Cerita 3

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rumah ini benar-benar menipu!

Dari luar terlihat seperti rumah biasa. Bergaya koppel dengan dominasi warna putih dan oranye tua, rumah ini memunculkan sensasi kehangatan. Dinding lengkungnya yang khas bergaya Edwardian dengan jendela-jendela klasik benar-benar menampilkan ilusi rumah tinggal yang nyaman.

Nyatanya, begitu Daniel melangkahkan kaki di koridor dia langsung disambut oleh beraneka lukisan yang terbingkai rapi dalam berbagai tipe pigora. Daniel serasa diseret menuju lorong seni yang sempit namun kaya akan talenta. Penampakan koridor rumah ini sangat berbeda dengan fasad bangunan yang sama sekali tak ada mirip-miripnya dengan galeri seni.

Langkahnya terhenti di salah satu lukisan. Mata tajamnya menyipit memperhatikan lukisan dengan seksama. Ini sebuah gambaran pemandangan yang sangat eksotis. Jiwanya bagai dibawa ke kesejukan alam dengan deburan air terjun yang nampak nyata, kolam jernih dengan bebatuan besar dan dikelilingi tanaman pakis liar serta bunga-bunga beraneka warna yang asing di matanya. Sementara gerumbulan pepohonan yang rapat mengilustrasikan hutan nan indah di tepi air terjun.

Sayang Daniel tak bisa meraba lukisan itu. Hasil karya penuh estetika di depannya dibingkai oleh kayu hitam dan dilapisi kaca tebal. Seolah membentengi diri dari sentuhan-sentuhan yang tak diinginkan. Namun, Daniel tahu nilai sebuah seni memang tidak untuk dijamah, namun untuk dinikmati.

"Kamu suka?" Nat tiba-tiba berdiri di samping Daniel.

Daniel menelengkan kepala. Mata hijaunya masih mengamati obyek di depannya, "Lukisan ini mengajakku untuk berlibur."

"Oh ya?" Nat ikut memelototi lukisan di hadapannya.

"Kenapa?"

"Aku sangat percaya bahwa potongan kertas mampu membuat jiwa seseorang tersentuh. Dan sudah terbukti padamu," Nat bersedekap, "Sepertinya aku tak akan menjual lukisan ini."

"Potongan kertas?" Daniel kebingungan, "Menjualnya?"

"Oh, aku punya toko souvenir kecil di bagian depan rumah. Kamu lihat ruangan yang gelap itu? Itu adalah tokoku. Well, lukisan ini salah satu benda yang kujual dan sejujurnya aku cukup senang menjadikannya koleksi pribadiku daripada memajangnya di etalase."

"Kamu pemilik toko souvenir?" Daniel ternganga kaget.

"Hanya toko kecil tapi sangat bisa kuandalkan untuk bertahan hidup," Nat tertawa kecil, "Ngomong-ngomong apakah kamu percaya bahwa lukisan ini adalah sebuah montase?"

Daniel ternganga. Spontan memajukan tubuhnya mengamati lebih jelas obyek indah di depannya. Terlapisi kaca tebal, Daniel tak bisa memastikan akurasi pernyataan Nat. Tapi sedikit kelopek di tengah obyek lukisan mulai meyakinkan Daniel. Dia tercengang saat menyadari bahwa kelopek itu adalah bagian dari sepotong logo dari kaleng....

"Sarden?" Daniel bertanya tak percaya.

Nat menganggukkan kepala, "Aku sangat senang menebak-nebak dari bekas apa saja tiap bagian yang menyusun lukisan ini."

"Kamu membuatnya sendiri?" Daniel menunjuk lukisan - ralat montase - di dinding.

"Oh, tidak. Tokoku sering mendapat titipan barang-barang dari beberapa seniman. Montase ini hasil karya seorang mahasiswa seni di kampusku."

Daniel nyaris melupakan latar belakang akademis gadis ini. Sebuah kesadaran melintas di benaknya. Gadis ini adalah mahasiswi seni. Itu sedikit menjelaskan alasan keberadaan toko souvenir di salah satu bagian rumahnya. Daniel menjadi penasaran melihat hasil karya Nat yang sesungguhnya. Apakah gadis itu juga melukis? Atau dia mengembangkan bakatnya di bidang seni yang lain? Patung mungkin, atau bahkan musik?

Rasa penasaran Daniel terpaksa harus dipendam karena Nat sudah menarik tangannya. Daniel termangu memandang tangan besarnya yang digenggam oleh tangan mungil Nat. Pikirannya kembali kosong. Entah bagaimana caranya seolah tiap sentuhan Nat memiliki pengaruh luar biasa besar padanya. Seperti medan magnet yang memiliki daya tarik-menarik kuat, seperti itulah efek Nat pada hati Daniel. Lelaki itu terus memandang genggaman tangan Nat hingga tak menyadari di mana dirinya sekarang.

"Duduklah," Nat menunjuk kursi kayu tinggi.

Daniel mendongak. Dia masih belum rela melepaskan tangan Nat. Matanya memandang kursi yang berhadapan langsung dengan konter-konter dapur. Barulah dia sadar di mana dirinya berada sekarang.

Dapur yang  sangat cantik. Daniel berkomentar dalam hati saat melihat ornamen khas wanita menghiasi nyaris seluruh sudut ruangan berukuran empat kali empat meter ini. Tak ada panci-panci atau wajan berbahan baja anti karat yang tergantung rapi. Bahkan nyaris tak ada peralatan memasak di dapur ini yang terlihat kasat mata, kecuali teko besar bergaya kuno yang tergeletak di atas kompor. Piring-piring keramik dan cangkir-cangkir porselen tertata rapi di salah satu sudut meja dapur, tepat berada di sebelah kulkas klasik bergaya tahun 80-an. Dahi Daniel berkerut melihat si kulkas, sangsi apakah barang elektronik itu masih berfungsi dengan baik.

"Aku tak punya banyak bahan makanan," Nat mengumumkan.

Daniel menoleh. Apa baru saja Nat memberitahunya tentang persediaan bahan makanan di rumahnya? Daniel hampir kelepasan tertawa. Ya Tuhan, gadis ini sangat lucu. Jika dia tak punya makanan untuk disajikan, lalu kenapa dia menawarinya makan malam?

"Tapi aku bisa membuat omelete untuk kita. Kuharap itu cukup mengenyangkan," Nat menutup pengumumannya.

Omelete untuk makan malam masih lebih baik daripada tidak makan sama sekali. Daniel duduk di kursi dapur dan mulai menonton pertunjukan menghibur dari sang gadis pencuri hatinya.

Terbukti Nat memang penguasa tempat ini. Gerakannya lincah dan gesit saat menyiapkan makan malam. Seolah dia sudah terbiasa dengan aktivitas memasak. Hal yang membuat Daniel sedikit terkejut mengingat referensinya tentang wanita yang hobi memasak di dapur sangatlah sedikit. Kolega wanitanya di kantor nyaris tak pernah menginjakkan kaki di dapur - mereka bahkan pemuja setia makanan di restoran atau gerai. Beberapa wanita yang pernah dekat dengannya jelas lebih menguasai komposisi cat kuku untuk sesi manicure mereka ketimbang jenis bumbu dapur, bahkan Daniel meragukan mereka hafal jenis bumbu dapur.

Diamatinya tangan halus Nat yang tengah mengambil keju dan sosis dari kulkas - sekarang Daniel yakin bahwa kulkas itu masih berfungsi dengan baik, mengeluarkan mangkok dan wajan dari  konter di bawah kompor - Daniel akhirnya mengetahui ke mana seluruh perabotan dapur menghilang - dan mulai memasak.

Pandangan Daniel membelai tangan ramping Nat yang kini sibuk mengiris sosis dan memarut keju, membayangkan bagaimana jika tangan yang ramping itu menyentuh setiap bagian tubuhnya. Daniel bergetar membayangkan imajinasi liar yang menari-nari di benaknya. Bibirnya tak sadar melengkung ke atas.

Sepasang tangan itu kini meraih mangkok dan memasukkan seluruh irisan sosis dan parutan keju. Lalu Nat mengambil beberapa butir telur dari keranjang rotan dan memecahkannya ke dalam mangkok. Setelahnya cepat dia meraih whisk dan mengocok adonan hingga berbusa. Seluruhnya dilakukan dalam gerakan yang halus dan familiar.

Perasaan Daniel bergejolak. Duduk di dapur yang kental dengan nuansa vintage mengingatkannya akan suasana rumah yang nyaman. Semilir angin yang masuk melalui celah jendela yang dibuka sedikit turut menenteramkan seluruh indranya. Lebih dari itu, kehadiran seorang gadis yang bukan siapa-siapanya (namun terasa sudah menjadi apa-apanya hanya dalam waktu beberapa jam saja), menghangatkan hatinya yang telah lama membeku.

"Siapa kamu?" Daniel tak tahan menyuarakan isi pikirannya.

Sudah terlambat untuk menyadari bahwa dia harus menarik pertanyaannya. Nat pasti mengira pertanyaan itu merujuk pada identitas riil-nya. Namun, bagi Daniel pertanyaan itu lebih pada faktor psikologis. Siapa sebenarnya gadis itu yang telah mempengaruhi dirinya sedemikian rupa?

Nat berpaling, tangannya masih sibuk menggerakkan whisk. Mata hazelnya memandang Daniel dengan ekspresi bingung.

"Aku Nat," jawab gadis itu heran, "Bukankah kita sudah berkenalan siang tadi?" Nat menjawab sesuai dugaan Daniel.

Ya, siang tadi. Itu poin utamanya, Daniel termenung. Mereka baru saja berkenalan namun sosok gadis itu terasa amat familiar dalam hati Daniel.  Ini bukan dejavu, karena Daniel yakin sekali dalam 28 tahun hidupnya belum sekalipun dia bertemu gadis seunik Nat. Perasaan akrab yang dirasakannya bukan semacam nuansa pertemuan di masa lalu, namun sebuah cita seperti yang dirasakannya saat pulang ke rumah.

Daniel tiba-tiba beranjak. Kakinya melangkah begitu saja, sama sekali tak melibatkan proses berpikir yang biasanya tak pernah gagal dilakukan otak jeniusnya . Sepenuhnya mengikuti kata hati. Ada yang mendesaknya untuk melakukan ini, Daniel tahu itu. Dia mempersempit jarak dengan Nat, melewati kompartemen dapur, terus terarah pada Nat yang berdiri kebingungan dengan mangkok adonan di pelukan.

Begitu Daniel berada cukup dekat dengan Nat, dia meraih mangkok adonan dan meletakkannya serampangan di meja dapur. Tanpa menunggu beringsut, Daniel menyambar pinggang ramping Nat. Menariknya mendekat kepadanya.

Nat terbelalak. Refleks tangannya menahan dada Daniel, memberi ruang di antara mereka. Tapi lelaki itu bergeming. Daniel malah meraup tangan Nat, menyatukannya dalam genggamannya. Matanya intens memandang Nat. Suaranya serak.

"Siapa kamu?" Daniel mengulang pertanyaannya.

Jarak mereka yang sangat dekat membuat Nat kelabakan. Baru Nat sadari sekarang kebenaran seluruh ucapan Gwen. Seharusnya siang tadi dia tak gegabah mencium Daniel. Seharusnya siang tadi dia tak menyengaja diri melakukan flirting pada lelaki itu. Kini nasi sudah jadi bubur. Penyesalan selalu datang terlambat. Menilik posisi mereka sekarang yang cukup intim - dalam versi Nat, karena dia belum pernah sedekat ini dengan siapapun yang masuk kategori lawan jenis non keluarganya - Nat yakin bahwa lelaki di depannya pasti sudah berprasangka buruk tentang dirinya.

"Daniel, lepaskan," Nat mencoba meloloskan tangannya dari genggaman erat tangan Daniel.

Tapi pria itu keras kepala. Semakin gigih Nat merontakan tangannya, semakin kuat genggaman Daniel di tangannya. Hingga Nat meringis kesakitan. Ini gila, pergelangan tangannya bisa remuk jika terus-terusan dicengkeram Daniel seperti ini.

"Jawab aku, Nat."

Nat tertegun. Seluruh usahanya meloloskan diri dari cengkeraman Daniel sejenak sirna. Ditatapnya wajah tampan itu. Hati Nat mencelos. Tak ada ekspresi pemaksaan di sana, sebaliknya wajah itu justru berkerut sedih. Seolah benar-benar kebingungan dengan segala hal yang terjadi.

"Aku Natalie Graceline Brown..." Jawab Nat lirih.

"Bukan itu yang kumaksud," potong Daniel cepat, "Aku sudah tahu namamu."

"Lalu kenapa kamu masih menanyakan siapa aku?" Nat balik bertanya.

Daniel menggeram kesal. Sebelah tangannya yang tak menggenggam Nat bergerak ke atas. Merayapi sepanjang garis tulang punggung Nat. Tubuh gadis itu bergetar pelan. Dia merasakan telapak tangan Daniel yang besar di punggungnya, mengelus bahunya pelan, lalu bergerak naik ke tengkuknya.

Nat terbelalak. Bola matanya membulat lebar saat merasakan tangan Daniel yang mendorong tengkuknya. Lelaki itu mencondongkan tubuh. Semacam gaya tarik-menarik yang sensual tatkala tubuhnya dan tubuh Daniel sama-sama terdorong ke depan. Lalu Nat merasakan sesuatu yang lembut dan basah mengusap bibirnya.

"Daniel..." Nat berusaha memanggil kesadaran lelaki itu. Di saat-saat terakhirnya. Namun Nat tahu, seluruh usahanya gagal total. Karena kesadarannya pun menghilang, seiring kecupan lembut yang membuai dirinya.

Mereka saling memagut dan melumat. Nat bahkan sudah kehilangan kendali dirinya. Tak ingat bahwa beberapa menit sebelumnya dia takut Daniel mengecapnya sebagai wanita murahan karena melemparkan diri begitu saja pada orang asing. Tapi ciuman Daniel memang terbukti sulit ditolak. Tidak jika bibir lelaki itu menggoda sudut-sudut bibirnya dengan gigitan kecil yang erotis, lalu lidah Daniel tanpa peringatan menyusup masuk, mengeksplorasi seluruh sudut mulutnya, menyentuh ujung-ujung lidahnya, menggodanya. Nat tak sadar mengerang lirih, lengannya bahkan terangkat melingkari leher Daniel. Kini Nat sepenuhnya lupa daratan.

Daniel tahu akan sulit baginya melepaskan diri dari Nat dengan cepat. Karena itu, dia menggeser perlahan ciumannya dari bibir menuruni rahang lembut gadis itu. Terus turun ke bawah dan mencecap kulit halus leher Nat. Bibirnya merasakan gerakan lembut pembuluh darah di leher jenjang Nat. Pelan Daniel melonggarkan pelukannya dan mengistirahatkan kepalanya di lekukan bahu Nat. Aroma mawar seketika tercium oleh indra Daniel.

"Aku belum pernah seperti ini sebelumnya," desah Daniel.

Nat, yang masih terpengaruh ciuman Daniel, sedikit linglung. Dia mengusap tengkuk lelaki itu dan sedikit menyandarkan tubuh ke Daniel. Momen intim yang sangat manis yang tak akan pernah dilupakan Nat.

"Seperti ini bagaimana?" Suara Nat lirih. Dia masih tak sadar jika jemarinya kini menyusup masuk ke sela-sela rambut tebal Daniel. Lelaki itu bergidik.

Daniel memandangi Nat lekat-lekat. Mulutnya terkunci rapat. Tak ingin menjawab pertanyaan gadis itu. Sebaliknya Daniel justru melepaskan Nat dan membimbing gadis itu kembali ke adonan makan malamnya.

"Aku lapar," Daniel tersenyum.

Nat yang bingung dengan pengalihan topik pembicaraan hanya mengedikkan bahu. Bukan urusannya mencari tahu siapa Daniel sekarang. Makan malam lebih penting.

Harum telur goreng menguar di dapur. Beberapa tersebar keluar melalui jendela yang terbuka. Tak perlu waktu lama bagi dua orang itu untuk menikmati makan malam mereka. Sepuluh menit kemudian Daniel dan Nat sudah duduk di kursi dapur dengan sepiring omelet mengepul di depan mereka.

"Aku bukan gadis murahan," Nat memberitahu.

Daniel yang sibuk memotong omeletnya, sejenak menghentikan aktivitas, "Maksudmu?"

"Well, aku tahu apa yang ada di pikiranmu," Nat menyuap sepotong omelet, "Kita masih orang asing namun aku berani-beraninya melemparkan diri padamu."

Daniel terdiam. Dari seluruh waktu pertemuannya dengan Nat, tak sekalipun terbersit di benaknya bahwa gadis itu adalah gadis murahan. Sepertinya Nat telah salah mengartikan sikap bingungnya kali ini. Ada sesuatu yang mendesak Daniel untuk segera mengklarifikasi pemikirannya tentang Nat.

"Aku tidak menganggapmu begitu," Daniel berterus-terang, "Aku cukup liberal untuk menerima perkenalan yang akrab dengan orang baru. Kamu harus tahu itu."

Nat yang duduk di depan Daniel memandang lelaki itu dalam-dalam. Yang dipandang kembali asyik dengan makanannya. Sebelum Nat buka mulut untuk bertanya lagi, Daniel sudah kembali berbicara.

"Tapi aku tak akan menganggap diriku murahan juga hanya karena telah mencium seorang gadis di hari pertama pertemuan. Soal ciuman, aku cukup selektif memilih partner."

Wajah Nat merona. Tersipu malu, dia menundukkan kepala. Dia tak berani memandang Daniel. Sejenak mereka tenggelam dalam keheningan hingga Nat bersuara.

"Aku benar-benar tertarik padamu. Gwen, sahabatku, sudah memperingatkan aku untuk tindakan gila yang akan kulakukan padamu. Tapi... Tapi..." Nat menundukkan kepala dalam-dalam.

Daniel mengerti tindakan gila apa yang dimaksud Nat. Gadis di depannya ini terbukti sangat lugu. Dia bahkan tak mengenal pergaulan orang dewasa namun cukup berani mencobanya. Daniel sendiri lebih suka menyebut tindakan Nat siang tadi - yang menyerangnya tiba-tiba dengan sebuah ciuman polos - sebagai kenekatan.

Daniel mengangkat dagu Nat, memaksa gadis itu melihatnya, "Tapi apa, Nat?"

Nat masih enggan menjawab. Daniel tak hilang akal. Ibu jarinya mengusap-usap bibir lembut Nat. Gadis itu memejamkan mata, menikmati setiap sentuhan yang dilakukan Daniel. Sementara Daniel sekuat tenaga menahan hasrat yang mendadak muncul.

"Tapi aku benar-benar menginginkanmu," Nat akhirnya berkata.

Alis Daniel terangkat tinggi. Selama ini dia biasa dipuja wanita. Kebanyakan dari mereka rela melakukan apapun demi mendapat perhatiannya, atau bahkan semalam berkencan dengannya. Tapi pernyataan tulus Nat menggetarkan hatinya, melebihi perasaan puas saat dia berhasil mendapatkan animo para wanita itu.

"Kamu menginginkan aku?" Daniel menegaskan.

Nat mengangguk, "Aku belum pernah berkencan dengan siapapun. Tapi aku yakin, aku menginginkan dirimu."

"Ya Tuhan," Daniel tersedak oleh rasa haru. Ditangkupnya wajah Nat. Daniel geleng-geleng kepala. Dia bisa gila dengan seluruh kemurnian yang ditunjukkan oleh Nat.

Mendadak Daniel serasa dilimpahi siraman dosa. Memanfaatkan seorang gadis polos seperti Nat sama saja memproklamirkan bahwa Daniel adalah seorang bajingan. Dia tak ubahnya serigala bertopeng lelaki tampan yang terang-terangan melahap gadis muda nan elok macam Nat. Daniel mulai bertanya-tanya, siapakah sebenarnya yang telah menyerang yang lainnya? Nat dengan ciuman lugunya yang menggetarkan jiwa atau dirinya yang penuh nafsu melahap seluruh keluguan gadis itu?

Astaga, mereka hidup di abad 21 tapi Daniel merasa sudah mencemari seorang gadis dengan gairahnya. Bisa disebut apa dia jika bukan seorang bajingan tulen? Karena lelaki sejati tak akan membawa pengaruh buruk pada seorang gadis.

"Kenapa? Apa kamu sedang menganggapku sinting?" Nat tersinggung.

Daniel geleng-geleng kepala, "Tidak, tidak, bukan begitu. Aku justru merasa tersanjung diinginkan oleh dirimu."

Nat mencebik kesal, "Terima kasih sudah menghiburku, Daniel."

"Aku tidak menghiburmu. Aku serius memujimu."

Nat melengos kesal. Daniel tertawa senang. Nat adalah intermezzo indah dalam hidupnya yang datar dan monoton.

Tiba-tiba Nat melontarkan pernyataan yang membuat kening Daniel berkerut.

"Kita belum berkencan," Nat menegaskan, "Tapi aku boleh mengenalmu?"

Mendadak rasa dingin mengalir di sepanjang garis punggung Daniel. Dia terhenyak kaget mendengar penegasan Nat. Mereka belum berkencan. Dan tak boleh berkencan.

Daniel berdehem membersihkan tenggorokan dari rasa bersalah yang pekat.

"Daniel?" Nat heran.

"Tentu saja kamu boleh mengenalku," Daniel tersenyum, "Mulai sekarang kita berteman."

Nat terdiam. Dia tak suka tawaran yang diberikan Daniel. Tapi untuk saat ini, teman sepertinya lebih dari cukup.

"Oke," Nat menyeringai, "Nah, temanku yang kelaparan, apakah kamu masih mau menyantap omelet buatanku?"

"Dengan senang hati," Daniel mengangguk. Tangannya refleks mengusap perut.

Mereka kembali sibuk dengan makan malam. Dalam tempo singkat, omelet tebal dengan topping sosis ludes masuk ke perut. Daniel membantu Nat mencuci piring, setelahnya mereka  bersantai di sofa panjang di ruang duduk. Menonton saluran teve kabel yang tengah menayangkan opera sabun. Daniel melirik gadis yang duduk di sampingnya. Berpikir sejenak apakah sekarang waktu yang tepat untuk bertanya.

"Jadi, siapa dia?"

Nat, tanpa mengalihkan pandangan dari layar televisi, balik bertanya, "Dia siapa?"

"Jangan pura-pura tak tahu," tegur Daniel.

Nat tak mengacuhkan Daniel. Dia berpura-pura sibuk dengan tayangan opera sabun yang menjemukan. Daniel mencebikkan mulut kesal.

"Nat, ayolah, siapa pria yang tadi bertamu?"

"Kamu tahu sendiri namanya, kan? Dia Samuel."

"Hanya Samuel?" Desak Daniel.

"Ya, hanya Samuel," ringkas Nat.

Daniel mengulurkan tangan menyentuh ujung jari Nat. Hanya sentuhan kecil tapi sepertinya berimbas sangat besar pada keduanya. Nat termenung. Daniel menatapnya lembut.

"Dia benar-benar pamanmu?" Tanya Daniel dengan suara halus.

Nat menganggukkan kepala, "Ya, dia memang pamanku."

"Lantas kenapa kamu takut bertemu dengannya?"

Nat mendongak cepat. Dipelototinya Daniel galak.

"Tolong ya, jaga wilayah pribadi masing-masing. Aku tak suka jika..."

"Jika aku melanggar wilayah pribadimu?" Daniel menyela santai.

"Daniel?!" Suara Nat meninggi, "Kenapa kamu peduli dia pamanku atau bukan, sih? Kenapa juga aku harus takut pada pamanku sendiri?"

"Itulah yang kutanyakan, Nona," Daniel bergeser mendekati Nat.

"Kamu tak harus marah saat aku menanyakan tentang pamanmu. Namun, aku punya insting kuat melihat sinyal ketakutan - oke, oke, bukan ketakutan," Daniel segera meralat saat menangkap ekspresi protes Nat, "Tapi ketidaknyamananmu sangat kentara saat berhadapan dengan Samuel."

Nat mencibir, "Hah, seolah kamu punya kemampuan hebat saja untuk melihat kesusahan orang lain."

"Aku memang hebat, Nat," Daniel memamerkan senyum mautnya. Mata hijaunya menyala jenaka, "Aku seorang lawyer. Bicara soal kemampuan, di ruang sidang semua menjulukiku Singa Penjebak."

Nat tertegun. Manik matanya menghunjam Daniel. Sekejap ada sorot kerapuhan di sana, namun langsung lenyap tersapu rasa ketidakpercayaan yang nyata. Bibir tipisnya berujar pelan.

"Kamu... Pengacara?"

"Oh, maafkan aku karena belum memperkenalkan diri, Nat."

Daniel menyentuh jari-jemari Nat yang masih menggenggam erat remote control. Dilepasnya pelan cengkeraman jari-jemari itu dan menyatukannya dengan jarinya sendiri. Tangan mereka saling bertaut. Daniel memamerkan senyum tampannya yang berkesan malas-malasan.

"Halo, Natalie Graceline Brown. Namaku Daniel Pozzi. Aku seorang lawyer di Wu and Partners Law Firm. Senang bisa berkenalan denganmu."

~~oOo~~

Halooo readers kesayanganku. Muncul lagi dengan part terbaru Daniel-Nat. Semoga kalian suka dan jangan pernah lupa tinggalkan jejak di sini.

Oh ya, bagi kalian yang belum berumur 18++ daku sarankan untuk memfilter dengan bijak konten bacaan kalian, ya. Daku tidak bertanggung-jawab untuk apapun yang terjadi jika readers under 18 masih nekat baca konten dewasa.

Eniwei, selamat berakhir pekan. ^^





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro