Chapter Three [B]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Kabar baik akhirnya datang dari pihak fakultas yang secara mudah mengabulkan pengajuan cuti dan izin yang diajukan Ayesha. Berarti wanita itu bisa lega sekarang. Adil akan istirahat selama beberapa bulan, sementara Lintang bisa menenangkan diri selama seminggu. Hari mulai sore, ketika Ayesha keluar dari fakultas. Dia mengecek kembali jadwal mata kuliah besok di papan pengumuman. Ternyata dua dosen utama membatalkan perkuliahan. Ini jadi kesempatan baik bagi Ayesha, setidaknya dia punya waktu ke rumah sakit dan mengurus apartemen.

Ayesha menuju taman depan fakultas. Dia beristirahat sebentar di sebuah kursi panjang, sembari mengeluarkan smartphone miliknya. Kabar baik dari fakultas harus segera dia sampaikan kepada Lintang. Wanita itu mencari nomor Lintang dan melakukan panggilan. Panggilan pertama tersambung, tapi tidak diangkat. Ayesha melakukan panggilan ke dua, tersambung, tapi tetap sama, Lintang tidak menjawab. Ayesha menelepon kembali, tersambung, sayang hasilnya nihil.

Dengan kening yang mengerut, Ayesha menatap ponsel. Tidak biasanya Lintang mengabaikan dirinya. Cepat-cepat wanita itu mencari nomor kontak Fahad, dia takut kalau Lintang melanggar larangannya.

"Halo Fahad," sapa Ayesha begitu telepon tersambung. "Kamu masih di rumah sakit?"

"Ya, aku masih di rumah sakit," jawab Fahad di ujung telepon. "Apa kau mau kemari?"

"Tidak," balas Ayesha. "Aku hanya ingin tanya. Apa Lintang ada di situ?" nada suara Ayesha terdengar tidak sabar.

"Lintang? Dia tidak ke sini. Ada apa memangnya?"

"Oh, tidak apa-apa," sahut Ayesha pelan, lantas mengakhiri telepon tanpa salam.

Di rumah sakit, Fahad menggerakkan pundaknya tidak mengerti. Mungkin Ayesha hanya memastikan keberadaan Lintang.

Setelah percakapan yang tidak lebih dari lima menit, Ayesha merasa lumayan lapang. Minimal Lintang tidak mengunjungi rumah sakit. Tapi kenapa tiga panggilannya benar-benar tidak direspons. Mungkinkah Lintang benar-benar sibuk? Atau dia sedang tidur? Ayesha hanya mampu menebak-nebak. Wanita itu kemudian bangkit dari kursi. Dia harus kembali ke apartemen.

***

Waktu menunjukkan pukul lima petang. Sebentar lagi matahari akan tenggelam. Lintang masih berada di Gulshan Town. Dia belum berniat pulang. Wanita itu melarikan diri ke Aziz Bhatti Park. Tempat inilah lokasi pertama yang dikenalkan Adil setelah mereka mengunjungi Paman Najaf di penjara, dua setengah tahun lalu. Aziz Bhatti Park merupakan sebuah taman rakyat yang dikembangkan sejak tahun 1972 oleh Karachi Development Authority, kemudian diserahkan kepada Karachi Metropolitan Corporation pada tahun 1992. Luas wilayah taman ini sekitar 37 hektar, namun yang digunakan hanya 8 hektar. Sepanjang mata memandang maka hamparan rumput hijau menjadi daya tarik—seperti pemandangan lapangan golf namun lebih mini. Pohon kelapa dan pinang tumbuh subur di sepanjang track jalan yang sudah diberi ubin semen. Danau alami yang berada di Aziz Bhatti Park juga sering menjadi spot terbaik warga Karachi menghabiskan waktu santai mereka di akhir pekan.

Berlindung di bawah selter taman, Lintang memutuskan duduk di sebuah bangku. Wanita itu sengaja meletakkan ponsel lima senti dari pahanya. Memang sejak tadi ponselnya terus berdering. Dan nama yang tertera di layar ponsel tetap dari orang yang sama, Ayesha. Lintang sudah bulat tidak akan menjawab telepon. Bisa jadi, Ayesha akan mencecarnya dengan seribu pertanyaan. Lagi pula selera debatnya telah hilang.

Driiit... driiit... ponsel Lintang berbunyi lagi. Itu panggilan ke sembilan. Lintang hanya menatap ponselnya sekali, lalu membuang pandang ke depan. Getar ponselnya mati sendiri. Lintang menatap gedung-gedung sekitar. Mendadak memori membawanya kembali mengingat-ingat tempat ini.

Flashback begin...
Usai mengunjungi Paman Najaf di penjara, Adil membawa Lintang ke Aziz Bhatti Park. Jaraknya tidak jauh dari Central Jail Karachi. Mereka sempat membeli chapati—roti tidak beragi yang dibuat menggunakan tepung gandum, sekilas mirip roti cane—untuk mengisi perut. Mereka melewati pintu utama, dan mengelilingi taman. Sepanjang jalan Lintang memutar-mutar kepala, mengamati isi taman. Warna hijau taman yang dominan membangkitkan rasa takjub dalam dirinya.

Mereka berhenti di sebuah selter dan memilih duduk.

"Aku merasa senang berada di sini," puji Lintang setelah puas berkeliling. "Kenapa tidak sejak dulu kau mengajakku ke Gulshan Town."

"Hahaha, kau ini!" Adil terkekeh. "Kau tahu, taman ini didedikasikan kepada Mayor Aziz Bhatti yang berasal dari Resimen Punjab. Beliau adalah tentara Pakistan yang turut melawan serangan India selama perang Indo-Pakistan tahun 1965."

"O...," Lintang mengangguk-angguk. Dia lalu mengunyah chapati.

Mereka sama-sama membuang pandang lurus ke depan. Sementara angin meniupkan hawanya dua kali lebih banyak, sehingga bunyinya nyaring di pendengaran.

"Aku berharap suatu saat bisa datang ke sini dengan wanita yang kucintai," beber Adil kemudian.

Apa? Orang yang dicintai? Mendadak Lintang berhenti mengunyah. Dia menatap Adil, saksama.

"Tapi ternyata kau orang pertama yang kuajak kemari," sambung Adil sembari mencubit-cubit ujung chapati.
Flasback end!

Ingatan Lintang segera buyar. Tetapi panggilan telepon dari Ayesha masih saja mengganggu ponselnya. Lintang menekuri diri sebentar. Bayangan Paman Najaf di penjara tadi merusak isi kepala. Dia merasa menjadi orang jahat, telah membuat Paman Najaf sedih dan kalut. Sudah pasti, setelah mendengar berita Adil, Paman Najaf akan terganggu. Bisa saja pria tua itu menjadi kurang makan, murung bahkan mungkin akan stres. Sebesar apa pun daya yang dikeluarkan Paman Najaf, hal itu tidak akan membuat beliau dapat bertemu Adil. Bahkan berlutut sekalipun di depan sipir penjara.

Mendadak Lintang merasa menyesal telah datang ke penjara dan menceritakan keadaan Adil. Wanita itu memegang akar rambutnya dengan posisi kepala setengah menunduk. Pelan-pelan dingin menyergapnya. Diam-diam air jatuh perlahan dari sudut-sudut matanya. Lintang lantas menutup wajah dan menangis. Menangis sejadi-jadinya. Bahkan bahunya berguncang-guncang. Adil, sekali lagi maafkan aku. Aku telah membuat air mata ayahmu jatuh hari ini!

***

.....bersambung ke Chapter Three [C]

Author Note:
*Lanjutan 1 part Chapter Three [B] aku bikin bagiannya sendiri dalam Chapter Three [C], biar tidak membingungkan pembaca.

Thanks

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro