Chapter 44: Penyamaran yang Menggoda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jam 13.00 siang di Kantor Menteri Informasi dan Telekomunikasi Arufabetto.

Tim Reaper bersama dengan Izuna, baru saja sampai dan memarkirkan mobil van mereka agak jauh dari kantor itu. Hayate yang duduk di sebelah Tomoya yang menyetir, keluar dari mobil tanpa membawa pedangnya. Taka yang berada di bagian belakang bersama dengan Reaper dan Izuna pun ikut keluar.

Hayate berjaga di sekitar mobil van, sementara Taka berjalan menuju ke dekat kantor untuk berjaga di sekitarnya. Di dalam bagian belakang mobil van, Reaper memberikan arahan kepada Izuna.

“Jam tangan ini adalah alat yang akan kau gunakan sebagai peretas komputer si resepsionis. Caranya, putar searah jarum jam sebanyak empat puluh lima derajat, lalu tekan kaca jamnya setelah terdengar bunyi klik. Dari situlah kau mulai membuat resepsionis itu sibuk selama lima belas menit ke depan,” ucap Reaper sambil memperagakan bagaimana cara menggunakan alatnya.

“Jam tangan ini kan jam laki-laki, mana mungkin aku memakainya. Lalu, kenapa lama sekali? Lima belas menit itu tidak sebentar,” ucap Izuna yang mulai panik.

“Berimprovisasi lah. Kalau ditanya kenapa pakai jam laki-laki, berbohong saja. Bilang saja kalau jam ini adalah peninggalan ayahmu atau semacamnya. Lalu, kenapa bisa selama itu, alasannya karena alat itu butuh waktu sepuluh menit untuk meretas komputer yang berada pada jangkauannya. Tadinya alat itu bahkan sampai butuh waktu dua puluh menit, untung saja Ame memperbaikinya sehingga bisa lebih cepat.

“Lima menitnya lagi, aku akan mencari informasi dari komputer wanita itu, jadi jangan sampai dia melihat layar komputernya di lima menit terakhir. Karena apa yang aku lakukan, juga bisa dilihat di layar komputer itu. Berhati-hatilah,” ucap Reaper sambil memasangkan jam tangannya pada Izuna.

Izuna pun menganggukkan kepalanya, tanda kalau dia sudah mengerti dengan arahan yang diberikan oleh Reaper kepadanya.

Setelah siap dengan segala hal yang perlu dibawa sebagai pendukung penyamarannya, Izuna pun keluar dari mobil van. Dia merapatkan kembali bagian bajunya yang agak berantakan dan juga menata kembali rambutnya yang kurang teratur.

Izuna pun berjalan menuju ke kantor itu layaknya seorang wanita dewasa yang sedang berjalan menuju kantornya. Lekukan tubuhnya yang bagus, paras wajahnya yang cantik, serta didukung dengan pakaian formal yang dipilihkan oleh keempat rekannya, dia menjadi pusat perhatian di sepanjang jalan itu. Tak ada satupun laki-laki yang tidak melirik ke arahnya begitu berpapasan dengannya.

Dari kejauhan, Taka menatapnya dan sedikit tersenyum. “Bagaimana, Hayate? Apa dia sama sekali tidak membuatmu tergoda?” ucapnya sambil memegangi alat komunikasi di telinganya.

“Kapan lagi kau bisa bertemu dengan wanita secantik itu, Hayate.” Reaper pun ikut-ikutan meledek Hayate.

“Kalian berdua sebaiknya diam jika masih ingin punya lidah untuk bicara dengan benar,” ancam Hayate dengan geram.

Reaper, Taka dan Tomoya pun sedikit tertawa mendengarkan ancaman Hayate.

Izuna sampai di depan Kantor Menteri tersebut. Tidak seperti Taka dan Tomoya yang dicurigai, Dia justru lancar-lancar saja dan masuk tanpa ditanya ataupun diperiksa terlebih dahulu oleh penjaga. Para penjaga yang ada di sana terlalu sibuk mamandangi kecantikannya, sampai lupa memeriksanya.

Ketika Izuna sudah berada di depan meja resepsionis, dia meletakkan map beserta tas yang dibawanya di atas meja. Lalu, melakukan persis seperti yang diarahkan oleh Reaper sebelumnya. Sepuluh menit peretasan pun dimulai.

Izuna menata rambutnya lagi, lalu menatap ke arah resepsionis yang masih fokus di depan layar komputernya itu. “Permisi, boleh aku bertanya sesuatu?” ucapnya dengan ramah.

“Iya, ada yang bisa …” ucap resepsionis itu dan langsung diam mematung begitu melihat Izuna di hadapannya.

Izuna yang heran pun melambai-lambaikan tangannya di depan wajah resepsionis itu. “Hallo, ada apa denganmu?” tanyanya.

Resepsionis itu pun berdiri dan gelagapan menghadapi Izuna. Pipinya bahkan sampai memerah karena terlihat sangat gugup dan malu. “Tidak apa-apa, tidak apa-apa.” ucapnya dengan tersenyum.

Sementara di mobil van, Reaper mengamati langsung proses peretasan yang sedang berjalan.

Bagaimana? Apakah sudah dimulai?” tanya Hayate agak cemas.

“Sudah dimulai. Baru sepuluh persen berjalan. Apakah kau bisa melihat apa yang terjadi di dalam sana, Taka?” tanya Reaper.

Mana mungkin aku bisa melihatnya dari jarak sejauh ini. Dengan menggunakan teropongku mungkin bisa, tapi tidak mungkin aku menggunakan benda itu di tempat yang ramai seperti ini.” ucap Taka datar.

“Kita hanya bisa percaya padanya dengan apa yang terjadi di dalam. Karena gedung itu menangkal sinyal komunikasi dari luar tanpa izin, kita jadi tidak bisa berkomunikasi dengannya menggunakan alat komunikasi. Jika terjadi sesuatu, kalian berdua bersiagalah,” ucap Reaper dengan serius.

“Baik,” jawab keduanya bersamaan.

Izuna melihat ke arah tanda pengenal yang terpasang di baju resepsionis itu, lalu menatapnya dan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan. “Namamu, Akira kan? Kenalkan, aku Izuna.” ucapnya dengan tersenyum.

Akira terkejut begitu Izuna bisa tahu namanya tanpa berkenalan terlebih dahulu. Dia pun tertunduk hingga wajahnya tidak bisa dilihat oleh Izuna. “Dari mana kau tahu namaku?” tanyanya malu-malu.

Izuna menurunkan tangannya, lalu memegangi dagunya. “Kalau aku bilang terus terang, dia pasti akan semakin malu dan pembicaraan ini jadi sulit berkembang. Apa yang harus aku katakan?” gumamnya terus memikirkan jawaban apa yang lebih pas.

“Karena tidak bisa melihat wajahmu secara langsung, aku jadi melihat ke mana-mana. Jadi, tanpa sengaja aku melihat tanda pengenal di dadamu ini.” ucap Izuna sambil memegang tanda pengenal di dada Akira.

“Eh? Maaf, maaf, aku terlalu malu kalau menatapmu langsung.” ucapnya dengan tersenyum, namun tetap malu-malu.

Paling tidak aku mengatakannya tapi dengan cara yang tetap membuatnya terus bisa berbicara denganku,” gumam Izuna menghela napas lega.

“Akira, aku ingin bertanya padamu. Di mana tempat yang sedang mencari lowongan berada? Aku ingin ke sana,” ucap Izuna dengan tersenyum.

“Eh? Kau ingin bekerja di sini?” tanya Akira antusias.

Izuna menganggukkan kepalanya sambil tersenyum, membuat wajah Akira berbinar-binar seperti baru saja mendapatkan kabar terbaik dalam hidupnya.

“Aku ingin sekali menunjukkannya, tapi karena waktunya sudah habis, jadi kau harus kembali lagi besok.” ucap Akira lesu.

Izuna pun juga ikut berpura-pura lesu setelah mendengar perkataan Akira itu. “Sayang sekali, padahal aku cuma punya hari ini untuk datang ke sini …” ucapnya pura-pura kecewa.

Akira terkejut seperti baru saja mendapatkan kabar terburuk dalam hidupnya. Dia pun mendekatkan wajahnya pada Izuna dan menatapnya dengan serius. “Memangnya kenapa? Apa ada sesuatu yang membuatmu tidak bisa berlama-lama di kota ini? Atau ada hal lain?” tanyanya penasaran.

“Sebenarnya, setelah aku terus terang pada orang tuaku mengenai diriku yang menyukai sesama jenis lewat telepon. Mereka sangat marah kepadaku, lalu ingin aku segera pulang untuk membicarakannya. Setelah pulang, aku tidak tahu bisa kembali lagi ke sini atau tidak.” ucap Izuna pura-pura murung.

Pipi Akira memerah, dia mundur kembali karena merasa malu sudah terlalu dekat dengan wajah Izuna.

“Kau kenapa, Akira? Apa jangan-jangan, kau juga?” tanya Izuna penasaran.

Akira menganggukkan kepalanya dengan malu-malu.

Izuna langsung memegang kedua tangan Akira dan mengangkatnya hingga sedada, lalu menatapnya dengan tersenyum. “Aku jarang sekali bertemu dengan perempuan yang seperti aku,” ucapnya dengan tersenyum.

Akira memang terkejut karena Izuna tiba-tiba menggenggam tangannya, namun dia terlihat senang sekali karenanya.

Maaf ya, Akira. Aku ini jahat sekali telah mempermainkan hatimu,” gumam Izuna yang mulai merasa menyesal sudah membohongi Akira.

Izuna pun terus mengajak Akira berbicara, membahas tentang dirinya yang menyukai sesama jenis dan berbagai hal lainnya.

Setelah merasa cukup lama berbicara dengan Akira, Izuna melirik ke jam di tangannya. “Sudah sepuluh menit, itu artinya.” gumamnya, kemudian menatap ke arah komputer Akira yang mulai bergerak-gerak sendiri.

Dia pun kembali membicarakan banyak hal dengan Akira lagi. Tapi, di tengah-tengah pembicaraan seru mereka, seorang penjaga menghampiri keduanya.

“Maaf, Nona. Kau tidak boleh mengajak Akira berbicara terlalu lama, dia sedang bekerja.” ucap penjaga itu.

Saat Akira ingin kembali bekerja, Izuna langsung menahan tangannya dan menatapnya dengan tersenyum sambil mengedipkan satu matanya. Akira pun menganggukkan kepalanya dan tersenyum begitu memahami kode yang diberikan oleh Izuna.

Izuna pun menoleh ke belakang, menatap penjaga itu dengan kecewa. “Tidak boleh, ya?” ucapnya merajuk.

Pipi penjaga itu langsung memerah karena malu-malu ketika melihat wajah Izuna. “Hmm … bukan begitu, Nona. Tapi … tapi …” ucapnya terus mencari alasan yang tepat.

“Karena masih jam makan siang, apa boleh aku berbicara dengan gadis ini lebih lama lagi? Hanya sampai jam makan siang berakhir,” ucap Izuna dengan tersenyum.

“Kalau begitu, tidak apa-apa, Nona.” ucap penjaga itu dengan menegapkan badan, kemudian kembali ke tempatnya.

Izuna kembali menatap ke arah Akira. “Masalah teratasi,” ucapnya dengan tersenyum.

Akira pun sedikit tertawa karena senang sekali bisa berbicara lebih lama dengan Izuna.

Setelah lima menit berbicara dengan Akira, Izuna melirik kembali ke arah komputer miliknya. Layarnya sudah kembali diam seperti sedia kala. Namun, dia memutuskan untuk sedikit lebih lama berada di situ untuk memastikan kalau Reaper benar-benar sudah selesai.

Ketika terus berbicara dengan Akira, sambil memastikan, tiba-tiba layar itu kembali bergerak dan membuka sebuah lembar kosong. Tak lama, sebuah tulisan berukuran besar tertulis di layar itu.

“AKU SUDAH SELESAI. APA LAGI YANG KAU TUNGGU? APA KAU MULAI TERTARIK DENGAN GADIS ITU? ATAU ADA ALASAN LAIN?”

Izuna terkejut dan langsung malu begitu selesai membacanya. “Kenapa tidak sejak awal saja dia menulis seperti itu untuk mengabariku?” gumamnya agak kesal.

Izuna pun menatap Akira dengan ekspresi kecewa. “Maaf, sepertinya aku harus segera pergi. Aku takut, kalau berlama-lama di sini penjaga itu akan menegurku lagi.” ucapnya murung.

Akira juga ikut murung begitu Izuna mengatakan ingin segera pergi. Dia pun mengeluarkan ponselnya, lalu menyerahkannya pada Izuna.

Izuna melihat layar ponsel Akira yang sudah berada di bagian mencatat nomor ponsel, artinya Akira ingin mereka berdua saling bertukar nomor ponsel. Dia pun memberikan nomor ponselnya yang asli karena dia memang tidak enak kalau harus berbohong lebih jauh lagi pada Akira.

Setelah mengembalikan ponsel Akira, keduanya pun berpisah dengan saling melambaikan tangan dan tersenyum. Akira terlihat sangat senang, sementara Izuna terlihat sangat frustasi. Dia tidak tahu apa yang akan Akira lakukan jika dia memberikan nomor ponsel aslinya itu. Tapi, mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi nasi goreng.

Izuna pun keluar dari sana dengan perasaan frustasi. Tapi, belum sempat menenangkan dirinya, Hayate tiba-tiba menghampirinya dan langsung memegang tangannya, menariknya pergi dari tempat itu.

“Ada apa?” tanya Izuna heran.

“Ada yang memata-matai kita. Taka sedang mengurusnya. Reaper dan Tomoya sudah kembali ke markas dengan mobil van, jadi aku akan melindungimu sampai kau kembali ke apartemen.” jawab Hayate datar.

Izuna terkejut, namun dia harus tetap tenang saat ini dan menuruti apa kata Hayate. Ketika keduanya sudah berjalan cukup jauh, Hayate menarik Izuna ke dalam sebuah gang sepi.

Hayate mengeluarkan pistol yang disembunyikannya di balik jaket, lalu memberikannya pada Izuna. “Kau lebih hebat menggunakannya dibandingkan denganku, jadi kau saja yang pegang.” ucapnya datar.

“Tapi, bagaimana denganmu?” tanya Izuna khawatir.

Hayate mengeluarkan kunai dari balik lengan kanan jaketnya, lalu menunjukkan apa yang ada di balik jaket bagian kirinya pada Izuna. “Aku lebih cocok pakai ini,” ucapnya dengan tersenyum.

Izuna sedikit tertawa karena baru teringat kalau Hayate adalah seorang ninja seperti Daiki.

***

Sementara itu, di gang yang berliku-liku dan terhimpit di antara gedung-gedung, Taka sedang mengejar orang yang memata-matai mereka. Karena terlalu banyak belokan, momentum untuknya menembak jadi tidak ada. Tapi, begitu keduanya berada di rute yang lurus, Taka tak mau membuang-buang waktu dan lansung menembak mata-mata itu dengan pistolnya yang sudah diberi peredam.

Orang itu pun tersungkur di tanah begitu Taka menembak kepalanya.

Taka menghampiri orang itu dan menggeledahnya. Ketida dia mendapatkan ponsel orang itu, dia langsung mengecek, mencari tahu asal usulnya. Terdapat pesan yang baru saja masuk ke ponsel itu. Dia pun membukanya.

Kami akan menuju ke tempatmu berada. Selalu nyalakan lokasi ponselmu agar kami mudah mencari.

Taka melihat ke sekelilingnya, mencari tempat di mana kira-kira dia bisa bersembunyi. Setelah meletakkan kembali ponsel milik orang itu, dia pun bersembunyi di dalam tempat sampah yang ada di dekatnya.

Sepuluh menit berlalu, mulai terdengar suara orang-orang yang baru saja berdatangan.

“Beraninya dia membunuh Nabe, dia tidak tahu siapa kita?”

“Kita harus mencari keberadaan orang yang membunuh Nabe!”

“Kita balaskan dendamnya!”

“Hoo!”

Teriakan dan ucapan orang-orang itu bisa terdengar jelas oleh Taka. Dia pun keluar dari persembunyiannya, mengejutkan mereka semua.

Tanpa sempat melakukan perlawanan, mereka semua sudah terkapar tak berdaya menerima tembakan di kepala. Kecuali satu orang yang sengaja Taka sisakan untuk mengorek informasi darinya.

Taka menghampiri orang yang sudah duduk tersungkur memegangi lukanya itu, lalu menodongkan senjatanya. “Siapa kalian? Kalian bukanlah Black Mask, karena mereka tidak mungkin menyuarakan balas dendam sekeras dan sesemangat itu.” ucapnya datar.

“Tentu saja kami bukan kriminal seperti mereka! Kami ini yakuza!” teriak orang itu.

Adrenalin Taka sedikit tersentak begitu mendengar nama yakuza. “Yakuza? Lalu, apa urusan yakuza memata-matai orang seperti kami?” tanyanya.

“Apa urusanmu ingin mengetahui hal itu?” ucap orang itu dengan tersenyum.

Taka langsung menginjak bagian luka orang itu dengan kuat.

“Argh!” rintih orang itu kesakitan. “Baik, baik, akan aku katakan. Jauhkan kakimu dariku,” ucapnya lagi.

Taka mengangkat kakinya, memasang telinganya untuk mendengarkan.

“Inoe bersaudara datang ke tempat kami dan membayar sangat besar untuk melenyapkan kalian berlima,” ucap orang itu dengan terengah-engah.

Selain kesal karena Inoe bersaudara mencoba mencari gara-gara dengannya, Taka juga merasa heran, siapa lima orang yang dimaksudkannya itu. “Siapa saja lima orang itu?” tanyanya.

“Tomoya Nakajima, Taka Izizaki, Kuro Mikazuki, Ame Musashi dan Hayate Kageyama. Bahkan kelompok kami yang lain sedang mengejar salah satu temanmu yang bersama dengan seorang wanita,” ucap orang itu sambil menatap Taka.

Adrenalin Taka tersentak. Dia langsung menghubungi Hayate dengan ponselnya. “Hayate, ada beberapa orang yang sedang mengejarmu. Berhati-hatilah,” ucapnya datar.

Aku mengerti,” jawab Hayate datar.

Taka pun mengantongi kembali ponselnya, lalu menembak kepala orang itu setelahnya. “Terima kasih atas informasinya,” ucapnya datar, lalu pergi dari tempat itu.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro