Chapter 21: Ramen dan Teh Hijau

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ame yang baru saja ingin pergi dari rumah sakit, mendapatkan pesan singkat dari Kotaro. Dia pun melihatnya terlebih dahulu.

Baiklah, Senpai.

Kami sedang mengadakan rapat. Menurut OC, ada orang yang menduplikasi Beelzebub milikmu. Dia menggunakannya untuk membuat seluruh ponsel di kereta yang kau naiki, tidak bisa digunakan sementara.

Dan juga aku tidak tahu kecurigaanmu sampai sejauh itu. Sejauh yang aku lihat, Izuna, Shingo dan OC bukanlah pengkhianat ataupun penyusup. Meskipun OC mengajukan dirinya untuk tugas ini di saat dirinya sudah tidak aktif lagi, tapi aku rasa dia melakukannya karena dia sangat menghormatimu. Tapi, mereka tetap akan aku selidiki sesuai dengan apa yang kau mau.

Terakhir dariku, jaga dirimu, Ame.

Ame pun terdiam setelah membaca pesan dari Kotaro. Dia sangat mengenal Kotaro karena sudah selama setahun ini, mereka akrab. Jika Kotaro tidak memanggilnya Senpai, itu artinya Kotaro bersungguh-sungguh dan tidak akan tanggung-tanggung melakukan apa yang dia minta. Bukan hanya itu, dia juga baru tahu kalau ponsel semua penumpang tidak bisa digunakan semua orang yang ada di kereta saat itu.

Laptopku dan juga telepon darurat di kereta terhubung dengan satelit, maka kedua perangkat itu sama sekali tidak akan terpengaruh oleh ‘Beelzebub’. Tapi, kalau ‘Beelzebub’ benar-benar di duplikasi oleh seseorang, artinya hacker yang dimiliki Black Mask bukanlah hacker 20 besar lagi, melainkan sudah sampai di titik 10 besar.” gumamnya mengira-ngira siapa hacker yang menjadi anggot Black Mask.

Karena perutnya berbunyi dan butuh asupan nutrisi, Ame pun nengantongi ponselnya kembali. Dia melihat kes sekelilingnya, apakag ada tempat makan yang bisa dia datangi. Sebuah kedai ramen yang masih buka, terlihat di hadapannya. Dia pun menyeberangi jalan, lalu masuk ke dalam kedai ramen itu.

“Selamat datang,” sapa seorang pegawai yang sedang membersihkan meja.

“Terima kasih,” ucap Ame dengan tersenyum.

Dia pun duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan pembuat ramennya. “Satu porsi, tanpa acar. Lalu, aku ingin sake, Paman.” ucapnya sambil menatap koki yang akan membuatkan ramennya.

Koki itu pun menganggukkan kepalanya dengan tersenyum menatap Ame.

Pesanan Ame pun datang beserta dengan satu botol kecil sake yang dipesannya. Satu dua suapan dilahapnya dari ramen itu. Pikirannya mengambang terus melayang-layang memikirkan segala hal yang baru saja diketahuinya malam ini. Lidahnya merasakan kenikmatan, begitu juga dengan perutnya. Tapi, batin dan pikirannya tidak bisa merasakan hal itu sama sekali.

“Kenapa kau ingin bertemu denganku?” ucap Kazuya yang sudah duduk di sebelah Ame.

Ame pun menoleh sejenak, lalu menelan makanannya dan meminum setenggak sake untuk mendorongnya. “Lama sekali,” ucapnya datar.

“Kau tidak memberitahuku di mana lokasi persis kau berada. Kau kan sudah tahu kalau aku tidak terlalu pintar mengikuti GPS. Aku bahkan melihatmu bergerak sangat cepat,” ucap Kazuya bingung.

“Itu artinya aku masih di kereta saat kau lihat itu. Maaf, aku hanya menekan tombol darurat milikmu. Untung saja kau tidak banyak bertanya dan langsung pergi menemuiku. Terima kasih sudah datang,” ucap Ame sambil melirik Kazuya dengan tersenyum.

“Tidak semudah itu. Bayar aku. Bayar dengan,” ucap Kazuya sambil menunjuk menu ramen yang terpapar di dinding.

“Pesanlah,” ucap Ame agak kesal.

“Tuan. Satu porsi ramen dan es teh,” ucap Kazuya dengan tersenyum kepada koki di hadapannya.

“Tidak pakai acar juga?” tanya koki itu.

“Aku tidak seperti anak ini yang tidak suka terlalu banyak rasa di dalam makanan. Jadi, tentu saja aku pakai acar.” jawab Kazuya sambil melirik Ame dan menyindirnya.

“Baiklah,” ucap koki itu dengan sedikit tertawa.

Setelah memesan dan melihat si koki mulai membuatkan ramennya, pandangan Kazuya tertuju pada sake yang ada di samping Ame. Dia kembali menatap ke depan dengan tatapan datarnya. “Apa tujuanmu menekan tombol darurat itu? Apa yang ingin kau bicarakan padaku? Aku sempat mengira kau ada di rumah sakit yang ada di seberang jalan. Tapi, ketika aku lebih dekat lagi, titik itu malah menuju ke kedai ini. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Kazuya heran.

“Kau dan Karasu adalah orang yang sangat aku percayai. Itu sebabnya aku ke sini untuk meminta bantuanmu dan juga Karasu.” jawab Ame datar.

Ramen Kazuya pun datang, lalu dia tersenyum menatap koki itu terlebih dahulu dan menatap ke arah Ame lagi setelahnya.

“Tadi, aku bertemu dengan Taka.”

Adrenalin Kazuya tersentak. “Apa yang dia katakan? Atau, apa yang dia lakukan terhadapmu?” tanyanya cemas.

“Tenang saja, aku tidak terluka. Tapi, aku bingung sekarang. Dia memelukku dan meminta maaf atas apa yang pernah dia lakukan. Detak jantungnya, pelukannya, aku sangat bisa merasakan betapa tulusnya dia saat mengatakan hal itu kepadaku. Jadi, aku rasa dia sama sekali tidak berniat memainkan perasaan ataupun logikaku. Kenapa dia meminta maaf? Dia sudah membunuh rekan-rekannya.” ucap Ame dengan geramnya dan mengepal kuat tangan kirinya.

Kazuya pun mulai memakan ramennya karena dia sendiri juga belum bisa memberikan tanggapan apapun untuk hal itu.

“Taka juga memberikanku sebuah flashdisk, di dalamnya terdapat fakta yang baru saja aku ketahui. The Grim Reaper bilang padaku kalau ada dua anggota Black Mask di dalam markas tersembunyi. Aku belum bisa memastikannya siapa,” ucap Ame lesu.

Kazuya terlihat terkejut, namun tetap berusaha menjaga ketenangannya.

“Dia juga bilang padaku, tentang seorang anak laki-laki bernama ‘Ashley’.”

Kali ini adrenalin Kazuya tersentak. Dia sampai menghentikan kunyahannya dan menoleh ke arah Ame dengan terkejut. Dia pun menelan makanannya, lalu meminum es tehnya dan mengambil selembar tisu di hadapannya. “Kau tahu siapa anak itu?” tanyanya setelah mengelap mulutnya yang agak basah dengan tisu.

Ame menggelengkan kepalanya. “Yang jelas, anak itu punya hubungan dengan Okada Sensei, Ayase, dan juga kakaknya yang sudah meninggal. Tadi, aku juga mendapatkan informasi baru kalau ayah Ashley adalah orang yang bekerja pada pemerintah. Itu artinya aku hanya perlu mencarinya di sekitaran itu saja,” ucapnya, lalu melanjutkan makannya kembali.

Kazuya pun menghabiskan ramennya dengan cepat, lalu meminum es tehnya sampai habis. “Terima kasih atas makanannya,” ucapnya terlihat sangat puas. Dia pun menoleh ke arah Ame yang masih memakan ramennya sambil melamun. “Aku tahu di mana Ashley berada. Ikutlah denganku,” ucapnya datar.

Adrenalin Ame pun tersentak. Dia bahkan menoleh ke arah Kazuya dengan ramen yang masih belum selesai dimasukkannya ke mulut.

“Tapi, setelah kau selesai makan.” ucap Kazuya agak kesal.

Ame pun langsung memakan ramennya dengan cepat, lalu menghabiskan sakenya. “Terima kasih makanannya,” ucapnya yang langsung mengeluarkan uang dari dompetnya dan meletakkannya di atas meja, lalu berlari keluar kedai.

Begitu keluar kedai, Kazuya melihat Ame sudah berdiri di samping pintu mobilnya, terlihat sudah tidak sabar lagi untuk masuk ke dalam. Dia pun membukakan pintunya, lalu masuk ke dalam mobilnya, diikuti juga oleh Ame.

“Sebelum kita berangkat. Ada yang ingin aku beritahukan padamu,” ucap Kazuya datar.

Ame pun menoleh ke arah Kazuya, menatapnya datar.

“Ashley sudah meninggal. Yang akan kita kunjungi adalah makamnya. Mungkin saja setelah melihat makamnya, kau akan mengerti.” ucap Kazuya dengan tersenyum.

Ame kembali menatap ke depan dan hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasan Kazuya. Keduanya pun berangkat menuju ke pemakaman tempat Ashley dimakamkan.

***

Jam 10.00 malam di markas tersembunyi.

Setelah hampir satu jam lamanya berdiskusi apa yang seharusnya dilakukan, anggota tim Ame belum bisa memastikan apa yang sebaiknya mereka lakukan.

Mereka pun keluar dari ruangan rapat setelah Shingo membubarkan mereka. Shingo dan Izuna terus berdiskusi, berjalan di paling depan. Sementara Daiki dan Taka berjalan tepat di depan Kotaro yang berada di paling belakang.

“Pssst … pssst …” Kotaro berusaha memanggil Daiki dan Aizen, tapi mereka sama sekali tidak menghiraukannya.

Kotaro pun punya ide lain. Dia menulis sebuah kata-kata di ponselnya, lalu menyalip Daiki dan Aizen, sehingga dia berada di depan mereka sekarang. Dia menunjukkan layar ponselnya di punggungnya kepada keduanya.

Temui aku di dekat mesin minuman jam 12.00 malam, penting.” ucap Daiki dan Aizen dalam hati, membaca pesan yang tertulis di ponsel Kotaro.

Keduanya pun bertatapan, lalu menoleh ke belakang bersamaan. Mereka melihat ke arah mesin minuman berada dan kembali menatap ke depan setelah tahu di mana mereka harus bertemu.

Setelah dua jam di kamar menunggu hingga jam dua belas tiba, Daiki dan Aizen pun keluar dari kamar bersamaan. Mereka pergi menuju ke tempat mesin minuman seperti yang diminta oleh Kotaro.

Namun, setelah sampai di lorong tempat mesin minuman berada, mereka heran begitu melihat Karasu juga ada di sana.

Daiki dan Aizen pun sampai di hadapan keduanya. “Karasu juga?” tanya Daiki heran.

Kotaro hanya menganggukkan kepalanya. Dia pun langsung mengeluarkan ponselnya, lalu menunjukkan isi pesan yang Ame kirimkan kepada mereka bertiga.

Setelah selesai membaca pesan dari Ame, raut wajah mereka bertiga terlihat sangat serius.

“Sulit kalau hanya mencarinya dari aura membunuh. Tempat ini dipenuhi pembunuh, sudah jelas kalau auranya memang terasa sangat kental.” ucap Daiki sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.

“Benar. Butuh pengamatan yang lebih dekat lagi untuk mengetahui hal semacam itu,” ucap Aizen.

“Jangan bicarakan di sini,” ucap Karasu sambil melihat ke kiri dan kanan. “Di kantorku saja. Ayo,” ucapnya lagi sambil mengajak ketiganya untuk ikut ke kantornya.

Mereka pun pergi menuju ke kantor Karasu. Setibanya di sana, Kotaro dan Aizen duduk di kursi dekat meja kerja Karasu, sedangkan Daiki berdiri bersandar pada tembok. Sementara itu, Karasu membuatkan teh hijau hangat untuk mereka minum bersama.

Karasu pun memberikannya untuk mereka masing-masing dan juga dirinya.

“Terima kasih,” ucap ketiganya bersamaan.

Mereka pun meminum terlebih dahulu teh hijau yang dibuatkan Karasu agar pembicaraan bisa lebih nyaman sebelum dimulai.

“Sama-sama,” ucap Karasu dengan tersenyum.

***

Jam 11:00 malam di pemakaman tempat Ashley dimakamkan.

Karena pintu gerbang pemakaman sudah ditutup, Kazuya dan Ame nekad memanjatnya untuk masuk ke dalam. Cukup lama mereka berjalan, tibalah keduanya di sebuah makam yang ukurannya tidak besar, karena memang Ashley masih kecil ketika meninggal.

“Ashley. Dia tidak punya nama belakang?” tanya Ame heran.

“Ashley bukanlah nama aslinya,” ucap Kazuya datar.

Adrenalin Ame tersentak. Pantas Muramasa dan Ayase sama sekali tidak mengingatnya. Bisa saja kalau dia memang menyebutkan nama anak yang salah. Dia pun melihat dengan tajam ke arah batu nisan yang ada di hadapannya saat ini. “Lalu, siapa namanya?” ucapnya semakin penasaran.

Karena Kazuya tidak juga menjawabnya, Ame pun menoleh ke arahnya. Adrenalinnya tersentak kembali.

“Jangan dendam padaku, Ame.”

ZWEPP!

Kazuya menembakkan peluru bius tepat ke arah leher Ame, membuatnya langsung terkapar dan kehilangan kesadarannya.

***

Jam 12.00 malam di sebuah pabrik yang sudah tidak terpakai.

Ame terbangun dari pingsannya. Dia diikat pada sebuah kursi, dengan tangan dan kakinya yang diikat rangkaian rantai yang digembok. Dia melihat ke sekeliling, berusaha mencari tahu ada di mana dia sekarang.

Suara langkah kaki terdengar semakin dekat mendekatinya. Ame melihat terus ke arah suara langkah kaki itu berasal. Ketika orang itu memasuki wilayah sinar cahaya bulan yang terpancar di ruangan itu, dia bisa melihat dengan jelas siapa yang berjalan mendekatinya itu, membuat adrenalinnya tersentak begitu melihatnya.

“The Grim Reaper!” teriak Ame dengan penuh amarah dan mencoba berontak dari kursinya.

Reaper yang membawa kursi lipat di tangannya pun, membuka kursinya dan duduk di hadapan Ame. “Senang bertemu langsung denganmu, Ame Musashi alias The Rainmaker.” ucapnya dengan suara yang terdengar senang sekali.

“Buka perbanmu dan tunjukkan padaku identitasmu!” teriak Ame lagi semakin kesal.

“Sabarlah, akan ada waktunya. Daripada membicarakan diriku, lebih baik kita bicarakan tentang permainan yang baru saja kita mulai. Hmm … waktumu sudah habis untuk mencari tahu siapa dua orang yang bersembunyi di markas rahasiamu.” ucap Reaper dengan serius.

Adrenalin Ame tersentak lagi. Dia mengingat kembali kenapa dia bisa ada di sini. “Kazuya,” ucapnya dengan mengepal kuat kedua tangannya dan tertunduk menahan amarah yang bergejolak.

“Tepat sekali. Lalu, satu lagi?” tanya Reaper dengan santainya.

Ame menegakkan kembali kepalanya, lalu menggelengkan kepalanya.

Reaper pun langsung menghampirinya, mendekatkan kepalanya ke telinga Ame. “Karasu,” bisiknya pelan.

Adrenalin Ame lagi-lagi tersentak. Bahkan bukan hanya rasa kesal saja yang bergejolak kali ini, rasa sedihnya pun juga ikut sangat terasa.

***

BRUKK …

DUK …

DUK …

Daiki terkapar di lantai, sementara Kotaro dan Aizen terkapar di meja Karasu.

“Jangan dendam padaku, ya? Timnya Ame,” ucap Karasu dengan tersenyum.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro