Alpha Dua Puluh Tujuh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jantung Bianca nyaris meledak karena kata-kata yang diucapkan Atilla dengan begitu santai. Hari ini dia sudah mendapat kejutan besar karena diperkenalkan dengan keluarga lelaki itu. Perhatian yang didapat Bianca selama Atilla meninggalkannya untuk mengambil camilan, membuat darahnya nyaris membeku. Kini, lelaki itu malah mengajaknya pacaran.

Bianca tentu saja tahu kalau Atilla tidak serius. Dia cukup mengenal lelaki itu. Karenanya, Bianca merespons dengan satu kalimat. "Ogah, terlalu banyak saingan."

"Jangan bilang kalau kamu kehilangan nyali untuk bersaing."

"Aku kompetitif, kok! Tapi, bersaing sama perempuan lain demi satu laki-laki, kok, lebih mirip penghinaan."

Atilla tergelak. "Penghinaan, ya?"

"Aku jadi nggak enak sama Jovana tadi," cetus Bianca tiba-tiba. Dia kembali teringat pada mantan Atilla itu. Setelah mereka meninggalkan meja keluarga Rasheed, Bianca dan Atilla berkeliling untuk mencari makanan. Di dekat gubuk yang menyediakan makanan khas asal Yogyakarta, Jovana menyapa. Tatapan tajamnya ditujukan pada Bianca sebelum senyum menawannya dihadiahkan kepada Atilla.

"Kenapa harus nggak enak? Udah ah, berhenti memikirkan orang lain! Nggak penting banget, Bi."

"Dia pasti heran karena kita datang ke resepsi berdua."

Bianca ingat betul bagaimana Jovana jelas-jelas bersikap menggoda. Mengundang Atilla untuk datang ke rumahnya, hingga mengajak lelaki itu untuk makan malam berdua minggu depan. Saat itu, Bianca cuma menjadi penonton dengan otot-otot terasa kaku. Betapa ingin dia menyeret Atilla agar segera menjauh dari Jovana, terutama saat adik kesayangan Thomas itu maju dan nyaris mencium pipi lelaki itu. Untungnya Atilla menolak dengan cara mundur hingga dua langkah.

"Terserah dia heran atau apa. Bukan urusan kita," balas Atilla kalem. Mobil lelaki itu melamban hingga akhirnya berhenti di depan rumah Meiske. Bianca seketika diingatkan situasi yang akan dihadapinya nanti. Atilla mematikan mesin mobil setelah menurunkan kaca jendela. "Jadi, apa pendapatmu tentang keluargaku?"

"Jujur, sampai sekarang pun aku masih kaget, nggak sangka kamu kenalin sama mereka. Aku ... hmmm ... nggak mau mereka salah paham."

Bianca kembali teringat pada Sally yang mengajukan banyak pertanyaan. Kesannya, perempuan itu curiga jika Bianca akan menjahati Atilla. Pertanyaan yang diajukan mulai dari usia perkenalannya dengan Atilla, pekerjaan Bianca, hingga status hubungannya dengan adik perempuan itu. Bianca tak suka diinterogasi, tapi ia berusaha menjawab sesopan mungkin.

Yang patut disyukurinya, sikap Benny dan Widuri yang jauh lebih santai. Ketika Bianca menjawab pertanyaan Sally bahwa dia cuma teman Atilla, Benny malah tertawa. Kesan yang ditangkap Bianca, lelaki paruh baya itu tak percaya dengan kejujurannya.

"Itu semua nggak direncanakan," suara Atilla membuyarkan monolog di kepala Bianca. "Kukira Mama dan Papa bakalan datang lebih malam. Makanya, pas melihat mereka di sana, sekalian saja kuperkenalkan dengan kamu. Nggak ada salahnya, kan?"

"Papa dan mamamu orang yang menyenangkan. Ramah juga."

"Hahaha, jangan mudah tertipu sama mereka, terutama Papa. Benny Rasheed itu agak-agak diktator, loh!"

Bianca melepas tali keledarnya. "Kakakmu nggak suka sama aku. Kayaknya dia curiga aku akan bikin hidupmu mengenaskan."

"Oh, Sally memang gitu. Tukang interogasi. Tapi, itu cuma karena dia mencemaskan saudara-saudaranya. Nanti, deh, kapan-kapan aku cerita soal Leopold. Supaya kamu maklum kenapa Sally mirip interogator. Satu lagi, Sally sama kayak aku, nggak tertarik bergabung di hotel. Dia bekerja di perusahaan properti. Tapi, Mama dan Papa belum putus asa membujuknya untuk pindah. Di depan Sally, Papa lebih lembek. Beda banget sikapnya sama aku. Pilih kasih."

Bianca akhirnya tertawa. Perempuan itu meraih clutch purse yang sejak tadi berada di pangkuannya. "Aku pulang dulu, ya? Maaf, aku nggak menawarimu untuk ikut turun karena ini sudah terlalu malam."

"Nggak masalah," balas Atilla santai. "Jadi, gimana tawaranku tadi? Kita pacaran?"

Bianca mengibaskan tangan kanannya sebelum membuka pintu mobil. "Dalam mimpi!" Perempuan itu mendengar tawa Atilla dari arah punggungnya. "Hati-hati menyetirnya, Tilla! Terima kasih untuk semuanya."

Ketika memasuki rumah dengan kunci cadangan yang dimilikinya, Bianca lega karena tampaknya tidak ada yang masih terjaga. Buru-buru dia menuju paviliun sebelum membersihkan riasan dan berganti baju.

Sebelum memejamkan mata, Bianca membuat satu tekad bulat. Melupakan ajakan untuk pacaran yang dilontarkan Atilla sambil lalu. Berhadapan dengan pria flamboyan seperti Atilla, Bianca tidak boleh menyeriusi semua kata-katanya. Namun, kenapa kalimat itu begitu menggoda hingga nyaris membuat bahagia?

Esok paginya, setelah Rudy keluar rumah untuk joging, Meiske sengaja mendatangi paviliun. Bianca yang sudah menyiapkan diri, sama sekali tidak merasa kaget.

"Kurasa, meski begitu menggoda untuk punya pasangan kayak Atilla, tetap saja ...." Meiske menghela napas, memutus kata-katanya begitu saja. Perempuan itu bersandar di pintu yang tertutup. Bianca sedang merapikan lemarinya yang sudah mulai acak-acakan.

"Kamu nggak percaya sama aku? Aku sudah bilang entah berapa kali, kami cuma teman. Aku nggak akan patah hati dan hidup merana. Aku baik-baik saja, Meis. Kuhargai semua kecemasanmu, tapi itu sama sekali nggak perlu."

Meiske menatap adiknya lekat-lekat, seakan ingin mengetahui kejujuran Bianca. "Dia mungkin terlalu menakjubkan untuk ditolak. Tapi, kamu harus realistis, Bi! Laki-laki kayak dia, mungkin belum tertarik untuk pacaran serius."

Bianca mulai mual dengan kalimat senada yang selalu didengungkan banyak orang di telinganya. Meski untuk tujuan yang berbeda. Perempuan itu akhirnya berhenti menumpuk pakaiannya, menghadap ke arah Meiske.

"Tolong berhenti mengkritik Atilla karena kamu bahkan nggak tahu apa-apa tentang dia, Meis. Aku pun sama. Untuk masalah pribadi, kami nggak pernah berbagi gosip. Jadi," perempuan itu mengangkat bahu, "aku nggak tahu apakah Atilla memang tipe laki-laki yang nggak bisa pegang komitmen karena lebih suka bertualang. Tapi, yang jelas, dia orang yang punya tanggung jawab. Nggak suka menyakiti hati orang tanpa sebab."

Meiske menggeleng pelan. "Kurasa, kamu butuh ...."

"Aku cuma butuh sedikit ruang untuk sesuatu yang namanya privasi. Kurasa, umurku sudah lebih dari cukup untuk dikasih kepercayaan, kan? Aku bisa jaga diri, Meis." Suara Bianca bernada final. Meiske menantang mata adiknya selama lebih dari lima detik, sebelum akhirnya mengerjap. Menyerah.

"Aku nggak meragukan kemampuanmu untuk jaga diri. Sebagai satu-satunya saudaramu, aku cuma merasa wajib untuk mengingatkan. Oke, aku nggak akan rewel lagi."

Bianca belum pernah merasa selega itu hanya karena seseorang meninggalkan kamarnya. Tanpa semua kecemasan Meiske pun, perasaan Bianca sudah demikian kusut karena laki-laki itu.

Atilla, sudah berapa banyak hati yang bindam karenamu?

***

Bianca menenggelamkan diri pada setumpuk kesibukan agar bisa menyamarkan bayangan Atilla dari kepalanya. Apalagi, lelaki itu bisa dibilang menghilang setelah mengantarnya pulang. Hanya ada beberapa WhatsApp berjarak dua hari usai pertemuan terakhir mereka. Atilla mengabarkan jika dia sedang terbelit banyak pekerjaan, tanpa menjelaskan lebih detail. Perempuan itu mulai bertanya-tanya, mungkinkah dia sudah membuat kesalahan saat resepsi Halida?

Di saat yang sama, seorang klien bernama Rossie yang akan menikah empat minggu lagi, dilanda kepanikan hingga membuat hidup Bianca tidak tenang. Rossie meneleponnya nyaris tengah malam selama berhari-hari, mengganggu jadwal istirahat Bianca.

Andai bisa, dia pasti sudah meminta Rossie untuk berhenti menghubungi ponselnya. Namun, Bianca tak tega karena sang klien selalu menangis dan mengaku tak siap menikah. Rossie bilang, dia takut calon suaminya akan berhenti mencintainya setelah mereka menikah. Masih menurut perempuan itu, banyak anggota keluarganya yang bercerai.

Bianca tidak mengerti ketakutan semacam itu. Dia bahkan mulai menganggap dirinya bebal karena tidak sehisteris Rossie saat Thomas memutuskan pertunangan mereka. Meski begitu, dia berusaha keras menghibur kliennya itu dengan sabar.

Jumat itu, Bianca berencana untuk pergi ke bioskop setelah usai jam kantor. Dia juga membawa baju ganti dan berniat untuk mandi di Just Married. Salah satu resolusi sederhananya untuk menonton di bioskop sendirian, belum benar-benar terlaksana. Kini, dia ingin mencari waktu untuk diri sendiri, sekaligus memikirkan banyak hal. Tampaknya, sudah saatnya Bianca mengambil beberapa keputusan penting.

Suasana di rumah kakaknya kian tak nyaman. Bianca tahu, ada bara yang coba mereka padamkan tapi gagal. Meiske tampak menjaga jarak dan bicara seirit mungkin. Bianca sedih dengan sikap kakaknya tapi dia tak bisa berbuat apa-apa. Semua yang terjadi selama seminggu terakhir ini membuatnya makin serius mempertimbangkan kembali niat untuk pindah.

Selain itu, masalah Atilla juga mulai mengusiknya. Bianca tahu dia harus menata hati, mengambil langkah tegas untuk menjauh dari lelaki itu. Lihat saja apa yang dilakukan Atilla seminggu terakhir! Menghilang tanpa kejelasan. Akan tetapi, tentu saja Bianca tak bisa menyalahkan lelaki itu. Bukankah mereka memang tak punya relasi spesial?

Sayang, niat untuk menghabiskan waktu sendiri tampaknya tak berjalan mulus. Ada saja interupsi yang membuat Bianca harus menahan diri agar tidak meledak oleh kemarahan. Jovana meneleponnya setelah pukul tiga, mengoceh tentang Bianca yang dianggap menutupi hubungannya dengan Atilla.


Lagu : Love You Anyway (Boyzone)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro