Alpha Dua Puluh Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Ini pertanyaan ulangan yang diajukan di hari yang sama, membuat pelipis Bianca seakan ditusuk jarum. Dia punya tebakan seputar apa yang ingin dibahas Jovana. Berjuang untuk menenangkan diri, Bianca menyesap minumannya. Di depannya, Jovana duduk dengan kedua siku bertelekan di meja, menatap Bianca lekat-lekat. Seakan tak ingin melewatkan satu pun gerakan otot di wajah perempuan itu. Mungkin Jovana takut Bianca akan berdusta.

"Kalau kamu pengin kembali sama Atilla, harusnya jangan ke sini," Bianca menarik garis senyum, berusaha menunjukkan bahwa dia tak terganggu dengan pertanyaan Jovana. "Kami cuma teman, nggak ada hubungan romantis apa pun. Atilla orang yang baik, selalu bersikap manis sama perempuan. Dia menemaniku ke rumah Seruni karena alasan semacam itu." Bianca bersandar. "Apa jawabanku membuatmu lega?"

Senyum lebar Jovana merekah. Untuk sesaat, Bianca merasa sangat iri pada perempuan di depannya itu. Jovana memiliki banyak hal yang tak pernah bisa digenggamnya. Hubungan romantis dengan Atilla meski sudah berakhir serta usia cukup muda yang membuatnya pantas menjadi pasangan lelaki itu. Hebat, sekarang aku bahkan menyesali umurku sendiri.

Bianca berusaha keras bernapas normal. Dia tidak pernah menyesal karena belum menemukan pasangan jiwa di usia matangnya. Namun, itu sebelum Bianca mengenal Atilla dan menyadari perasaannya porak-poranda karena kehadiran lelaki itu. Kini, nyaris tidak ada hari yang dilewatkan Bianca sembari berandai-andai, kalau saja usianya lima tahun lebih muda.

"Ya, melegakan," respons Jovana kemudian. "Minimal, satu masalah sudah selesai."

Bianca mengernyit karena tidak mengerti kata-kata perempuan itu. "Masalah apa?"

"Begini, Bi. Thomas bilang, dia pernah bicara sama kamu soal hubunganku dengan Atilla. Intinya, aku patah hati saat kami pisah. Kukira, pulang ke Indonesia bisa membuatku melupakan dia. Tapi, pas kita ketemu di rumah Seruni, aku tahu masih cinta banget sama dia. Aku belum bisa move on, Bi." Kedua tangan Jovana terangkat ke udara, mewakili ketidakberdayaan yang dirasakan perempuan itu. "Aku sampai putus dari pacarku karena merasa sudah nggak adil. Aku bersama orang lain, tapi cuma Atilla yang ada di kepalaku."

"Kurasa, seharusnya sejak lama kamu datang ke Hotel Candramawa dan ketemu Atilla," usul Bianca asal-asalan.

Jovana mengangguk. "Tapi, aku nggak punya nyali. Tahu sebabnya? Thomas bilang, kamu dan Atilla saling tertarik atau semacamnya. Jangan tanya dari mana dia punya kesimpulan itu, aku nggak tahu." Bahu perempuan itu terkedik. "Karena itu, aku sengaja ketemu kamu. Karena aku pengin tahu apa yang terjadi di antara kalian. Kalau memang kamu dan Atilla pacaran, aku nggak akan pernah mengganggu. Tapi, kalau nggak, yah ... itu berbeda. Aku akan berusaha untuk mendapatkan apa yang kuinginkan."

Kalimat terakhir itu mirip ucapan Renny, menusuk hati Bianca dan membuat jari-jarinya gemetar. "Ya, nggak ada salahnya berjuang untuk sesuatu yang memang diinginkan."

"Aku setuju. Itulah yang sedang kulakukan." Jovana meraih ponselnya, disibukkan oleh benda itu selama setengah menit. "Ada satu masalah lagi, Bi," ucap perempuan itu mengejutkan.

"Kalau tentang Atilla, sungguh aku nggak mau membahasnya, Jo," cetus Bianca cepat. "Aku nggak mau ikut campur urusan kalian. Aku pun berteman sama Atilla cuma kebetulan. Karena urusan kerjaan."

"Bukan soal Atilla," sergah Jovana dengan senyum menawan. "Setelah pisah dari Thomas, apa kamu sudah menemukan pasangan yang cocok, Bi?"

"Kenapa? Kamu mau mencomblangiku?" Bianca membalut kalimat sinisnya dengan nada gurau. "Terima kasih Jo, aku bahagia kayak sekarang. Belum ketemu pasangan, bukan masalah besar." Omong besar yang tidak terlalu benar.

"Aku selalu merasa kalau kamu yang paling cocok untuk Thomas. Seruni ... aku nggak terlalu suka sama dia."

"Jangan ngomong begitu, Jo! Kalau Seruni dengar, dia nggak akan suka. Lagian, kalian bakalan jadi saudara ipar dalam hitungan minggu."

"Itulah masalahnya, Bi! Tapi, bukan aku yang akan menjelaskan soal itu." Jovana mengangguk dengan mata tertuju ke satu titik di belakang Bianca. Refleks, perempuan itu menoleh, nyaris membeku saat melihat Thomas mendekat dengan senyum terkulum.

"Jo, kamu nggak bilang kalau Thomas juga akan ke sini," protes Bianca pada Jovana.

"Aku ke sini bareng Thomas, tapi dia sengaja menunggu di mobil." Jovana mengangkat ponselnya. "Barusan aku kirim WhatsApp, bilang bahwa kamu dan Atilla nggak ada hubungan apa-apa. Jadi, bukan cuma aku yang pengin tahu status kalian."

Bianca kesulitan mencerna kalimat Jovana. "Apa hubungannya ...."

"Thomas mau ngomong sesuatu sama kamu, Bi," Jovana meraih tasnya, mencangklongkan benda itu di bahu kirinya. "Kutinggal dulu, ya, Bi. Terima kasih karena nggak keberatan kubajak."

Bianca berusaha mencegah Jovana meninggalkannya, tapi perempuan itu cuma melambai dengan senyum lebar. Dalam hitungan detik, Thomas sudah menggantikan sang adik, duduk di depan Bianca. Perempuan itu mulai merasa ada yang salah. Tak seharusnya dia dan Thomas bicara berdua, kan?

"Seruni mana? Apa ada masalah sama rencana resepsi kalian?"

"Ini nggak ada hubungannya sama Seruni. Aku ada perlu sama kamu." Thomas meletakkan minuman yang dibawanya di atas meja. "Aku sebenarnya nggak setuju adikku pengin balik sama Atilla. Aku nggak mau dia terluka dan patah hati lagi. Tapi, urusan cinta, aku nggak bisa ikut campur terlalu jauh, kan?"

Bianca menegakkan tubuh. Tulang-tulangnya terasa membeku. Bianca mengecek arlojinya dengan mencolok. "Apa keperluanmu? Aku harus segera pulang."

"Seharusnya, kita nggak ngobrol di sini. Pindah restoran saja yuk, Bi! Sekalian makan malam." Thomas bicara dengan nada membujuk yang dikenali Bianca dengan mudah. Bulu kuduk perempuan itu meremang.

"Maaf, aku nggak tertarik makan malam dengan calon suami orang." Bianca tahu suaranya terdengar ketus. Namun, dia tak peduli. "Aku harus pulang sekarang," Bianca berdiri. Entah sejak kapan, Thomas sudah bangkit dari tempat duduknya, mengadang perempuan itu.

"Lima menit saja, tolonglah!"

"Aku nggak mau Seruni marah dan menuduhku menggodamu atau apalah. Kita nggak punya keperluan apa pun untuk dibahas berdua," tolak Bianca.

Mereka sempat adu argumen nyaris semenit, membuat beberapa pasang mata menatap penuh perhatian. Bianca tak bisa meninggalkan gerai itu karena Thomas menutup jalan. Dia pun terpaksa duduk lagi, tak nyaman dengan pandangan penasaran dari pengunjung lain.

"Oke, lima menit. Nggak lebih!" Bianca tak punya pilihan selain mengalah.

Thomas menepati janjinya, bicara tanpa banyak basa-basi. "Aku nggak akan menikahi Seruni. Belakangan kami makin sering cekcok. Hal-hal sepele bisa jadi masalah besar. Mungkin Seruni belum siap untuk menikah. Jadi, memang lebih bagus dibatalkan."

Bianca menahan napas. Ini sama sekali bukan urusannya. Meski dia agak penasaran. Apakah Seruni yang membatalkan pernikahan atau memang karena Thomas dan pasangannya terlibat banyak pertengkaran. "Aku ikut bersimpati," katanya pendek.

"Aku nggak butuh simpatimu," Thomas tersenyum. "Aku juga nggak sedih atau patah hati. Aku justru tersadar kalau aku memang nggak benar-benar pengin menikahi Seruni. Karena, jujur saja, sejak kita ketemu lagi, aku malah lebih sering memikirkanmu. Padahal tadinya aku pengin kamu yang menangani resepsi itu karena merasa kamu lebih tahu yang pas untukku. Nyatanya, ada efek lain yang nggak pernah kupertimbangkan." Thomas menatap Bianca dengan intens. "Lalu, Seruni memilih jalan sendiri. Aku cukup kaget karena boleh dibilang nggak sedih. Aku bisa menerima keputusannya."

"Itu nggak pantas untuk diucapkan, Thom," kritik Bianca. "Tadi yang kutangkap, kalian batal menikah karena kesepakatan berdua. Tapi, omonganmu barusan malah beda. Jadi, sebenarnya Seruni yang membatalkan pernikahan atau gimana?"

Wajah Thomas memerah saat menyadari dustanya terungkap. "Sudahlah, nggak usah dibahas siapa yang membatalkan." Lelaki itu mengibaskan tangan kanannya. "Yang pasti, aku sudah diskusi dengan Papa dan Mama. Meski mereka nggak terlalu suka, terutama Mama, tapi akhirnya menyerahkan keputusan di tanganku. Aku pengin tetap nikah sesuai jadwal. Semua yang sudah diatur, akan tetap dilaksanakan."

"Kamu nggak bisa nikah tanpa persetujuan Seruni," balas Bianca masuk akal.

"Aku nggak ngomongin Seruni. Aku bicara tentang kita. Aku pengin nikah sama kamu, Bi. Kamu nggak perlu mikirin apa pun karena semua sudah disiapkan. Oke, aku tahu kamu mau bilang apa. Dulu, aku yang memilih untuk mundur dari pertunangan kita. Tapi, setelah berlalu lama, ketemu kamu lagi, aku tahu kalau perasaanku belum benar-benar hilang."

Bianca pasti akan terkena serangan jantung andai organnya itu bermasalah. "Kamu ngomong apa, sih? Aku nggak tertarik!"

"Aku serius, Bi! Ini impian kita selama ini, kan? Lagian, sayang banget kalau resepsi yang sudah direncanakan dengan matang, malah batal. Aku sudah mengeluarkan biaya yang nggak sedikit. Selain itu, semua kerabat dan teman-teman sudah tahu aku mau nikah. Apa—"

"Kamu kira aku bakalan merasa beruntung karena harus menggantikan Seruni yang tampaknya nggak sudi menikahimu? Terima kasih sudah mempertimbangkanku. Tapi, maaf, aku sama sekali nggak tertarik. Sadar nggak kalau kamu baru saja menghinaku?" Bianca berdiri dengan tergesa karena tak ingin Thomas kembali memblokir jalannya. "Sore, Thomas."

Perempuan itu berjalan dengan langkah panjang secepat yang dia bisa. Perutnya bergemuruh oleh rasa mual yang luar biasa. Bianca baru saja mendorong pintu saat seseorang mencekal tangan kirinya. Thomas membuatnya urung melangkah dan terpaksa berbalik untuk menghadap ke arah lelaki itu.

"Aku serius, Bi! Aku ingin kita menikah, melanjutkan mimpi lama yang pernah ...."

"Kamu bilang apa?" Suara melengking seseorang membuat Bianca dan Thomas menoleh berbarengan. Jantung Bianca seakan diremas kencang saat melihat si pemilik suara.

"Atilla ...." gumamnya dengan suara lirih. Perempuan itu mengerjap hingga tiga kali demi menegaskan pandangan.

"Aku ke sini karena mau membereskan kekacauan yang terjadi belakangan. Tapi, aku malah melihatmu dan dia." Atilla menunjuk ke arah tangan Bianca yang masih dicekal Thomas. "Kamu mau nikah sama laki-laki brengsek kayak gini, Bi?"


Lagu : Stronger (Kelly Clarkson)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro