Alpha Tiga Puluh Enam

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Hari itu, Bianca tak sabar melihat jarum jam yang seakan bergerak begitu lamban. Entah berapa kali dia mengecek arloji atau menatap jam dinding dengan ekspresi tak sabar yang begitu kentara.

"Mbak, hari ini ada janji penting, ya?" Renny bersuara. "Dari tadi kamu bolak-balik ngelihat jam, kayaknya pengin buru-buru pulang," godanya.

Bianca menahan agar suara kesiapnya tidak terlontar jelas. Dia sudah menunjukkan perasaannya dengan transparan di depan orang lain.

"Mbak, hei!" Renny melambaikan tangan di depan wajah Bianca dengan sengaja. "Kok malah melamun, sih? Sekarang aku jadi benar-benar curiga, nih! Ada kencan, ya?" tebaknya tanpa basa-basi.

"Nggak ada kencan, ngawur kamu!" Bianca buru-buru menukas. "Aku cuma sudah nggak sabar mau bersantai. Minggu ini kerjaanku banyak banget."

Argumen itu tampaknya bisa diterima Renny tanpa kesulitan. "Oh, kirain Mbak punya janji. Ayolah, bersenang-senang! Jangan kerja melulu. Cari pacar, gih! Kan sudah cukup umur," canda Renny.

Kalimat itu membuat gelitik pertanyaan baru di benak Bianca. Bersikap seolah bukan hal penting, dia berujar dengan sambil lalu. "Kamu dan Atilla, gimana? Sudah ada perkembangan?" Hanya Tuhan yang tahu betapa jantung Bianca nyaris meledak saat dia menunggu jawaban Renny.

"Yah ... masih jalan di tempat. Atilla terlalu sibuk, aku nggak enak kalau keseringan datang. Takutnya malah mengganggu kerjaan dia. Jadi, terpaksa bersabar dulu."

Suara Renny dipenuhi tekad yang membuat Bianca iri. Kenapa dia tidak bisa bersikap seperti itu? Memasabodohkan segalanya dan hanya fokus berjuang untuk mendapatkan lelaki yang dicintainya? Namun, Bianca tersadar nyaris di saat yang sama. Dirinya adalah tipe perempuan yang memiliki banyak sekali pertimbangan dan kecemasan, terutama setelah kegagalan hubungannya dengan Thomas. Sampai kapan pun dia tak bisa sesantai Renny.

Hari yang dijalaninya dengan tidak sabar itu berakhir pahit saat Atilla menelepon pukul tiga sore. Lelaki itu mengabarkan bahwa dia terpaksa tertahan di hotel lebih lama dari yang seharusnya. Atilla harus menghadiri rapat penting dengan pihak biro iklan. Meski lelaki itu menawari untuk mengganti makan malam mereka esok hari, Bianca telanjur tak bergairah.

"Besok nggak bisa, Tilla. Aku ada acara bareng teman-teman kuliah," dustanya.

"Teman kuliah? Rasanya baru kali ini aku mendengar kalau kamu masih berhubungan sama teman kuliahmu, Bi. Kukira, selama ini kamu itu makhluk anti sosial," gurau Atilla. "Aku temani, ya?"

Permintaan itu sangat menggiurkan tapi Bianca terpaksa menolak jika tak mau kebohongannya terbongkar. "Ngapain kamu ikut-ikutan? Ini acara spesial kaum cewek."

"Jadi, kapan kamu punya waktu luang? Minggu ada acara juga?"

"He-eh." Bianca memutar otak mati-matian. "Minggu ... aku mau jalan sama Meiske dan Wanda. Sudah lama kami bertiga nggak keluar bareng."

Nama Meiske seakan menjadi kartu mati yang membuat Atilla mengurungkan niat apa pun yang dimilikinya untuk bertemu Bianca. "Baiklah kalau begitu. Nanti kita cari waktu yang enak untuk ketemuan."

Janji itu ditelan Bianca dengan rasa tak nyaman. Batalnya pertemuan mereka hari ini membuatnya kembali diingatkan pada niat awal Bianca, menjauh dari Atilla. Dia harus konsisten mewujudkan rencana tersebut meski tidak mudah.

Kejutan besar menunggu Bianca saat dia hendak pulang. Adalah Renny yang memanggil namanya dengan kedipan mata penuh arti, seraya menunjuk seorang lelaki yang berdiri di sebelahnya. "Mbak, ada tamu, nih!"

Siapa pun tamu yang mungkin datang ke Just Married, Helmy adalah orang terakhir yang terpikirkan oleh Bianca. Ekspresinya pasti menunjukkan kekagetan dengan begitu jelas hingga Helmy merasa perlu untuk berkomentar. "Aku memang sengaja mampir karena mau ketemu sama kamu."

"Oh," respons Bianca sambil mempersilakan Helmy duduk.

Sebelum berlalu, Renny sempat menggodanya dengan bisikan, "Ternyata dia yang bikin Mbak kayak duduk di atas paku seharian ini. Pilihan bagus."

Bianca ingin meralat pendapat Renny tapi dia tak punya kesempatan. Perempuan itu akhirnya duduk di seberang tamunya. "Apa aku akan mendengar kabar baik?" tanya Bianca.

"Kabar baik?" Kening Helmy berkerut.

"Kamu mau nikah?"

Lelaki itu tergelak kencang mendengar perkataan Bianca. "Wah, kamu mikirnya terlalu jauh, Bi. Belumlah, aku masih lebih nyaman sendiri. Aku datang karena pengin mengajakmu makan malam. Aku baru sadar waktu kita ketemu tempo hari. Kamu sudah bekerja keras untuk membantu menyiapkan pernikahanku. Tapi, aku belum sungguh-sungguh berterima kasih. Jadi, kurasa ini saat yang pas. Siapa tahu setelah ini kita bisa benar-benar berteman."

Bianca bukanlah perempuan hijau yang tidak mengerti maksud sesungguhnya dari kata-kata Helmy. Dia belum sempat merespons saat Helmy bicara lagi.

"Apa ada yang marah kalau kamu jalan bareng aku? Maaf banget kalau aku terkesan nggak sopan. Aku cuma pengin tahu apa ada yang perlu dicemaskan. Jangan sampai malah membuat masalah baru nantinya."

"Nggak ada yang akan marah," balas Bianca tanpa menguraikan lebih detail.

Helmy mendadak dipenuhi semangat. "Jadi, kamu bisa makan malam bareng aku?"

"Bisa." Sayangnya, setelah melisankan persetujuan, kepala Bianca malah berdenyut kencang. Namun, dia mati-matian melawan rasa tidak nyaman yang muncul. Memang sudah saatnya untuk membuka hati dan melupakan Atilla, kan? Lagi pula, tidak ada yang salah dengan makan malam bersama kenalan. Bianca penasaran, apa yang akan terjadi di masa depan antara dirinya dan Helmy?

***

Atilla mulai merasakan kehadiran Renny yang cukup sering di Hotel Candramawa, mengusiknya. Dia bisa merasakan bagaimana perempuan itu menghujaninya dengan perhatian yang sungguh tidak perlu. Renny menelepon hanya untuk mengingatkan agar Atilla tidak sampai telat makan, misalnya. Padahal, hubungan mereka tidak sedekat itu.

Lelaki itu berusaha menyembunyikan perasaan terganggunya dengan rapi. Ketika akhirnya punya kesempatan bertemu Bianca, dia sempat menyinggung masalah Renny. Yang membuat Atilla kesal, Bianca menanggapi dengan sikap tak peduli. Perempuan itu bahkan sempat berujar bahwa Atilla dan Renny adalah pasangan yang cocok.

"Kalian sudah kenal lama, ada kesamaan lingkar pergaulan. Renny juga perempuan yang baik, nggak pernah berbuat aneh-aneh. Selain itu, dia cakep dan modis. Apalagi yang kurang? Saranku, cobalah menghabiskan waktu lebih banyak sama dia."

Kedua mata Atilla nyaris melompat ke luar karena kata-kata Bianca itu. "Kamu barusan nyadar ngomong apa? Aku nggak tertarik sama Renny, tahu! Kalau sebaliknya, mana mungkin malah curhat sama kamu?" Atilla mendesah kesal. "Kesannya, kamu mau jadi makcomblang. Lupa, ya, kalau aku sudah punya pacar?"

Bianca terkesima. "Kamu sudah punya pacar?"

"Iya. Kamu. Memangnya siapa lagi?" Atilla geleng-geleng kepala. "Aku memang malang. Pacarku menderita amnesia."

Bianca tertawa tapi di saat bersamaan justru tampak muram. "Kamu memang paling jago kalau urusan ngomong sembarangan." Bianca mengaduk minumannya dengan gerakan pelan. "Tapi, aku serius loh, soal Renny. Kalian pasangan yang pas."

Atilla menelan kekesalannya karena melihat Bianca berkali-kali melamun. Seakan ada yang sedang dipikirkan perempuan itu hingga konsentrasinya terpecah. Lelaki itu akhirnya memutuskan untuk menikmati waktunya bersama Bianca tanpa memusingkan persoalan lain.

Kesabaran Atilla menghadapi Renny akhirnya tiba di puncaknya. Yaitu saat perempuan itu datang ke Hotel Candramawa untuk kesekian kalinya. Namun, kali ini Renny mendatangi ruangan lelaki itu dan tanpa malu-malu mengajak Atilla untuk ... berkencan!

"Ren, aku minta maaf. Kita nggak mungkin berkencan karena aku sudah punya seseorang," aku Atilla terang-terangan. Dia merasa bersalah saat melihat Renny memucat dalam satu kerjapan. Walau di sisi lain, Atilla tahu dia tak memiliki stok kalimat manis yang bisa membuat perasaan Renny menjadi lebih baik.

"Kamu sudah punya pacar?" tanya Renny tak percaya. "Aku ... belum pernah melihatmu sama cewek lain."

"Kalau dibilang pacar, belum sampai tahap itu. Tapi, aku memang sedang mendekati seseorang meski dia mengira aku cuma bercanda. Aku butuh waktu meyakinkan Bianca kalau ...."

"Mbak Bianca? Kamu lagi pedekate sama dia?" Renny terpana dengan bibir terbuka.

"Kenapa? Apa memang mengagetkan kalau aku pengin bersama Bianca? Masalahnya di mana? Cuma karena Bianca lebih tua?" Atilla menyuarakan ketersinggungannya.

Tampaknya, Renny memulihkan diri dengan cepat. Perempuan itu buru-buru menjawab, "Bukan itu maksudku! Nggak ada yang salah kalau kamu dan Mbak Bianca pacaran. Cuma ...." perempuan itu menghela napas.

"Apa?"

Renny memajukan tubuh, kedua tangannya terlipat di atas meja. Mimiknya begitu serius saat dia bicara lagi. "Sebelum ini, aku pernah tanya ke Mbak Bianca sejauh mana hubungan kalian. Dia bilang, kamu dan dia cuma berteman. Aku sampai mengulang pertanyaan itu beberapa kali supaya lebih jelas. Jawaban Mbak Bianca selalu sama. Dia mempersilakanku untuk mendekatimu. Makanya, aku berani ...."

"Serius?" Atilla membelalang. "Kamu nggak bohong?"

"Nggaklah, mana berani aku bohong," bantah Renny. "Kamu bisa cek ke orangnya langsung."

Atilla marah sekali. Karena itu, dia buru-buru menelepon Bianca. Sayang, ponsel perempuan itu tidak aktif. Puluhan kali Atilla mengulangi upayanya untuk mengontak Bianca, semuanya berakhir dengan kegagalan.

Lelaki itu sungguh tidak mengerti, di mana letak kesalahannya? Dia sudah berkali-kali menyinggung hubungan mereka yang tak cuma sekadar teman belaka. Atilla pun sudah pernah mengajak Bianca untuk pacaran. Meski perempuan itu merespons dengan santai dan mengisyaratkan jika dia menganggap Atilla cuma bergurau. Kendati begitu, tak pernah sekalipun lelaki itu mengira jika Bianca memang tak menganggap serius semua kata-katanya.

Esoknya, Atilla bertekad untuk mendatangi Just Married sesegera mungkin untuk bicara dengan Bianca. Kali ini, dia akan membuat perempuan itu menyadari bahwa Atilla tidak sedang bergurau tentang perasaannya. Sudah terlalu banyak waktu yang terbuang. Atilla harus menangani masalah mereka dengan serius.

Atilla baru memiliki waktu luang setelah pukul empat sore. Ketika dia tiba di Just Married, seisi kantor sedang bersiap untuk pulang. Senyum cerah Renny langsung layu saat Atilla bilang ingin bertemu dengan Bianca. Begitu melihat orang yang dicarinya, Atilla langsung menarik tangan perempuan itu menuju pintu keluar.

"Tilla ...." Bianca mengajukan pertanyaan yang tidak didengarkan Atilla dengan baik. Tangan kanannya yang bebas mendorong pintu. Mereka nyaris melewati seorang pria matang yang hendak memasuki kantor Just Married.

"Bianca, kamu sudah mau pulang? Apa aku telat? Ini belum jam lima, kan?" Lelaki itu memeriksa arlojinya. Kaki Atilla mendadak berhenti. Tatapannya tertuju pada pria yang berdiri di depannya.

"Kamu punya janji sama Bianca?" tanyanya dengan nada tajam.

"Ya, kami sedang berkencan." Lelaki itu mengerutkan alis saat menyadari Atilla memegang tangan Bianca. "Kamu siapa?"


Lagu : Back To December (Taylor Swift)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro