Chapter 27: Perang yang Bisa Saja Terjadi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Gedung parkiran yang sudah tak terpakai di Kota S. Waktu menunjukkan pukul dua siang. Kotaro, Sagiri, dan OC memarkirkan mobil mereka di seberang jalan. Sagiri turun dari mobil memawa berkas biodata lengkap anggota Troublemaker, OC turun membawa koper kecilnya, sementara Kotaro turun membawa dua buah koper berukuran besar yang di dalamnya terdapat peralatan ciptaan OC. Mereka pun masuk ke dalam gedung parkirannya.

Karena keberadaan dua sosok bayangan hitam itu ada di lantai empat, otomatis mereka harus menggunakan lift. Namun karena lift-nya rusak, mereka terpaksa harus menaiki tangga. Lantai demi lantai mereka naiki. Sagiri dan Kotaro terlihat biasa saja, sementara OC terlihat sangat kelelahan.

Kotaro melirik sejenak OC yang ada di enam anak tangga dibelakangnya. “Aku bawa dua buah koper dan dua-duanya berat. Tapi, napasku tidak terengah-engah sepertimu, OC.”

OC menghentinkan sejenak langkahnya dan bersadar pada dinding sambil mengatur napas. “Kau itu kan laki-laki, wajar kalau napasmu kuat. Aku ini kan perempuan.”

“Bukan … itu sih memang karena kau saja yang tidak pernah olahraga.” Kotaro dan Sagiri hanya bisa tertawa dan geleng-geleng kepala melihat OC. Namun karena kasihan, Sagiri pun akhirnya membawakan koper kecil miliknya.

Tiba di lantai empat. Mereka tidak menginjakkan kaki di lantai itu dan hanya membuka lebar pintu masuk dari tangganya saja. Satu-persatu peralatan dari dalam dua koper yang dibawa Kotaro, dibongkar sendiri olehnya. Ada sebuah drone beserta pengendalinya, sebuah kamera berukuran kecil hasil modifikasi OC yang dapat merekam jejak karet, sebuah kamera kecil biasa yang juga berukuran kecil dan gulungan perekat. Kotaro merekatkan dua kamera itu pada drone. Kamera ungu di bagian bawah, sedangkan kamera biasa di bagian atas.

Sementara itu, OC mengeluarkan laptop, printer portable, bebapa lembar kertas dan juga peralatan lainnya dari dalam koper kecilnya. Dia memulai sebuah program di laptopnya, yang terhubung dengan kamera ungu buatannya. “Semuanya sudah siap,” ucapnya menatap Sagiri dan Kotaro bergantian.

Kotaro menyalakan drone-nya dan mengarahkannya masuk ke dalam area parkir di lantai empat tersebut. Dia mengarahkannya ke tiap sudut lantai itu secara perlahan, agar OC bisa dengan teliti melihat apakah ada jejak karet yang mencurigakan. Sebelum mengarahkan drone-nya di tempat kedua sosok bayangan itu berdiri, mereka ingin memastikan tidak ada bukti yang tertinggal di sana. Setelah dua puluh menit, mereka tidak menemukan apapun.

Inilah saat yang paling mendebarkan. Mengarahkan drone-nya ke tempat sosok bayangan itu berdiri. Kotaro menelan ludahnya, diikuti juga dengan OC dan Sagiri. Meski cuma hal sepele, entah kenapa ketiganya terlihat sangat tegang. Dan begitu drone-nya sampai di titik itu, ternyata memang benar ada jejak dua pasang sepatu yang bersebelahan.

OC menghembuskan napas lega, yang juga diikuti Sagiri dan Kotaro. “Syukurlah Sagiri, Kotaro, mereka berdiri di sana sampai setengah jam lamanya. Karena kalau tidak, alatku pasti tidak bisa menemukan apapun dan kita akan pulang dengan tangan hampa.”

Sagiri memegang dadanya dan mengelusnya perlahan. “Dengan begini, Shin Sensei pasti akan memaafkan kekalahan kita yang kemarin.”

“Kau benar,” ucap Kotaro sepakat.
Sagiri dan Kotaro pun bersalaman layaknya saudara seperguruan yang sebenarnya. Padahal, sebelumnya mereka berdua bertengkar hebat.

OC memegangi dagunya dan menatap laptopnya dengan serius. “Pekerjaan kita masih belum selesai. Sekarang, bagaimana cara mengetahui siapa yang memakai sepatu ini dan berapa ukurannya? Aku tidak punya program semacam itu.”

Kotaro menepuk pundak OC pelan dan menatapnya dengan tersenyum. “Tidak semua hal harus diselesaikan dengan program. Cetakan alas sepatu dari setiap toko sepatu di negara ini, memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Jadi, kita hanya tinggal mencarinya di internet dan mendatangi toko sepatunya langsung.”

OC terlihat begitu senang dan semangat. “Kau benar, Kotaro! Aku tidak berpikir sampai ke sana. Aku tidak menyangka kau bisa memikirkan hal semacam itu.”

Kotaro mencolek hidungnya dengan ibu jari dan membusungkan dadanya, layaknya orang yang sedang menyombongkan diri. “Tentu saja. Aku ini murid tercerdas Shin Sensei.”

Sagiri langsung menyenggol siku Kotaro dengan kencang. “Enak saja. Yang paling pintar itu bukan kau atau aku, tapi ‘dia’.”

Kotaro menyadari siapa ‘dia’ yang dimaksudkan oleh Sagiri, lalu mendesah dan menundukkan kepalanya. “Benar juga. Aku lupa ‘dia’ itu jauh lebih hebat dari semuanya.”

Mereka bertiga pun mengembalikan semua peralatan ke tempatnya semula, lalu kembali ke mobil mereka untuk mencari toko sepatu yang menjual kedua sepatu itu.

***

Satu jam setelahnya di Kota U. Kotaro, Sagiri, dan OC tiba di Toko Sepatu Arajima selaku toko yang menjual dua sepatu itu. Tempatnya tidak besar dan tidak kecil, sepatu yang dipajang juga sepatu-sepatu bermodel biasa. Ketiganya pun berjalan menghampiri meja kasir. Kotaro berdiri di tengah, Sagiri di sebelah kanannya, sementara OC di sebelah kirinya. Karena tinggi badannya yang pendek, OC harus jinjit untuk bisa melihat bagian atas meja.

Kotaro menyilangkan kedua tangannya di atas meja dan menatap penjaga kasir dengan tersenyum. “Permisi, boleh aku bertanya?” Kotaro memberikan cetakan foto dari gambar jejak dua pasang sepatu yang ditemukan ketiganya tadi kepada kasir itu. “Aku ingin tahu model dari dua sepatu ini dan berapa ukurannya. Bisa kau jelaskan dengan rinci, Satou?”

Penjaga kasir itu melirik sejenak ke arah tanda pengenal di dadanya yang baru saja dilihat oleh Kotaro, lalu melihat fotonya dengan saksama. Dia menatap ke arah Kotaro sambil mengembalikan fotonya kembali. “Kau ingin membelinya atau hanya ingin sekedar bertanya?”

Kotaro mememgang fotonya lagi, kemudian terdiam menatap sejenak Sagiri sambil mengeluarkan dompet miliknya. Dia mengeluarkan dua lembar uang pecahan 10.000 yen dari dompetnya dan meletakkannya tepat di depan Satou. “Aku hanya sekedar bertanya.”

Satou melirik sejenak uang yang diletakkan oleh Kotaro, lalu menatapnya datar. “Aku tidak begitu mengingatnya, maaf. Banyak sekali sepatu yang seperti itu di sini.”

Kotaro meletakkan empat lembar uang lagi di atas dua lembar uang sebelumnya. “Ayolah, aku tahu kau itu pasti punya ingatan yang bagus.”

Satou menyilangkan kedua tangannya di dada. “Aku baru ingat. Dua pasang sepatu itu adalah sepatu boots bertali. Diproduksi sekitar empat bulan yang lalu, karena pada saat itu sedang trend-nya. Tapi, ukurannya aku tidak tahu. Foto dan aslinya bisa saja berbeda.”

Kotaro memberikan dua lembar uang lagi. “Tidak perlu akurat, aku hanya ingin tahu kisarannya saja. Kau pasti bisa mengira-ngiranya, kan?”

Satou menunjuk sepasang sepatu di sebelah kiri. “Yang ini mungkin sekitar 39-41. Kslsu yang ini,”—Satou menunjung sepasang sepatu di sebelah kanan—“ukurannya sekitar 43-44. Kalau 45, bentuknya akan jauh lebih besar lagi dibandingkan itu.” Satou pun mengambil semua lembar uang yang ada di hadapannya dan memasukkannya ke dalam kantong.

OC menarik-narik lengan baju Kotaro. “Kotaro, Kotaro, Kotaro.”

Kotaro menatap OC dan membungkukkan badannya sedikit. “Ada apa, OC?”

OC menunjuk foto dua pasang sepatu yang dipegang oleh Kotaro. “Sepatu yang di sebelah kiri itu punya TGR. Aku tahu karena dia memang punya ukuran kaki yang menggemaskan. Jadi, tanyakan saja pemilik sepati di sebelah kanan.”

Belum puas, Kotaro memasukkan kembali dompetnya dan merentangkan kedua tanganya ke atas meja. Dia menatap Satou dengan tatapan tajamnya. “Begini saja. Aku ingin kau bekerja sama dengan kami. Kau akan mendapatkan uang yang berkali-kali lipat lebih banyak dibandingkan dengan yang kuberikan tadi. Bagaimana?”

Satou merentangkan kedua tangannya ke atas meja dan menatap balik Kotaro dengan tajam juga. “Apa yang harus aku lakukan?”

Kotaro memberikan kembali gambar jejak dua pasang sepatunya kepada Satou. “Cari tahu siapa yang membeli sepatu model ini dalam empat bulan terakhir. Kalau sudah ketemu, kirim padaku rekaman CCTV dan juga catatan pembukuannya. Kau mengerti?”

Satou menganggukkan kepalanya. “Berapa lama waktu yang aku punya? Aku tidak boleh memeriksa CCTV selama jam kerjaku. Nanti malam aku juga sudah ada janji dengan anakku, jadi aku tidak bisa memulainya dari malam ini. Aku baru bisa mulai mencarinya dari besok sore. Bagaimana? Apa tidak masalah?”

“Tidak masalah. Tapi usahakan kau menemukannya sebelum jam delapan. Bagaimana? Aku akan memberimakan sepuluh kali lipat dari yang kau terima tadi.” Kotaro menatap tajam Satou, menunggu jawaban darinya.

Satou tersenyum dan menganggukkan kepalanya sedikit. “Ke mana aku harus mengirim rekaman CCTV dan bukti lainnya mengenai orang yang membeli sepatu itu?” Satou memberikan sebuah kertas kecil dan juga pulpen kepada Kotaro, yang langsung diambilnya.

Kotaro menulis alamat toko barang antik yang menjadi markas rahasia mereka berenam selaku tim khusus ciptaan Tuan Shin, lalu memberikannya kepada Satou. “Lalu, ke nomor rekening mana aku harus mengirimkan uangnya setelah paket itu tiba?”

Satou mengambil kertas lagi, lalu menuliskan nomor rekeningnya dan memberikan kertasnya kepada Kotaro. “Senang berbisnis dengan kalian.”

Kotaro, Sagiri, dan OC serempak menganggukkan kepala mereka dengan tersenyum, lalu keluar dari toko sepatu itu dan masuk ke dalam mobil mereka.

OC yang terlihat bingung, menatap Kotaro untuk mengutarakan kebingungannya. “Aku masih belum mengerti. Kenapa kau malah memberikannya uang? Bukannya menunjukkan lencanamu sebagai polisi saja sudah cukup? Dia pasti akan langsung membantumu.”

Kotaro menyalakan mobilnya dan menatap balik OC lewat cermin di bagian tengah mobil. “Secara kebetulan, dua pasang sepatu itu diciptakan dari satu toko yang sama. Salah satu sepatu dimiliki oleh TGR, Ketua ‘Black Mask’ dan yang satunya lagi diduga dimiliki oleh anggota ‘Black Mask’ juga. Lalu, apakah kau tidak mencurigai toko sepatu itu? Bagaimana kalo toko sepatu itu dimiliki oleh anggota ‘Black Mask’ juga? Dan bagaimana kalau sosok bayangan hitam itu benar-benar salah satu anggota Troublemaker? Bayangkan apa kira-kira yang akan terjadi nanti. Bisa timbul peperangan antara Mr. Y dan ‘Black Mask’.” Setelah mengatakannya, dia pun memacu mobilnya menuju Kantor Pusat Kepolisian Arufabetto.

Sagiri ikut menoleh ke arah OC, guna menambahkan penjelasan Kotaro. “Jadi, itu alasannya kenapa Kotaro dan aku memutuskan untuk menggunakan jalur sogokan. Dengan begitu, kita bertiga hanya dianggap oleh Satou sebagai Yakuza atau pembunuh bayaran yang sedang mencari seseorang. Posisi kita jadi aman dan tidak akan dicurigai olehnya.”

OC akhirnya mengerti kenapa Kotaro menggunakan cara seperti itu, tapi yang dia tidak mengerti kenapa Sagiri bilang kalau dia ikut memutuskan caranya juga. Padahal, mereka berdua sama sekali tak saling bicara di toko sepatu tadi. “Lalu, bagaimana cara Kotaro meminta persetujuanmu menggunakan cara sogokan? Aku tidak melihat kalian saling bicara.” Dia menatap Kotaro dan Sagiri dengan tatapan heran.

“Lewat kedipan mata,” jawab Kotaro dan Sagiri serempak.

OC otomatis mendesah dan menepuk keningnya. “Kalian berdua sebenarnya sangat serasi, tapi tak ada satupun dari kalian berdua yang mau mengakuinya. Dasar manusia ….

***

Jam empat sore di markas Troublemaker. Mereka bertujuh tengah latihan menembak menggunakan pistol dengan kaleng bekas minuman sebagai sasarannya. Semuanya terlihat begitu lancar menembak dan menjatuhkan sasarannya dengan tepat, terkecuali Ame, Tembakannya terus saja melenceng, padahal Taka sudah memberikan arahan padanya. Setelah sasarannya terjatuh semua, sebagai tiga orang yang paling sedikit menjatuhkan sasarannya, Ame beserta Yume dan Kuro memasang kembali sasarannya di atas tumpukan kardus yang mereka tata sedemikian rupa.

Di tengah situasi itu, tiba-tiba saja ada panggilan telepon di ponsel Ogura dan juga Taka. Keduanya mengangkat telepon itu di tempat yang berbeda. Ogura di arena bowling, sementara Taka di luar markas. Membuat Kaguya dan Asuka merasa heran kenapa mereka berdua harus menerima telepon sampai sejauh itu.

Begitu keduanya kembali, Kaguya pun menegur keduanya. “Telepon dari Mr. Y?”

“Bukan,” jawab keduanya bersamaan.

“Oh … maaf sudah salah mengira.” Kaguya tersenyum menatap keduanya.

Begitu Ame, Yume, dan Kuro selesai menata sasarannya lagi, mereka bertujuh pun berniat untuk kembali berdiri dengan posisi sejajar seperti saat menembak tadi. Namun tiba-tiba saja, Ogura menodongkan pistolnya ke kepala Taka dan begitu juga sebaliknya.

Sontak Kaguya, Asuka, dan Yume ikut menodongkan senjatanya ke kepala Ogura, sedangkan Kuro menodongkan senjatanya ke kepala Taka. Sementara Ame hanya diam saja tak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Ogura menarik tuas pada revolvernya dan tersenyum menatap Taka. “Tiga dari anggota tim ini jauh lebih percaya padamu dibandingkan diriku dan hanya satu saja yang lebih percaya padaku. Sedangkan yang satunya tidak percaya pada siapapun. Jadi, kalau Mr. Y bilang di tim ini ada seorang pengkhianat, akulah yang pasti paling dicurigai.”

Taka menatap balik Ogura dengan tajam. “Selain kau dan Ame, kami berlima adalah pembunuh bayaran. Sebagai seorang pembunuh bayaran, kami tidak pernah mengkhianati orang yang telah menggunakan jasa kami. Karena hal itu dapat mencoreng nama baik kami.”

Ogura tertawa kecil, lalu menurunkan pistolnya, yang juga diikuti oleh kelima rekannya. Dia mengeluarkan semua peluru revolvernya, lalu memasukkannya ke dalam kantong jaket dan memasukkan sebuah peluru ke dalam revolvernya lagi.

“Masuk akal. Kalau begitu, sekarang giliranku membuktikan aku bisa dipercaya atau tidak. Dengan cara, Russian Roulette.” Ogura tersenyum lebar menatap ke arah Taka.

Bersambung.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro