Alpha Tiga Puluh

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Rasa malu itu rasanya tak tertahankan. Bianca tak tahu apakah dia bisa melihat wajah Atilla tanpa merasa jengah luar biasa lagi.

"Sudah, nggak usah sok-sokan malu atau apa. Aku cuma mau membantumu."

"Itu bukan jenis 'bantuan' yang bisa kuterima tanpa merasa mau mati," balas Bianca berlebihan. Remasan Atilla di tangan kanannya membuat Bianca tersadar jika belakangan ini lelaki itu cukup sering menyentuh kulitnya. Sentuhan yang kemungkinan besar tidak dimaksudkan untuk apa pun. Namun, membuat Bianca panas dingin.

"Nggak perlu dramatis gitu, deh! Cuma aku yang tahu rahasia kotormu," goda Atilla tak berperasaan. Bianca menyikut lelaki itu hingga mendengar suara mengaduh.

"Renny juga tahu. Malah sebenarnya itu idenya. Dia yang menulis hampir semua daftar sinting itu." Perempuan itu menggigit bibir, makin menyesali hari saat dia memberi izin asistennya menginvasi buku itu.

"Hmmm, sudah kuduga," ucap Atilla mengejutkan. "Karena aku merasa kayak bukan kamu, Bi."

"Ya, aku tahu. Karena aku perempuan yang membosankan," imbuh Bianca defensif.

"Hei, bukan begitu! Kamu kok mendadak sensi, sih? Lagi PMS, ya?"

Pertanyaan itu membuat Bianca geli, senyumnya tak bisa ditahan. "Ada berapa banyak perempuan yang kamu tuduh lagi PMS waktu lagi ngobrol berdua kayak gini?"

Bahu Atilla terkedik. "Cuma kamu satu-satunya. Aku nggak berani sekurang ajar itu di depan orang lain."

"Cewek-cewek yang akrab sama kamu dan nggak keberatan cipika-cipiki se ...."

"Aku sudah pensiun cipika-cipiki, loh! Apa kamu nggak lihat pas resepsi kemarin itu?"

Bianca mengulum senyum diam-diam. Dia sengaja agak menunduk agar Atilla tidak melihat ekspresinya. "Iya, aku lihat."

"Nah, balik lagi ke tema soal 'perempuan membosankan' itu, aku cuma mau bilang satu hal. Kamu nggak membosankan. Jauh banget dari kategori itu. Jadi, jangan pernah berpikir kalau kamu kayak begitu, Bi." Atilla berhenti bicara saat pramugari mengingatkan Bianca untuk menegakkan sandarannya.

"Aku cuma merasa, kamu nggak cocok punya resolusi seheboh itu. Kalau misalnya nih, punya rumah di tepi pantai dengan selusin anak, itu jauh lebih pas."

Benak Bianca langsung memvisualisasikan kata-kata Atilla. "Kurasa, punya selusin anak itu terlalu berlebihan, Tilla. Meski kamu menganggapku sehebat itu, aku nggak mau."

"Aku mau tidur dulu. Capek banget," ujar Atilla setelah pesawat lepas landas. "Kalau sudah sampai Denpasar, jangan lupa bangunkan aku," imbuhnya.

Bianca mengangguk. Tak sampai sepuluh menit kemudian, lelaki itu terlelap. Suara napasnya terdengar teratur. Bianca berpaling ke kanan, menatap wajah Atilla dari samping.

Lelaki ini memang memiliki daya tarik fisik yang tak terbantahkan. Mungkin, bagi Bianca pribadi, hingga taraf mempunyai efek sihir. Jika tidak, mustahil dia sekarang duduk di pesawat yang akan membawanya ke Bali tanpa persiapan apa pun. Bahkan sekadar pakaian ganti. Bianca bahkan melupakan baju yang tadi dibawanya untuk menonton sepulang kerja. Atilla tak perlu bersusah payah membujuk. Jika diibaratkan hewan buruan, Bianca dengan sukarela memasuki perangkap yang terpasang.

Dia bahkan tak keberatan berdusta pada Meiske. Beralasan bahwa ada pekerjaan yang mengharuskannya pergi ke Bandung. Meski ini bukan pertama kalinya Bianca mengurus klien dari luar kota, Meiske terdengar kaget. Bukan hal yang aneh jika mengingat bahwa semua begitu mendadak.

Otak Bianca tidak bekerja sebagaimana mestinya. Mengapa dia tidak merasa gelisah sama sekali meski harus mendustai Meiske? Bianca justru bahagia karena akan menghabiskan empat hari ke depan hanya bersama Atilla. Memonopoli lelaki itu untuk dirinya sendiri.

Memutuskan untuk tidak mengkhawatirkan apa pun, Bianca berniat untuk tidur juga. Namun, tiba-tiba bahu kanannya terasa berat. Penyebabnya, kepala Atilla yang bersandar di sana. Perasaan hangat seketika memenuhi dada Bianca, membuatnya kewalahan. Perempuan itu berusaha keras untuk menarik napas dengan normal selama beberapa saat. Atilla selalu memberi efek kejutan untuknya. Bianca tahu, tidak aman bagi hatinya untuk terlalu sering berada di dekat lelaki itu. Pulang dari Bali, aku harus kembali waras.

Dia membatalkan niat untuk memejamkan mata, lebih suka menikmati momen saat Atilla terlelap di bahunya.

"Astaga! Sejak kapan aku tertidur di bahumu?" tanya Atilla dengan suara serak saat pesawat nyaris mendarat. Lelaki itu menegakkan sandaran kursinya. "Maaf Bi, kamu pasti pegal. Kenapa aku nggak dibangunkan, sih?"

"Nggak apa-apa," balas Bianca dengan suara tak jelas.

Mereka akhirnya tiba di hotel hampir pukul tiga. Seharusnya, Bianca mengantuk dan kelelahan. Namun, tidak. Energi yang tak dikenal asalnya, bergelora di pembuluh darahnya.

Atilla memilih sebuah hotel di daerah Nusa Dua yang nyaman dan mewah. Bianca sudah berhenti mengajukan protes atau keberatan karena dia tahu takkan ada gunanya. Atilla menunjukkan kamar Bianca, mengejutkan perempuan itu lagi karena sejumlah pakaian sudah memenuhi ranjang.

"Atilla, salah kamar, nih! Yang ini sudah ada orangnya." Bianca buru-buru menutup pintu. Namun, Atilla menahan gerakannya.

"Ini kamarmu, Bi."

"Tapi, ada banyak baju di ranjang. Artinya ...."

Lelaki itu menukas, "Artinya, itu bajumu. Aku pesan sama temanku yang punya butik di sini. Jangan takut, bajunya sudah bersih. Bisa langsung dipakai. Sengaja ditaruh di ranjang supaya kamu bisa lihat dan coba, kalau nggak terlalu capek." Atilla mendorong bahu Bianca hingga perempuan itu terpaksa maju melewati ambang pintu. "Kalau warna, model, atau ukurannya nggak pas, kasih tahu aku, ya? Besok bisa diganti. Nah, selamat berisitirahat, Bi. Mikir yang rumit-rumitnya tahun depan saja."

Bianca berdiri mematung saat Atilla menutup pintu di belakangnya. Dia masih belum pulih dari kejutan penutup yang diberikan lelaki itu saat suara ketukan kembali terdengar. Dia mencari tahu siapa yang datang lewat lubang intip. "Ada apa lagi?" tanya Bianca seraya membentangkan pintu, berlagak tak acuh.

"Tadi lupa mau ngasih baju tidur."

"Hah?" Wajah Bianca serta-merta terasa panas. Namun, seketika berubah malu saat Atilla menyerahkan sebuah kaus dan celana pendek.

"Jangan curiga gitu!" Atilla tersenyum lebar, seakan bisa menebak isi pikiran Bianca yang tak tahu malu. "Aku cuma bawa kaus dan celana pendek, dua-duanya punyaku. Sudah dicuci bersih, bebas kuman. Tadinya mau beli lingerie, tapi kayaknya kamu nggak bakalan mau. Yang paling aman, ya, ini."

Atilla sudah berbalik sebelum Bianca sempat merespons. Lelaki itu sempat melihat dari balik bahu kirinya sambil menunjuk ke satu arah. "Kamarku tepat di sebelah kanan kalau kamu butuh sesuatu."

Entah berapa lama Bianca hanya berdiri sembari memandangi seisi kamar yang luas dengan tempat tidur nyaman itu. Hingga akhirnya dia mandi karena sekujur tubuhnya terasa lengket. Meragu selama beberapa detik, akhirnya perempuan itu mengenakan kaus dan celana pendek berpinggang karet yang bisa diserut milik Atilla. Keduanya tentu saja kebesaran untuknya. Tapi, Bianca tidak bisa membayangkan hal yang lebih intim di luar sentuhan fisik selain mengenakan pakaian pria yang dicintainya.

Bianca memilih untuk merebahkan tubuh di ranjang ketimbang memeriksa pakaian yang dibelikan Atilla. Semuanya dipindahkan perempuan itu ke atas sofa kulit berwarna hitam yang ditata berhadapan dengan tempat tidur. Kulit wajah Bianca kembali dihajar rasa panas saat melihat beberapa pakaian dalam cantik dan sebuah bikini. Astaga, bagaimana bisa Atilla memikirkan sampai sedetail itu?



Lagu : In Case You Didn't Know (Brett Young)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro