ayahnya. Dia hampiri ayahnya, lalu menempelkan wajahnya pada hologram agar berita yang sedang dibaca ayahnya menghilang dan digantikan dengan wajahnya.

“Selamat pagi,” ucap Ayase dengan tersenyum.

“Ayase, kau mengagetkanku saja.” Tuan Okada mengeluskan dadanya untuk membuat jantungnya tenang kembali. “Selamat pagi,” ucapnya dengan tersenyum meskipun detak jantungnya masih belum teratur.

Tuan Okada mematikan komputernya, lalu memasukkannya ke dalam sebuah tas berukuran tabung.

“Ini, rotimu.” ucap Nona Suzu memberikan roti untuk suaminya di atas piring.

“Terima kasih, sayang.” ucap Tuan Okada sambil mengeluarkan tiga buah ponselnya dari kantong celana.

“Untukku?” tanya Ayase kepada ibunya.

“Buatlah sendiri. Lagi pula kau harus membuat untuknya juga, kan?” ucap ibunya dengan tersenyum meledeknya.

“Ah, ibu.” ucap Ayase dengan malu-malu.

Ayase pun membuat dua pasang roti, satu untuknya dan satu lagi untuk seseorang yang tadi disindir oleh ibunya. Sambil membuat roti, tatapan Ayase tertuju pada tiga buah ponsel yang ada di dekat ayahnya. “Kapan ponsel itu akan dijual bebas?” tanyanya penasaran.

“Entahlah. Padahal ponsel hologram berbentuk pipa tabung seperti ini sangat efisien. Tekan tombol power, lalu layar hologram muncul di sampingnya. Kau bisa menampilkannya secara landscape dan juga portrait tergantung dari kegiatan apa yang ingin kau lakukan. Hanya saja…” ucap Tuan Okada dengan wajah pesimis.

“Hanya saja?” tanya Ayase lagi semakin penasaran.

“Kalau saja beberapa tahun yang lalu dia tidak meretas 95% ponsel milik warga Arufabetto, pasti ponsel ini sudah dijual bebas.” ucap Tuan Okada lesu.

Ayase pun tersenyum dan tertawa kecil mendengar penjelasan ayahnya. “Jangan salahkan dia. Salahkan pemerintah yang terlalu takut padanya,” ucap Ayase dengan tersenyum.

TING TONG …

Bel di rumah itu pun berbunyi, tanda kalau ada tamu yang datang.

Nona Suzu melakukan kontak mata dengan Ayase dan mereka berdua pun sama-sama tersenyum dan tertawa kecil. Dia pun membukakan pintu untuk tamu itu dan mengajaknya ikut masuk ke dalam untuk sarapan bersama.

Masuklah Nona Suzu bersama tamu itu ke dalam ruang makan. Tuan Okada terlihat santai, sedangkan Ayase terlihat senang.

“Selamat pagi, Ame. Ikutlah sarapan bersama kami,” sapa Tuan Okada dengan tersenyum.

“Selamat pagi, Sensei. Tidak perlu repot-repot,” ucap Ame sambil menggaruk-garukkan kepalanya ketika duduk.

“Tenang saja, tidak merepotkan bagiku.” ucap Ayase, lalu menggeser piring yang sudah ada sepasang roti ke hadapan meja tempat Ame duduk.

“Terima kasih,” ucap Ame sambil menatap Ayase dengan tersenyum.

“Nanti siang ada waktu? Bagaimana kalau kita membicarakan ‘ini’ lebih lanjut lagi?” tanya Tuan Okada sambil mengangkat salah satu ponselnya dan menunjukkannya pada Ame.

“Baiklah, Sensei. Kabari aku nanti siang di mana tempatnya.” jawab Ame dengan serius.

Ame pun memegang roti yang diberikan Ayase dan ingin memakannya. Tapi, karena ragu, dia pun hanya menggigit sebagian kecilnya. Setelah memakannya, dia menoleh ke Ayase dan tersenyum. Dia merasa senang karena Ayase ingat kalau dia tidak suka memakan roti yang memiliki rasa. Itu sebabnya di dalam roti itu hanya dioleskan mentega saja oleh Ayase.

“Cepatlah kalian berangkat, nanti kau terlambat.” ucap Nona Suzu memotong momen saling menatap antara Ayase dan Ame.

“Ah? Iya, bu.” Ayase bangkit dari kursinya dan mengambil tasnya, sedangkan Ame memakan rotinya dengan cepat.

“Aku berangkat.” Ayase langsung berlari keluar dari dapur.

Ame pun bangkit dari kursinya. “Terima kasih sarapannya, Sensei dan Nona Suzu.” ucapnya sambil membungkukkan badan menghadap Tuan Okada dan Nona Suzu secara bergantian.

Merasa Ame terlalu lama, Ayase kembali ke dapur dan menarik Ame agar segera cepat keluar dari sana.

Ayase dan Ame pun masuk ke dalam mobil yang diparkirkan Ame di depan rumah Tuan Okada.

“Bisa kita beli kopi terlebih dahulu sebelum ke kampusku?” tanya Ayase agak terengah-engah.

“Ide bagus. Roti buatanmu masih tersangkut di kerongkongan karena belum didorong dengan minuman.” ucap Ame sambil memukul-mukul pelan dadanya.

***

Jam 05:00 pagi di markas rahasia yang ada di bawah Toko Paradise.

Karasu sedang mengautopsi mayat orang yang dibunuh oleh Ame semalam. Dia memeriksa luka tembak yang diterima di perut mayat itu yang ditembakkan oleh Ame.

Sekitar 2 cm lagi tepat mengenai area vitalnya dan bisa membuatnya terbunuh dalam hitungan menit.” gumam Karasu sambil meraba area di sekitar peluru bersarang.

Karasu pun memeriksa luka kedua yang diterima oleh mayat itu di dadanya. “Sekitar 2 cm lagi tepat mengenai jantungnya dan bisa membuatnya langsung terbunuh seketika.” gumam Karasu sambil melakukan hal yang sama dengan luka sebelumnya.

Karasu pun menutup mayat itu dengan kain, lalu menaruhnya kembali di lemari pendingin. Dia kembali ke mejanya dan melihat hasil scanning tubuh mayat itu.

Kedua lukanya fatal, tapi perlu sedikit waktu hingga dia benar-benar tewas. Apa maksud Ame menembakkan peluru di area itu? Apa dia sengaja menyiksa orang itu agar meninggal secara perlahan? Entahlah. Yang jelas, kau baru saja melahirkan seorang monster Mr. Y.” gumam Karasu dengan tersenyum dan tertawa kecil.

***

Jam 09:30 pagi di Kantor Pusat Kepolisian Arufabetto.

Tuan Shin sedang melakukan pidato di hadapan polisi-polisi muda yang baru saja bergabung dengan kepolisian.

“Kalian adalah ujung tombak keadilan. Orang pertama yang akan menuntaskan para kriminal dan membantu semua warga adalah kalian semua yang ada di ruangan ini. Tunjukkan tekad kalian sebagai pemuda yang punya semangat juang tinggi membela negara. Karena--,” Tuan Shin menghentikan sejenak pidatonya karena melihat Sagiri yang tiba-tiba muncul dan berdiri di paling belakang.

Menyadari Tuan Shin sudah melihat ke arahnya, Sagiri langsung memberikan isyarat kalau dia ingin membicarakan hal yang penting dengan Tuan Shin.

Tuan Shin pun mengerti maksud Sagiri dan berniat untuk segera menyelesaikan pidatonya. “--kalian adalah polisi muda harapan negara. Sekian dariku, semoga kalian bisa menjalankan tugas kalian sebaik mungkin. Terima kasih.”

Para polisi muda itu pun berdiri dan bertepuk tangan setelah mendengarkan pidato Tuan Shin. Acara pun dilanjutkan, sementara Tuan Shin keluar dari aula itu bersama Sagiri. Keduanya pun membicarakan hal penting yang ingin disampaikan Sagiri sambil berjalan menuju ke ruangan pribadi Tuan Shin.

“Ada apa?” tanya Tuan Shin datar.

“Sekitar jam lima pagi tadi, terjadi sebuah pembunuhan yang merenggut nyawa seorang akuntan perusahaan. Jejak pelakunya sulit ditemukan karena barang bukti di TKP yang sangat sedikit. Diduga pelaku sudah terbiasa melakukan pembunuhan dan perampokan.” Sagiri menjelaskannya sambil memperlihatkan gambar-gambar yang diambil di TKP.

“Siapa yang sedang kosong?” tanya Tuan Shin sambil menekan tombol lift.

“Itu dia, Tuan. Tidak ada sama sekali,” ucap Sagiri agak takut.

“Sama sekali?” ucap Tuan Shin kesal.

Sagiri menganggukkan kepalanya dengan wajahnya yang agak ketakutan dan cemas.

Lift terbuka dan keduanya pun masuk ke dalam.

“Aku akan menghubungi seseorang. Sementara ini, kau cari semua bukti yang ada dan rangkumlah. Kalau sudah selesai berikan padaku.” ucap Tuan Shin serius.

“Baiklah, aku mengerti.” ucap Sagiri dengan yakin.

Ada satu hal lagi sebenarnya yang ingin Sagiri tanyakan kepada Tuan Shin. Hanya saja, dia takut kalau tanggapan Tuan Shin menyeramkan. Jadi, dia pun hanya menundukkan kepalanya sambil menunggu lift berhenti.

“Ame, datanglah ke kantorku. Ada kasus dan aku butuh bantuanmu.” ucap Tuan Shin yang ternyata sedang menelepon tanpa Sagiri sadari.

Baiklah, Shin Sensei. Aku mengerti,” ucap Ame serius.

Tuan Shin pun menutup teleponnya dan mengantongi kembali ponselnya.

“Tuan,” panggil Sagiri.

“Hmm?” saut Tuan Shin.

“Apa tidak masalah kalau meminta bantuan padanya?” tanya Sagiri cemas.

“Tidak masalah. Lagi pula hanya dia yang bisa menyelesaikan hal semacam ini. Kau pasti tahu seberapa kuat dia sekarang, bukan?” ucap Tuan Shin dengan santainya.

“Iya, aku tahu.” ucap Sagiri sambil menundukkan kepalanya.

Sagiri merasa khawatir pada kondisi Ame yang semakin terlihat menyeramkan. Dia takut kalau Ame lama-kelamaan akan kehilangan dirinya sebagai seorang manusia dan berubah menjadi monster yang tanpa segan menghabisi siapapun.

***

Jam 09:30 pagi kampus Ayase yang terletak di Kota V.

Ayase dan Ame baru saja tiba. Ame menghentikan mobilnya tepat di depan kampus Ayase.

“Nanti sore jemput aku, ya?” tanya Ayase sambil menatap Ame.

“Iya, kalau aku tidak ada kerjaan.” jawab Ame dengan tersenyum.

“Oke, laki-laki tersibuk se-Arufabetto.” ucap Ayase dengan jengkelnya.

“Baiklah, aku akan menjemputmu.” ucap Ame sambil menggenggam tangan Ayase.

Ayase melepaskan tangannya dari genggaman Ame, lalu mengangkat jari kelingkingnya. “Berjanjilah,” ucapnya sambil menatap Ame dengan serius.

Saat Ame ingin melingkarkan jari kelingkingnya di kelingking Ayase, ponselnya berbunyi. Dia pun mengangkatnya terlebih dahulu.

Mendengar pembicaraan Ame di telepon, Ayase menurunkan tangannya dan kehilangan moodnya.

Setelah menerima panggilan telepon dari Tuan Shin, Ame menoleh ke arah Ayase dan menyadari kalau dia sedang murung.

“Maafkan aku, sepertinya aku tidak bisa menjemputmu nanti.” ucap Ame dengan lesu.

“Iya, tidak apa-apa.” ucap Ayase datar.

Ayase mengangkat tangannya kembali dan mengajak Ame untuk berjanji dengan melingkarkan jari kelingking mereka bersama.

Ame hanya bisa bingung dan heran kenapa Ayase mengajaknya melingkarkan jari kelingking lagi, padahal sudah tahu kalau dia tidak bisa menjemputnya sore nanti.

“Berjanjilah padaku, kau akan baik-baik saja dan kembali menemuiku setelahnya.” ucap Ayase dengan tersenyum menatap Ame.

Ame tersenyum kecil karena senang mendengar ucapan Ayase. “Iya, aku janji.” ucapnya sambil melingkarkan jari kelingkingnya pada kelingking Ayase.

Keduanya saling bertatapan, lalu melepaskan jari kelingking mereka masing-masing.

Ayase pun menyelempangkan tasnya, lalu mencium bibir Ame. “Sampai jumpa lagi, laki-laki tersibuk.” ucapnya sambil tersenyum meledek Ame, lalu keluar dari mobil.

“Sampai jumpa lagi,” ucap Ame agak terlambat karena Ayase sudah keluar dari mobil.

Ame pun menyalakan pemutar musik terlebih dahulu, sebelum pergi.

Surechigau mainichi ga fuete yuku keredo, otagai no kimochi wa itsumo soba ni iru yo …

“Mengantar tuan putri sudah, sekarang waktunya bekerja.” ucap Ame dengan semangat.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro