Chapter 14: Tarian Pemanggil Hujan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Kalau kau memang mengincarku, jangan libatkan Ayase.” ucap Ame terus mengepal kuat tangannya dan memacu mobilnya semakin cepat.

Kau sudah membunuh banyak anggota kami, The Rainmaker. Tidak mudah memancingmu untuk masuk ke dalam permainan kami. Kalau kau ingin dia selamat dan kembali padamu, datanglah ke tempat yang akan aku kirimkan ini.

Sebuah pesan singkat pun masuk ke ponsel Ame. Dia melihatnya dan tahu ke mana harus pergi.

“Aku akan memenuhi permintaanmu. Jangan menyakitinya ataupun menyentuh seujung jaripun, aku pasti akan membunuhmu sampai kau melakukannya.” ancam Ame penuh dengan amarah.

Tenang saja, dia tidak akan …

Panggilan pun tiba-tiba terputus. Sontak Ame pun langsung memukul-mukul setir mobilnya cukup kencang untuk meluapkan amarahnya. Dia langsung memacu mobilnya semakin cepat menuju ke tempat yang tertera di pesan singkat itu.

***

Jam 08:00 malam di gudang yang pernah dijadikan markas Troublemaker.

Kuro menggendong tubuh Ayase di pundaknya, Taka membawa kursi dan tali di kedua tangannya, semantara Tomoya membuka gembok yang mengunci rantai yang saling berkaitan di gagang pintu masuk gudang itu.

“Cepatlah, Tomoya. Pekerjaanmu ringan,” ucap Kuro datar.

“Benar. Sedangkan kami harus membawa barang seberat ini,” ucap Taka agak kesal.

“Bersabarlah, membuka gembok tua tidaklah mudah. Lagipula kenapa memilih tempat ini sebagai tempat penyekapan?” tanya Tomoya heran sambil terus berusaha membuka gembok.

“Untuk mengirim pesan kepadanya,” jawab Taka datar.

Setelah terus berusaha, akhirnya Tomoya berhasil membuka gembok itu. “Lihatkan?” ucapnya sambil menunjukkan hasil kerjanya.

“Kau yakin tidak ada apa-apa di dalam?” tanya Kuro agak khawatir.

“Aku meninggalkan satu kameraku di tempat ini dan menyalurkannya ke aliran listrik umum yang ada di sana,” ucap Taka sambil menunjuk kotak aliran listrik yang ada di depan gudang itu.

Tomoya pun membuka pintunya.

“Pergilah ke pojok sana. Tarik tuasnya, maka listriknya akan menyala.” ucap Taka sambil menunjuk ke pojok ruangan yang gelap.

“Aku tidak melihat apapun di sana,” ucap Tomoya heran.

“Sudahlah, lakukan saja.” ucap Taka datar.

Tomoya pun melakukan persis seperti yang diminta oleh Taka. Dia masuk ke dalam gudang itu dengan bantuan cahaya dari ponsel miliknya. Begitu sampai di sana, dia mengerti tuas yang dimaksud oleh Taka, lalu menariknya dan listrik di gudang itupun menyala.

Taka menekan tombol lampu yang ada di sebelahnya, sehingga seisi ruangan itupun bisa dilihat dengan jelas. “Aku jadi sedikit bernostalgia,” ucapnya datar.

Kuro dan Taka pun masuk ke gudang itu menuju ke tengah ruangan. Taka meletakkan kursinya, lalu Kuro mendudukkan Ayase di kursi itu. Taka mengikat badan dan tangan Ayase ke sandaran kursi, lalu membiarkan kaki Ayase tanpa ikatan.

Kuro mengeluarkan sebuah amplop coklat besar, lalu meletakkannya di pangkuan Ayase.

Tomoya pun menghampiri mereka berdua. “Apa begitu saja sudah cukup?” tanyanya khawatir.

“Sudah. Dia pasti akan mengerti. Sebaiknya kita pergi sebelum dia sampai di sini,” ucap Taka yang langsung pergi dari sana.

Kuro dan Tomoya pun meninggalkan Ayase juga, mengikuti Taka. Mereka pun pergi dari gudang itu dan meninggalkannya dalam keadaan tertutup dengan lampunya yang masih menyala.

Setelah sepuluh menit semenjak kepergian ketiganya, Ame pun tiba. Dia langsung keluar dari mobilnya, bersiaga dengan pistol di tangannya.

BRUAKK!

Dia menendang pintu masuk, lalu mengarahkan senjatanya ke segala arah. Namun, tidak ada siapapun di sana selain Ayase yang terikat di kursi. Dia pun menghampiri Ayase, meletakkan amplop yang ada di pangkuannya di lantai, lalu membukakan tali yang mengikatnya.

“Ayase, Ayase, Ayase, bangunlah.” ucap Ame sambil menepuk pelan pipi Ayase berkali-kali.

Ayase tidak sadarkan diri juga. Ame pun membenarkan rambut yang menutupi telinga Ayase, sehingga telinganya bisa terlihat jelas. Dia menggigit telinga Ayase dengan bibirnya, seketika Ayase pun terbangun.

“Ah!” teriak Ayase setelah terbangun dari pingsannya dan langsung mendorong Ame. “Ame? Kau menggigit telingaku?” ucapnya sambil memegangi telinganya dan terlihat sedih.

“Hanya itu cara terampuh membangunkanmu,” ucap Ame dan langsung bangkit menghampiri Ayase. “Kau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.

Ayase langsung memeluknya erat. Ame bisa dengan jelas merasakan badannya yang gemetar ketakutan.

“Aku takut sekali. Aku pikir setelah aku tiba-tiba dibekap, aku pasti akan mati. Aku bersyukur masih bisa hidup, karena kau menyelamatkanku.” ucap Ayase dengan sedihnya.

“Maafkan aku, seharusnya aku datang lebih cepat. Jadi, hal seperti ini tidak perlu terjadi.” ucap Ame sambil mengusap-ngusap kepala Ayase dengan lembut.

Ame pun melepaskan pelukannya dan memegang erat kedua pundak Ayase dengan tangannya. “Apa yang sebenarnya terjadi padamu saat di telepon tadi?” tanyanya khawatir dan juga bingung.

“Ada orang yang mengucapkan sesuatu padaku. Karena aku tidak bisa mendengarkannya dengan jelas, aku pun menegakkan kepalaku untuk melihat orang itu. Dia langsung menutup wajahku dengan handuk yang baunya sangat aneh. Aku coba melawan, tapi semakin aku mencium bau dari handuk itu, aku semakin kehilangan kesadaranku. Aku takut sekali saat itu,” ucap Ayase dengan tertunduk dan masih terlihat ketakutan setelah mengingatnya.

Ame mengambil amplop coklat yang diletakkanya di tanah, lalu memberikan kunci mobilnya dan amplop itu kepada Ayase. “Pegang ini,” ucapnya.

Ayase pun memegang kunci mobil dan amplop yang diberikan Ame dan Ame langsung menggendongnya layaknya seorang Tuan Putri. Di satu sisi dia senang, tapi di sisi lain dia merasa malu. Dia sangat senang bisa sedekat ini dengan Ame, apalagi bisa menghirup bau badannya secara langsung.

“Kenapa kau suka sekali melakukan hal itu?” tanya Ame heran setelah melihat Ayase menarik napas panjang sambil mendekapkan wajahnya di dada Ame.

“Aku suka baunya,” jawab Ayase dengan tersenyum.

“Tapi, aku belum mandi.” ucap Ame datar.

“Aku tidak peduli,” ucap Ayase dengan tetap tersenyum dan sudah mulai terlihat riang kembali.

Mereka pun sampai di samping mobil Ame. Setelah Ayase menekan tombol unlock dan membuka pintunya, Ame pun mendudukkannya dengan perlahan.

“Tunggulah di sini sebentar. Kalau kau takut, kunci saja mobilnya. Aku mau mematikan listrik gudang itu terlebih dahulu,” ucap Ame sambil menunjuk gudang di belakangnya.

Ayase pun menganggukkan kepalanya, lalu menutup pintu mobil dan menguncinya dari dalam.

Ame kembali ke gudang itu, menghampiri pembangkit listrik dan sudah siap mendorong tuasnya ke atas untuk mematikan listriknya. Tapi sebelum itu, dia melihat ke sekelilingnya terlebih dahulu. “Biarlah tempat ini menjadi kenangan,” ucapnya dengan tersenyum.

Gudang itupun gelap kembali, dan Ame pun meninggalkan gudang itu dalam keadaan tertutup rapat seadanya karena memang gemboknya yang sudah rusak setelah dibuka paksa.

Dia kembali ke mobilnya dan masuk ke dalam setelah Ayase membukakan pintunya.

“Aku tidak mengerti dengan isi pesan ini,” ucap Ayase sambil memberikan amplop coklat yang diberikan Ame sebelumnya.

“Bisa tidak rasa penasaranmu itu diredam sebentar saja?” tanya Ame saking herannya.

“Tidak bisa,” ucap Ayase dengan sedikit tertawa.

Ame pun mengambil amplop itu setelah diberikan Ayase. Dia melihat tulisan yang ada di depan amplop itu, lalu heran setelahnya. “Kunjungilah pamanmu?” tanyanya.

Dia mengeluarkan isi amplop itu, dan hanya ada sebuah tiket kereta di dalamnya. Tiket itu menuju ke kota tempat paman Ame tinggal dan akan berangkat besok, pukul tujuh malam.

Setelah menelaah sejenak apa maksudnya, adrenalin Ame tersentak. Dia baru ingat kalau tidak banyak orang yang mengetahui tentang pamannya dan di mana dia berada. “Taka, dia di balik semua ini.” ucapnya sambil mengepal kuat tangan dan menggretakkan giginya. “Kalau dia menyentuh pamanku sedikit saja, aku akan membalasnya berkali-kali lipat.” tambahnya semakin geram.

Ayase pun memegang pundak Ame, berusaha menenangkannya. “Tenanglah, Ame. Jika dia memang mencelakakan pamanmu, kenapa kau tidak hubungi pamanmu saja sekarang?” tanyanya.

Ame pun menoleh sejenak ke arah Ayase, lalu mengambil ponselnya untuk menelpon pamannya. Pamannya tidak menjawab panggilan, membuat Ame semakin khawatir. Setelah terus mencoba meneleponnya sampai sepuluh kali, akhirnya di panggilan ke sebelas, panggilannya pun dijawab.

“Paman, kenapa lama sekali?” tanya ame khawatir.

Kau sudah gila? Menelepon sampai berkali-kali seperti ini. Ramenku bisa kematangan kalau aku sambil meladeni panggilanmu ini,” jawab pamannya dengan kesal.

Setelah mendengar ocehan pamannya yang apa adanya, Ame pun tersenyum.

“Bagaimana?” tanya Ayase penasaran.

“Dia baik-baik saja,” jawab Ame dengan berbisik-bisik.

“Maafkan aku, paman. Aku hanya mengganggumu saja tadi,” ucap Ame dengan sedikit tertawa.

Kalau itu alasanmu, aku maafkan. Tapi, bisa kita tunda terlebih dahulu obrolan ini? Aku sudah sangat lapar,” ucap pamannya dengan sedikit merintih.

“Kau baik-baik saja?” tanya Ame lagi, khawatir.

Jangan pernah memakan masakan tetanggamu seumur hidup. Percayalah, kau akan tersesat dalam dilema. Berkata jujur kalau masakannya tidak enak, atau berbohong kalau masakannya lumayan enak. Sekarang aku tersesat dalam sakit perut yang entah kapan sembuhnya,” ucap paman Ame dengan lesunya.

Ame pun sedikit tertawa begitu mendengarkan lelucon yang dibuat pamannya yang berasal dari kisah nyata.

“Kau sakit perut, tapi memakan ramen instan?” tanya Ame heran.

Hanya ramenlah yang bisa menyembuhkan sakit perutku ini,” jawab Paman Ame dengan santainya.

“Iya sudah kalau menurutmu begitu. Syukurlah kau baik-baik saja, paman. Jaga dirimu selalu, kita pasti akan bertemu lagi nanti.” ucap Ame dengan tersenyum.

Terima kasih sudah mengkhawatirkan pria tua ini. Kau juga, jaga dirimu baik-baik dan jangan lupa untuk selalu menjaga kesehatanmu.

“Pasti, paman.” ucap Ame dengan yakin.

Ame pun menutup teleponnya dan mengantongi kembali ponselnya.

“Apa kau akan membicarakan hal ini dengan tim?” tanya Ayase penasaran.

“Tidak. Hanya ada satu tiket, itu artinya mereka ingin aku saja yang bertatapan langsung dengan mereka tanpa diinterupsi siapapun.” jawab Ame datar.

“Tapi, bagaimana kalau itu hanyalah jebakan? Sengaja dibuat agar kau terpengaruh dengan mudahnya, lalu kau terjebak dalam permainan mereka.” tanya Ayase khawatir.

“Hanya inilah satu-satunya cara yang bisa aku lakukan untuk bisa menemui Taka lagi. Ada hal yang sangat ingin aku selesaikan dengannya,” jawab Ame dengan serius.

Ayase terlihat murung dan menundukkan kepalanya karena merasa sangat khawatir dan cemas dengan keputusan Ame.

“Tenang saja, aku pasti akan baik-baik saja dan kembali ke sini menemuimu.” ucap Ame sambil mengelus-ngelus kepala Ayase.

“Berjanjilah,” ucap Ayase sambil menatap serius mata Ame.

“Aku berjanji,” ucap Ame dengan serius juga. “Tapi, kalau aku tidak kembali--,”

Ayase langsung menahan mulut Ame dan menutupnya dengan jari telunjuk. “Ssst … kau pasti kembali,” ucapnya dengan tersenyum.

Ame pun menganggukkan kepalanya, dan memantapkan tekadnya untuk bisa kembali ke sini menemui Ayase setelah urusannya selesai.

Ame menyalakan mobilnya, dan kedua tangannya sudah siap menggenggam setir mobil. “Ayo ke apartemenku,” ucapnya datar.

“Hah!” teriak Ayase yang langsung terkejut begitu mendengarkan perkataan Ame.

“Tenang saja. Aku kan pernah mengatakannya padamu. Jadi, kau akan tidur di kasur dan aku akan tidur di bawah. Ayah dan ibumu sedang di rumah sakit sekarang, aku tidak mau meninggalkanmu di rumah besar itu sendirian.” ucap Ame dengan tersenyum.

Ayase pun terlihat sangat senang begitu mendengar alasan Ame. Tapi, itu tidak berlangsung lama. Dia kembali merasa malu karena tidak siap kalau harus bermalam di apartemen Ame saat ini.

***

Jam 10.00 malam di bar yang si pinggiran Kota Z.

“Dia telah memakan umpannya. Sekarang, siapa yang akan mengambilnya?” tanya Repaer kepada keenam rekannya yang duduk diam di hadapannya.

“Biar aku saja,” ucap Taka dengan seriusnya.

“Risikonya besar, Taka. Apa kau yakin?” tanya Hayate memastikan.

“Hanya aku yang bisa membuatnya berada di puncak amarah. Dia punya dendam yang sangat besar kepadaku,” jawab Taka datar sambil menoleh ke arah Hayate.

Kuro mengangkat gelas whiskynya lalu menggoyang-goyangkannya pelan. “Berhati-hatilah, Taka. Dia bukan Ame yang kau kenal tiga tahun lalu, dia jauh berbeda. Lengah sedikit saja, kau yang akan mati di tangannya.” ucapnya dengan serius.

“Iya, aku tahu, Kuro. Dia bukan lagi hanya dikenal sebagai hacker paling berbahaya, tapi juga dikenal sebagai bounty hunter paling berbahaya.” ucap Taka dengan tatapan tajamnya menatap gelas whisky yang ada di hadapannya.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro