Chapter Four [C]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kecemasan masih mengganggu sahabat-sahabat Adil di luar. Lintang sejak tadi mondar-mandir di depan pintu. Sementara Fahad dan Ayesha termangu di kursi panjang yang menghadap pintu ruangan—keduanya lebih mampu mengendalikan gelisah.

Derik pintu terdengar. Ruang pasien terbuka akhirnya.

Lintang berhenti berkeliling. Dokter Zafar muncul, di belakang beriringan dua dokter dan perawat yang bertugas.

"Adil bagaimana, Dok?" Lintang langsung menodong.

Fahad dan Ayesha barengan mendekati dokter.

"Sebelumnya, kalian harus tenang," Dokter Zafar memulai percakapannya. "Seperti yang saya jelaskan sebelumnya kecelakaan dan benturan keras yang menimpa pasien bisa saja akan mengakibatkan beberapa dampak. Setelah melakukan pemeriksaan, kami menyimpulkan kalau Adil mengalami amnesia retrograde."

"Amnesia?" Lintang kaget. Benar apa yang dia takutkan sejak Adil tidak mengenalnya di dalam sungguh-sungguh terjadi.

"Adil tidak mengingat semua kejadian lima tahun terakhir. Bahkan dia mengira ini masih tahun 2014," jelas Dokter. "Kami tim dokter masih akan melakukan pemeriksaan neurologis dan psikologis lanjutan untuk mendapatkan informasi akurat dari amnesia yang dialami Adil. Kami juga akan melakukan pencitraan kerusakan otak paling baru pada pasien. Kemungkinan dengan magnetic resonance imaging. Paling cepat besok."

"Seserius itu Dok?" Lintang bertanya lagi.

"Memang itu harus dilakukan, agar kami bisa valid mengambil informasi," Dokter Zafar memandang kerabat pasien berganti-ganti. "Untuk sementara jangan menanyakan sesuatu yang mungkin bisa membuat Adil down atau kebingungan. Dia mungkin saja bisa labil dan rentan pasca siuman."

"Baik, Dok," sahut Fahad.

Usai memberikan keterangan, Dokter Zafar bersama rekan-rekannya meninggalkan mereka. Lintang merasa pijakannya bokoh. Kepalanya seperti ingin pecah. Kenyataan ini terlalu miris untuk dihadapi. Perlahan Lintang membelokkan diri. Berjalan terhuyung-huyung. Meninggalkan Ayesha dan Fahad di depan pintu ruang pasien.

Ayesha dan Fahad saling memandang.

Perlahan air mata Lintang menetes. Hal yang dia tahan sejak tadi akhirnya keluar juga. Dia sesunggukan. Tak sudi kesedihannya diketahui sahabat-sahabatnya, Lintang berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Toh sama saja, bertahan di situ tak akan bisa mengembalikan ingatan Adil.

---

Sebelum Lintang hilang ditelan belokan, Fahad meminta Ayesha mengejarnya. Dalam situasi seperti ini Lintang butuh orang lain. Lagi pula biasanya pembicaraan antar wanita pesannya lebih 'sampai' dan 'kena' daripada obrolan lawan jenis. Minimal Ayesha bisa menenangkan Lintang dan membujuknya kembali.

Ayesha menuruti, lalu mengejar.

Lintang sudah berada di serambi rumah sakit. Dia mengubah rute langkah, tidak menjangkau teras pintu utama, melainkan melintas ke arah selatan rumah sakit. Dia berhenti di taman tepat berhadapan dengan jalan raya. Wanita itu duduk di salah satu tempat. Sinar senja di ujung barat langit segaris lurus dengan tubuhnya. Lintang menunduk dan menghapus sisa-sisa air matanya. Wanita itu menyerah membayangkan Adil di dalam.

Perlahan Ayesha yang sejak tadi membuntuti, menghampiri Lintang. Mereka bersisian duduk. Lintang sempat menoleh sebentar, dan kembali meluruskan pandangan.

"Are you ok?" Ayesha membuka obrolan dengan pertanyaan umum.

Lintang menyeka air yang menggenangi ujung hidungnya. Dia yakin Ayesha pasti tahu jawabannya. Beberapa detik kemudian, Lintang membuka suara, "Aku sulit menerima ini. Adil lupa ingatan. Bahkan lima tahun. Kenyataan ini sulit dipercaya," suara Lintang agak parau. "Apa yang kutakutkan benar-benar terjadi."

"Hei, kami juga takut," balas Ayesha. "Tapi aku dan Fahad bisa apa? Tidak ada!"

Benar!

"Kamu harus tahu kenyataan kadang tak sesuai harapan," Ayesha mencoba membuka pikiran Lintang. "Kita tidak punya pilihan selain menerima takdir. Meski sulit sekalipun."

"...."

"Jika inilah takdir Adil. Tuhan, lebih tahu hikmah di balik ini."

"Tapi ini bukan takdir. Ini—"

Ayesha menyela, "Jangan bilang ini kesalahanmu lagi. Aku bosan mendengarnya Lintang. Sangat-sangat bosan!" Ayesha membenarkan ujung hijabnya yang tertiup angin. "Kau hanya perlu berdamai dengan dirimu sendiri. Menerima kenyataan ini. Itulah satu-satunya cara yang bisa kau lakukan saat ini. Selebihnya tidak ada."

Lintang menyampirkan sebagian rambutnya ke belakang telinga.

"Sekarang fokus utama kita adalah kesembuhan Adil, bukan yang lain."

Lintang berpikir sesaat. Banyak hal melintas di kepalanya; takdir, kesalahan, amnesia, keadaan Adil. Barangkali benar kata Ayesha, kesembuhan Adil lebih utama. Lintang menekuri penglihatan ke ujung jalan.

Sekian menit sama-sama tanpa suara, Ayesha mengintai wajah sahabatnya. Sepertinya Lintang sudah bisa diajak kompromi. "Ayo, kita ke dalam. Fahad sedang menunggu."

Lintang menoleh. Matanya bermain-main sebentar. Setelah melihat anggukan Ayesha yang memberi kode 'ayo' Lintang lantas berdiri. Ayesha tersenyum, dan ikut bangkit.

---

Sementara itu di ruang pasien, Adil terdiam. Bengong sejak petugas medis pergi. Perban yang melingkari kepalanya menunjukkan jelas bahwa dia memang kecelakaan. Lalu, lima tahun ini apa yang terjadi? Apa selama rentang waktu tersebut, dia bersama timnya membawa pulang satu piala Pakistan National Championship? Tiba-tiba Adil rindu pelatihnya, kangen stadion bola, rindu kawan-kawannya di Karachi FC.

Adil menyeka wajahnya. Dia heran begitu menyentuh bulu-bulu di sekitar pipi. Dia menurunkan tangannya hingga dagu. Sama, rasa kasar dari bulu-bulu terasa di telapak tangan. Aku berewokan?

---

Fahad semringah, akhirnya Ayesha bisa membawa Lintang kembali ke lorong rumah sakit. Pria itu memberikan pengertian yang sama kepada Lintang, bahwa prioritas utama saat ini adalah kondisi Adil. Tak guna meratapi diri, toh ingatan Adil bukan 'barang pinjaman' yang kembali setelah diminta dengan tangisan.

"Kumohon, di dalam kalian berdua jangan bicara apa pun," seru Fahad kepada Ayesha dan Lintang. "Aku khawatir Adil akan bingung," sambung Fahad. Alasan pria itu jelas benar. Adil baru saja siuman, berusaha mengingat memori yang hilang itu mustahil apalagi dokter sudah mewanti-wanti.

"Kami mengerti," kor Lintang dan Ayesha.

Fahad menguak pintu pasien. Ayesha dan Lintang beriringan di belakang.

Adil membetulkan badannya dengan posisi setengah duduk setelah mendengar derik pintu. Dia dapat melihat Fahad dan dua wanita tadi nongol. Adil teliti memperhatikan Fahad yang semakin dekat ke ujung ranjangnya. Dia baru menyadari sahabat masa kecilnya ini tampak lebih tua dari terakhir kali dia lihat sebelum pergi ke Quetta. Rambutnya bahkan lebih klimis tidak berantakan seperti biasanya.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?" tanya Fahad, pria itu duduk di ranjang.

"Entahlah, seperti mimpi," ucap Adil datar. "Dokter menjelaskan sesuatu yang sulit kuterima. Aku tidak tahu apa yang terjadi selama lima tahun ke belakang. Aku merasa seperti tidur panjang dan ketika bangun sudah berada di tahun 2019."

"Aku mengerti, kau pasti bingung."

Jujur Fahad cukup lega. Sejauh ini Adil lumayan tegar.

"Lalu bagaimana hasil semifinal Pakistan Nastional Championship 2014?" tanya Adil, dia penasaran.

"Tim kalian kalah 1-2 dari Balochistan Rangers!"

Kepala Adil menunduk. Kecewa. Perjuangannya bersama tim Karachi muda ternyata gagal.

"Tapi kau mencetak satu-satunya gol dari timmu. Itu tidak buruk," Fahad membesarkan hati Adil.

"Tetap sama saja, kami kalah."

Ayesha dan Lintang menyimak pembicaraan dua pria ini.

Adil lantas membuka selimut, matanya sempat berkeliling, mencari sesuatu. Pandangannya terhenti begitu melihat botol air mineral di meja yang sejajar dengan ranjang. Botol air tersebut dibawa Lintang dari rumah. "Aku haus," ujar Adil berancang-ancang turun dari ranjang.

"Biar aku yang ambil," tawar Fahad.

"Aku bisa sendiri." Adil hendak menjangkau meja. Pria itu berhenti sebentar di langkah pertama, ada yang aneh pada kakinya. Dua langkah berikutnya, perasaan itu tetap sama. Kaki kanannya seolah berlawanan dengan kaki kirinya. Adil mengerutkan dahi. Dia menatap Fahad, aneh.

Mendadak Fahad engah, kaki Adil!

Ayesha dan Lintang menunjukkan ekspresi serupa.

Adil batal menjangkau meja. Dia malah bergerak ke arah pintu. Benar, dua kaki yang diajak jalan tak sinergis. Kaki kanannya sedikit rewel bergerak.

Lintang dan Ayesha saling tatap.

Adil mengangkat kaki celana bagian kanan. Pria tersebut seketika tercengang! Dia mendapati bekas operasi di tungkai bagian bawah. Lumayan besar. "Fahad, aku pincang?" tanya Adil kaget.

Fahad tak sanggup bicara.

Adil mengentak-entakkan kakinya. "Benar aku pincang!" suara Adil melemah. Pria tersebut mundur dengan gerakan seok. Tubuhnya menyandar di dinding. Napasnya langsung tak beraturan. Pria jangkung tersebut mendongakkan kepala ke atas sembari mengatupkan bola mata. Keadaan kaki yang timpang benar-benar pukulan berat. Butiran air menetes dari ujung matanya. "Katakan padaku, sejak kapan aku pincang? Apa karena kecelakaan ini?" Adil membuka mata, tatapannya lurus menghunjam Fahad. "Jangan bisu, tolong jawab!"

"Kau—" Fahad teringat anjuran dokter. Haruskah dia bicara? Fahad melirik Ayesha dan Lintang. Mau tak mau dia harus membocorkan ini meski menyakiti Adil. "Kau mengalami insiden empat tahun lalu, saat final Pakistan National Championship 2015. Kakimu luka parah. Jalan satu-satu ya kau harus menjalani operasi."

"Oh...," Adil mendesah. Empat tahun lalu? "Berarti aku sudah lama gantung sepatu?"

Fahad hanya mengangguk.

Ruang pasien lambat-lambat hening. Bahkan suara deru pendingin ruangan bisa ditangkap indra pendengaran. Lintang dan Ayesha saling menautkan tangan, saling menguatkan. Adil kembali ke ranjang. Pria itu merebah, membentangkan selimut dan tidur membelakangi Fahad. Adil memegang ujung selimut kuat-kuat. Fahad hanya dapat menatap iba sahabatnya.

Setengah jam tak ada seorang pun yang memulai obrolan. Hari kian mendekati malam. Dengan bijak Fahad meminta Lintang dan Ayesha pulang. Demi memantau kondisi Adil, Fahad memilih bertahan di rumah sakit. Jaga-jaga, jika Adil membutuhkan sesuatu. Lagi pula setelah sadar Adil mungkin akan banyak mengaju tanya.

---

Pukul sebelas malam setelah suster memeriksa, barulah Adil membuka suara. Saat itu Fahad masih berada di sisi ranjang.

"Ceritakan final Pakistan National Championship 2015 padaku," pinta Adil. Seingatnya sejak bergabung dengan Karachi FC mereka belum pernah menembus babak final.

Fahad tersenyum. "Aku pikir kau akan mendiamkanku sepanjang malam," Fahad sedikit bergurau. "Kau tahu, waktu itu banyak pihak tidak percaya Karachi FC bisa masuk final. Apalagi setelah mengalahkan juara bertahan, Multan Academy di semifinal."

"Multan Academy," nada suara Adil bergairah. Dia tahu tim ini bertabur pemain bertalenta.

"Sayang, di final kalian kalah dari Islamabad FC. Berlaga di kandang sendiri membuat Islamabad FC sangat ofensif dan bermain lepas. Mereka menang, 3-2."

"Lalu berapa gol yang kuciptakan?"

"Tidak satu pun!" Fahad menggeleng. "Dua gol Karachi FC dicetak pemain cadangan yang menggantikanmu, setelah insiden nahas yang melibatkan kau dan pemain belakang tim lawan." Fahad lancar mengisahkan salah satu final terbaik yang pernah ada dalam sejarah Pakistan National Championship. Karachi FC yang awalnya dikira hanya sebagai 'tim penghibur' akhirnya bisa menjejak partai puncak setelah tahun sebelumnya terhenti di babak semifinal. Waktu itu, banyak orang memprediksi Karachi FC akan membawa gelar untuk pertama kalinya, sayang harapan itu sirna.

"Islamabad FC bukan lawan yang mudah," kenang Adil. Karena dingin, pria itu meminta Fahad menaikkan suhu ruangan. Adil kemudian mengubah alur obrolan, "Lalu bagaimana dengan ayahku sekarang? Beliau masih di penjara?"

"Masih. Akhir tahun masa penahanannya berakhir," Fahad menjedakan kalimat. "Tapi jangan pikirkan ayahmu dulu. Kondisimu lebih penting."

Adil memegang kepalanya yang mendadak nyeri.

"Malam makin larut, kau pasti kantuk," Fahad ingin mengakhiri percakapan. "Istirahatlah besok kau masih harus menjalani pemeriksaan lanjutan."

"Ocehanmu mirip mendiang ibuku." Adil teringat nasihat-nasihat ibunya.

Fahad tergelak mendengarnya.

Malam itu Fahad terlelap di kursi tanpa selimut. Sementara Adil selama satu jam usai perbincangan mereka berakhir, pria itu sulit memejamkan mata. Dia memonitor jengkal demi jengkal tubuhnya. Badannya kini lebih berisi, kulitnya tidak lagi cokelat, bulu-bulu ramai tumbuh di tangan dan kakinya. Pun sama, begitu mengamati Fahad yang sudah mendengkur di kursi. Sahabatnya itu sekarang kelihatan perlente. Adil mengedikkan bahu. Jujur, ada rasa aneh melandanya. Baginya perubahan ini nyaris mustahil, sebab hanya dalam sekejap, Adil mendapati tubuhnya lebih padat dan melihat Fahad lebih tua. Padahal alam bawah sadarnya masih yakin, dia adalah pemuda 19 tahun. Argh..., aku seperti terjebak dalam tubuh orang dewasa.

....bersambung ke Chapter Four [D]

Author Note:
*Chapter Four [C] sudah complete.
*Chapter Four [C] merupakan Chapter Four yang paling bikin capek. Part-nya banyak soalnya. Trus post-nya tiap hari. Nyaris kehabisan ide dan perbendaharaan kata di kepala aku. Untung ada kamus.

Dear silent readers, please vomment!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro