Chapter 23: Permen Apel

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

“Baiklah, sudah cukup. Sebelum perbincangan kalian berdua semakin jauh, bagaimana kalau kita pindah ke lokasi yang lebih nyaman. Jujur, mataku agak sakit melihat penerangan yang sangat sedikit di sini.” ucap Reaper sambil mengusap-ngusap bagian matanya yang tertutup perban hitam.

Taka pun berdiri dan berbalik badan menghadap ke arah Tomoya yang berdiri tidak jauh darinya. “Antarkan mereka berdua, ada sesuatu yang ingin aku ambil terlebih dahulu.” ucapnya dan langsung pergi meninggalkan Ame dan Ayase.

Begitu Tomoya mendekat dan dapat terlihat jelas olehnya, Ame langsung berdiri menatapnya tajam sambil menggenggam tangan Ayase dengan erat. “Aku sudah duga kalau ada yang mencurigakan denganmu. Firasatku merasakan hawa membunuh yang cukup kuat darimu. Tapi, berhubung kau anak kuliahan dan teman kampus Ayase, aku tidak terlalu memperdulikannya. Itu artinya kau adalah orang ketiga dari lima anggota Black Mask yang belum aku ketahui.” ucapnya datar.

Tomoya mengeluarkan ponsel dan kunci apartemen milik Ame dari kantongnya, lalu memberikannya kepada Ame. “Aku hanya melakukan apa yang aku anggap benar dan perlu kau tahu, aku sama sekali tidak bermaksud melukai pacarmu satu ujung jari pun.” ucapnya menatap tajam Ame balik. Dia pun berbalik badan, menyalakan senter di tangannya, lalu menoleh kembali ke arah Ame. “Ikuti aku,” ucapnya datar.

Ame pun menyalakan senter dari ponselnya, lalu bersama dengan Ayase mengikuti langkah Tomoya. Dia bisa melihat dengan jelas siapa saja yang berjalan di depannya selain Tomoya. Ingin sekali rasanya dia meluapkan emosinya setelah melihat Kazuya dan Karasu berjalan tidak jauh di depannya. Tapi, karena Ayase bersama dengannya, dia mengurungkan niatnya karena keselamatan Ayase adalah yang utama. Mengingat dia tidak bisa bertarung sambil melindungi Ayase.

Sampailah mereka di lantai dasar pabrik yang ditinggalkan itu. Mereka semua berdiri tepat di tengah-tengah ruangan.

“Siapa yang pegang remotnya?” tanya Reaper dengan polosnya.

“Bukannya kau?” tanya Hayate agak kesal.

“Eh? Bukan aku,” jawab Reaper dengan santainya sambil merogoh semua kantong yang ada di celananya.

“Siapa yang terakhir kali ke bawah?” tanya Haru datar.

“Ah! Taka. Di mana dia?” ucap Reaper melihat ke sekeliling mencari keberadaan Taka.

“Sudah aku bilang buat saja duplikatnya dan semua anggota memilikinya agar tidak repot seperti ini,” ucap Kazuya lesu.

“Sebenarnya kalian ini organisasi kriminal bukan sih?” ucap Ame pelan.

“Maaf. Kejadian seperti ini sering terjadi,” ucap Tomoya lesu.

Tak lama Taka pun datang membawa tas besar di tangannya. “Kalian sedang apa? Kenapa tidak ke bawah?” tanyanya datar.

“Remot untuk membuat lantai ini turun, ada padamu, kan?” tanya Reaper sambil menjulurkan tangannya meminta remot yang dimaksud kepada Taka.

“Remot? Tidak ada padaku,” jawab Taka heran.

Hening seketika. Jika tidak ada pada Taka, lalu ada di siapa?

“Grimmy, coba kau cek lagi di jaketmu. Kau hanya merogoh celana mu saja tadi,” ucap Karasu sambil menunjuk jaket yang dikenakan Reaper.

Reaper merogoh setiap kantong jaketnya. Remote-nya pun berhasil ditemukan, lalu dia mengangkatnya tinggi-tinggi. “Ketemu! Hampir saja kita tidak bisa ke markas kita sendiri,” ucapnya dengan riang gembira.

Sementara anggota Black Mask yang lain sudah mengokang pistol mereka masing-masing bersiap menembak Reaper, saking kesalnya.

Kelakuan dan karakter menyeramkannya tidak selaras,” gumam Ame menyesal telah merasa takut dengan Reaper yang ternyata punya kelakuan semacam itu.

Reaper pun menekan tombol pada remot itu, sehingga lantai di sekitar mereka turun ke bawah layaknya sebuah lift. Begitu sampai di bawah, semua lampu langsung menyala.

“Karasu, Kazuya, dan Kuro kembalilah ke atas dan bawa mereka ke sini. Setelah itu, tempatkan mereka di ruangan isolasi.” ucap Reaper sambil menoleh ke arah ketiganya. Dia pun memberikan remotnya kepada Kazuya.

Sementara mereka bertiga tidak beranjak, yang lainnya mengikuti langkah Reaper yang berjalan paling depan.

Ketika Ame berpapasan dengannya, Karasu mencoba untuk berkomunikasi dengannya. “Ame,” panggilnya.

Panggilannya sama sekali tidak ditanggapi oleh Ame sedikit pun. Ame berlalu begitu saja menjauhinya.

“Wajar saja kalau dia bersikap seperti itu. Dia masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kalau dia sudah mengerti, dia pasti akan kembali bersikap seperti sedia kala terhadapku dan juga kau.” ucap Kazuya datar.

“Semoga saja,” ucap Karasu ragu.

Setelah berjalan semakin ke dalam tempat itu, Taka dan Tomoya yang berjalan di depan Ame tiba-tiba berhenti.

“Kau dan aku berhenti di sini. Lalu, Ayase akan ikut bersama dengan mereka.” ucap Taka tanpa berbalik badan.

“Dari mana aku bisa percaya padamu kalau dia akan baik-baik saja jika pergi bersama dengan mereka?” tanya Ame ketus.

Taka pun berbalik badan dan menatap tajam Ame. “Nyawaku jaminannya,” ucapnya datar.

Ame pun menghadap ke arah Ayase, dan langsung memeluknya. “Maafkan aku sudah melibatkanmu dengan semua ini,” ucapnya pelan.

“Tidak apa-apa. Aku senang kalau kau baik-baik saja,” ucap Ayase haru.

Ame pun melepaskan pelukannya. “Tunggu aku. Aku hanya sebentar,” ucapnya dengan tersenyum.

Ayase menganggukkan kepalanya dan membalas senyuman Ame.

“Aku menjamin nyawaku, Tomoya. Jadi, jaga gadis ini baik-baik.” ucap Taka datar sambil menoleh ke arah Tomoya.

Tomoya pun juga menganggukkan kepalanya. Ame pergi dengan Taka masuk ke dalam ruangan interogasi yang ada di sebelah mereka, sementara Ayase bersama dengan Tomoya ikut bersama anggota Black Mask lainnya mengamati dari sebelah ruangan tempat Ame dan Taka saling berbicara.

Saat sampai di depan pintu ruangan yang ingin dimasuki oleh Ayase dan Tomoya, tiba-tiba Reaper keluar dan berhenti tepat di hadapan Ayase.

“Aku ingin bicara denganmu sebentar, boleh?” tanya Reaper sambil menatap ke arah Ayase.

“Apa maumu?” tanya Ayase sedikit ketakutan.

“Tenang saja, aku tidak mungkin membunuhmu. Lebih tepatnya, aku tidak akan sanggup untuk melakukannya.” ucap Reaper datar.

Ayase pun menganggukkan kepalanya, setuju untuk berbicara empat mata dengan Reaper. Mereka berdua pun berjalan sedikit menjauhi ruangan itu.

***

Di dalam ruangan yang dimasuki oleh Ame dan Taka, hanya terdapat sebuah meja dan dua kursi yang saling berhadapan. Ditambah sebuah speaker dan kamera pengawas di sudut ruangan. Taka meletakkan tas yang dibawanya di atas meja, lalu keduanya pun duduk di kursi itu.

Taka menyilangkan kedua tangannya di dada, lalu menatap ke arah Ame. “Tas ini aku simpan dan tak pernah sedikitpun aku sentuh selama tiga tahun terakhir. Alasannya karena hanya tas inilah bukti yang bisa aku berikan padamu,” ucapnya datar.

“Aku percaya. Tas ini adalah tas yang kau gunakan tiga tahun lalu, aku masih mengingatnya. Debu yang menempel juga alami, bukan buatan. Jadi, jelaskan saja padaku apa tujuanmu menunjukkan tas ini kepadaku.” ucap Ame sambil menunjuk tas milik Taka.

Taka pun berdiri kembali. Membuka tas miliknya, lalu mengeluarkan satu-persatu barang yang ada di dalamnya dan menatanya dengan rapi di atas meja.

Amunisinya penuh?” gumam Ame setelah melihat peluru yang masih lengkap tersemat di dalam selongsong senapan.

Taka meletakkan tasnya di bawah setelah semua barang yang ada di dalamnya sudah diambil, lalu duduk kembali. “Tanyakan apa saja yang masih kurang jelas setelah kau melihat semua barang-barang ini,” ucapnya sambil menjulurkan tangannya, mempersilahkan Ame untuk mengamati barang-barangnya terlebih dahulu.

Ame melihat satu-persatu barang yang ada di atas meja dengan saksama selama beberapa saat, lalu kembali menyandarkan badannya ke kursi dan menatap ke arah Taka. “Ada yang ingin aku tanyakan, tapi bukan tentang barang-barang yang ada di atas meja ini.” ucapnya sambil menunjuk barang-barang yang ada di atas meja.

“Silahkan. Aku sudah bilang, kan? Aku akan menjawab semua pertanyaanmu, apapun itu.” ucap Taka dengan sedikit tersenyum.

“Entah sudah berapa kali aku menyelidiki ulang semua data tentang mayat Kaguya dan Asuka. Sebanyak apapun aku meneliti, aku selalu mendapatkan hasil yang sama, yaitu kejanggalan. Kau ada di atap gedung malam itu dan bisa aku pastikan kau memang berada di sana. Jika kau adalah orang yang membunuh mereka berdua, lalu kenapa luka tembak di dada Kaguya dan leher Asuka lebih landai?” tanya Ame dengan tatapan tajamnya dan juga sedikit rasa penasaran yang tergambar di wajahnya.

Taka pun kembali sedikit tersenyum setelah mendengar pertanyaan Ame.

“Kalau kau ada di tempat setinggi itu, seharusnya luka tembak mereka berdua terbentuk lebih curam dan menukik. Tidak selandai seperti yang tertera dalam hasil otopsi. Aku beranggapan kalau kau turun dua sampai tiga lantai, lalu menembak dari sana. Tapi, setelah melihat selongsong milikmu penuh peluru. Aku jadi ragu kembali. Apa benar kau yang menembak mereka berdua?” tanya Ame lagi dengan heran dan agak kesal karena semakin penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Taka pun tiba-tiba tertawa kecil, hal yang sangat jarang sekali terjadi bahkan hampir tidak pernah terlihat. “Aku tidak menyangka, berbohong padamu tiga tahun lalu bisa membuatmu sampai hebat seperti saat ini. Bukan cuma sebagai hacker, tapi sebagai bounty hunter yang hampir setara denganku.” ucapnya dengan tersenyum.

“Apa maksudmu dengan berbohong?” tanya Ame lagi dengan mengepalkan tangannya karena kesal.

“Saat menemuimu di gang itu, semua perkataan yang aku ucapkan adalah kebohongan. Hal itu sengaja aku lakukan karena aku mengingat sebuah pesan dari seorang teman. Manusia berada di titik terkuatnya, saat dia sedang frustasi.” ucap Taka dengan tersenyum.

Adrenalin Ame pun tersentak karena dia ingat kalau ucapan itu sama persis seperti yang dikatakan oleh Ogura saat menipu semua anggota Troublemaker sebelum berhadapan dengan tim yang dikirim oleh Tuan Shin.

***

16 tahun yang lalu …

Jam 09.00 malam di sebuah festival kembang api yang diadakan di Kota G.

“Kakak!” teriak Ayase kecil memanggil kakaknya dari kejauhan.

“Ayase! Cepat ke sini!” panggil kakaknya, Seijurou.

Ayase pun berlari menghampiri kakaknya sambil menyembunyikan permen apel di belakang badannya.

“Tebak, aku belikan apa untukmu.” ucap Ayase dengan riangnya.

“Hmm … yakisoba?” tanya Seijurou mencoba menebak apa yang Ayase bawa.

Ayase menggelengkan kepalanya.

“Takoyaki?”

Ayase menggelengkan kepalanya lagi.

“Topeng?”

Ayase agak kesal karena jawaban Seijurou yang semakin melenceng. Tapi, karena dia sudah merasa puas melihat wajah kakaknya yang kebingungan, dia pun langsung menunjukkan apa yang dibawanya.

“Ja, jang!” teriak Ayase dengan riangnya sambil memegang permen apel di tangannya.

“Aku tidak suka makanan manis, kenapa kau memberikan ini untukku?” tanya Seijurou heran.

“Jadi, kau tidak suka?” tanya Ayase hampir menangis dan terlihat sangat sedih.

Seijurou pun mengambil permen apel pemberian Ayase, lalu mengelus-ngelus kepalanya. “Tapi, kalau yang memberikannya Ayase, apapun pasti aku akan langsung suka.” ucapnya dengan tersenyum.

Ayase kembali terlihat ceria begitu melihat Seijurou senang dengan pemberiannya.

***

Ayase sebenarnya merasa agak takut berhadapan langsung dengan Reaper karena tampilannya yang menyeramkan. Tapi, dia coba terus menggambarkan sosok Reaper yang lucu saat kejadian beberapa saat lalu, ketika dia lupa meletakkan remot. “Jadi, apa yang ingin kau bicarakan denganku?” tanyanya dengan agak takut.

“Apakah kau percaya kalau kakakmu sudah mati?” tanya Reaper datar.

Ayase pun langsung menatap tajam ke arah Reaper. “Apa maksudmu menanyakan hal itu kepadaku?” tanyanya sinis.

“Jawab saja.”

“Jelas saja aku percaya. Aku datang ke pemakamannya bahkan sampai menangis selama satu minggu penuh setelahnya,” jawab Ayase dengan tertunduk karena tiba-tiba mengingat kembali apa yang dia rasakan saat itu.

“Lalu, kalau kakakmu ternyata masih hidup dan ternyata ada di hadapanmu sekarang, apa yang akan kau lakukan?” tanya Reaper dengan agak bercanda.

PLAKK!

“Jangan bercanda! Kakakku sudah tenang di sana. Kenapa kau berani sekali mengaku-ngaku sebagai dirinya? Kakakku tidak mungkin melakukan perbuatan jahat seperti yang sudah kau lakukan selama ini!” teriak Ame saking kesalnya setelah menampar Reaper dengan sekuat tenaga.

Reaper pun memegangi pipinya yang ditampar Ayase, lalu kembali menatap ke arahnya. “Tanyakan apapun yang hanya kakakmu sajalah yang bisa menjawabnya,” ucapnya datar.

“Untuk apa aku melakukan hal semacam itu?” ucap Ayase agak kesal sambil menghapus air mata yang hampir jatuh membasahi pipinya.

“Untuk membuktikan kalau apa yang aku katakan itu benar adanya,” ucap Reaper dengan sangat serius.

Ayase pun mengepal kuat kedua tangannya. “Saat umurku 4 tahun, aku memberikan sesuatu pada kakakku di festival kembang api. Apa yang aku berikan kepadanya? Yakisoba, takoyaki, atau sebuah topeng?” tanyanya sambil menatap tajam Reaper.

“Permen apel. Semua pilihan yang kau berikan adalah semua tebakanku yang salah saat itu,” jawab Reaper.

Air mata Ayase pun pecah dan kesedihannya tak bisa dibendung lagi. Dia masih tidak menyangka kalau Reaper adalah kakaknya, Seijurou yang seharusnya sudah sejak lama meninggal. Dia pun langsung memeluknya tanpa pikir panjang. “Kakak …” ucapnya pelan.

Reaper pun memeluk balik Ayase. “Aku sangat merindukanmu, Ayase.” ucapnya haru.

“Aku juga,” ucap Ayase yang terus menangis karena sangat gembira mengetahui kakaknya masih hidup.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro