XX ¤ Slander

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Assalamualaikum 😊

Di malam yang penuh fitri ini aku kasih kalian update Laith dan Humaira 😍

Selamat Hari Raya Idul Fitri. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon maaf lahir dan batin 🙏☺️

Semoga amal dan ibadah kita di bulan Ramadhan tahun ini diterima Allah SWT. Insyaa Allah kita bisa dipertemukan lagi dengan Ramadhan selanjutnya. Aamiin 😇🤲

Selamat membaca 🤗

🍁🍁🍁

Tuk.

Humaira tetap berjalan keluar kelas tanpa menyadari ada yang terjatuh dari selipan bukunya. Tanpa menyadari para santriwati membelalakkan mata menatap foto dimana Humaira tidak memakai kerudung dengan seorang lelaki -tentu saja- bukan Laith, yang berangkulan mesra.

Humaira sudah melenggang jauh saat desas desus tertinggal tanpa ada niat mengembalikan polaroid ke pemilik aslinya.

🍁🍁🍁

Sore itu, sewaktu Humaira hendak mengaji kitab di pesantren. Semua mata menatapnya dengan bisik-bisik tetangga. Humaira hanya diam saja dan tetap berjalan menuju kelas.

"Ning Ra," panggil Zaskia menepuk pundak Humaira. Mengagetkannya.

"Eh Kak Kia. Kenapa Kak ?" Tanya Humaira.

"Ikut Kakak bentar, yuk," ajak Zaskia.

Mereka berjalan menuju gazebo dekat pematang di belakang pondok. Duduk bersisihan menghadap hijaunya sawah.

"Kamu sama Gus Laith tidak ada masalah kan ?" Tanya Zaskia memecah keheningan.

"Hah ? Tidak, Kak. Kami baik-baik saja," jawab Humaira bingung. Mereka tidak ada masalah, malah makin mesra. Tadi malam saja.. Ah sudah! Jangan memikirkan hal-hal begitu.

"Eung. Kalau begitu rumor kamu selingkuh tidak benar kan ?" Tanya Zaskia.

Deg!

"Hah?? Siapa yang selingkuh, Kak ?" Bingung Humaira.

"Di pesantren sudah menyebar sejak tadi pagi, Ra. Kamu selingkuh dengan pria asing. Ada fotonya juga, kamu tidak memakai hijab dan saling rangkulan dengan pria itu," jelas Zaskia.

"Hah? Foto apa, Kak ? Ai saja baru tahu sekarang," tanya Humaira semakin bingung.

"Kakak baru lihat tadi dari santriwati yang mengadu ke Kakak. Disitu memang ada foto kamu tanpa hijab dengan pria. Kamu harus hati-hati, Ra. Mungkin itu foto sebelum kamu mualaf," ucap Zaskia.

Humaira merenung. Berfikir dengan keras foto apa itu.

Ah! Dia ingat. Hari dimana dia memperlihatkan foto keluarganya, satu polaroid tertinggal di kasur. Dan Humaira hanya menyelipkan di buku atas nakas. Itu foto dia dengan Kak Jonathan. Dia benar-benar lupa pernah menaruh foto di situ. Sudah seminggu ini dirinya sibuk belajar di pesantren dan mengurus laporan keuangan A Corp yang dikirim Pak Syahrir.

"Ohh, Ai ingat, Kak. Sepertinya itu foto Ai dengan Kak Jo, sepupu Ai. Perasaan foto itu Ai selipin di buku. Apa terjatuh ya ?" Tanya Humaira.

"Hmm. Mungkin saja. Tapi rumor sudah tersebar. Kamu hati-hati ya. Bilang juga ke Gus, Abah, dan Umma. Lain kali jangan ceroboh gitu," nasehat Zaskia.

"Iya, Kak," jawab Humaira. Dia tidak terlalu khawatir karena Laith sudah tahu tentang Jonathan. Dan tuduhan mereka tidak benar. Humaira selingkuh. Itu fitnah.

Kembali memasuki kelas. Bisik-bisik itu semakin terdengar. Bahkan ada yang menyindirnya dengan keras.

"Astaghfirullah. Gus Laith yang sempurna begitu bisa diselingkuhin ya. Mentang-mentang merasa cantik."

"Jadiin aku istri kedua, Gus. Buat apa cantik tapi gak ada akhlak."

"Cih! Sok kecantikan! Sana sini nemplok."

Astaghfirullah.

Sabar. Bukan pertama kali ini kamu digunjingi, Ai. Jadi, tahan aja. Biarin mereka ngomong apa. Dosamu nanti diambil mereka semua.

"Assalamu'alaikum," Ustadz Usman datang mengakhiri bisik-bisik keras mereka.

Kelas dimulai dan berjalan dengan lancar. Sekarang, yang tidak menyukainya semakin bertambah. Dilihat dari cara mereka memandang Humaira yang sinis saat menjawab pertanyaan Ustadz Usman.

Selesai kelas. Ustadz Usman meminta Humaira untuk berbicara sebentar. Langsung saja kelas heboh karena menambah panas rumor yang beredar. Apalagi Ustadz Usman pernah menaruh hati pada Humaira.

"Maaf, Ustadz. Kalau mau berbicara sekarang saja. Saya takut menimbulkan fitnah lain," jawab Humaira.

"Halah. Sok suci!" Bisik-bisik di belakangnya semakin keras.

"Fitnah apa! Sudah jelas-jelas ada buktinya," lagi dan lagi.

"Sudah-sudah. Tidak baik menggunjing. Baiklah Humaira karena kamu tidak bersedia ngobrol dengan saya secara privasi. Saya hanya mau bilang, mengenai foto yang beredar itu, Gus Laith sudah mengetahui, tadi saat di kantor bersama saya. Maaf saya juga tidak sengaja melihat foto itu. Sekarang, fotonya sudah ada di beliau," ujar Ustadz Usman.

"Iya, Ustadz, terima kasih," ujar Humaira lirih menunduk. Dia merasa down saat Ustadz Usman bilang bahwa dirinya sudah melihat foto itu. Artinya juga memungkinkan Ustadz lain melihat foto yang memperlihatkan auratnya.

Humaira sangat menyesal bertindak ceroboh. Dia takut Laith akan memarahinya. Dia tidak siap menghadapi suaminya nanti. Merasa sangat kecewa dengan dirinya.

"Heh! Dikira kamu istri Gus Laith dan seorang Ning, kami jadi takut ya sama kamu. Kalau akhlakmu saja begini, mending Gus Laith cerai-in kamu aja!" Tiba-tiba Susan sudah berada di depan meja Humaira dan mendorong pundaknya.

Santriwati yang tidak menyukai Humaira ikut merundung melingkari tempat Humaira duduk. Sedang, Santriwati yang lain sudah banyak yang keluar kelas.

Ternyata Humaira melamun dan tidak menyadari Ustadz Usman sudah mengakhiri kelas.

"Demi Allah! Apa yang kalian asumsikan itu hanya fitnah," ujar Humaira menatap balik Susan.

"Gausah ngelak deh! Kita udah ada bukti foto yang sekarang ada di tangan Gus Laith. Kamu siap-siap aja ditendang dari pondok," ujar salah satunya menimpali.

Humaira tidak peduli dan membereskan barang-barangnya. Dia berdiri dan menatap mereka dengan tajam.

"Apapun yang kalian katakan sekarang adalah kekeliruan. Kalau tidak tahu cerita sebenarnya jangan menyebar fitnah. Sudah tahu kalau fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Akhlak kalian tidak mencerminkan seorang santriwati dari pondok," ucap Humaira tajam

"Heh! Akhlakmu itu yang jelek! Ngaca dong! Udah tahu istri seorang Gus. Foto gak pake kerudung malah mesra-mesraan sama cowok lain. Minggat aja sana!"

Teriak Susan di depan wajah Humaira dan mendorongnya hingga pinggang Humaira kepentok sandaran bangku dan terduduk. Tak hanya itu, salah satu dari mereka bahkan ada yang memukul kepala Humaira keras -dengan penggaris kayu- sampai dia merasakan pening. Dirasa, ada yang mengalir dari hidungnya. Darah.

Mereka terkejut dan langsung membubarkan diri saat melihat darah keluar dari hidung Humaira.

Astaghfirullahal'adziim.

Sabarkan dan tabahkanlah hamba, Yaa Allah.

Humaira menyumpal hidungnya dengan ujung hijabnya. Dia tidak membawa tisu. Ingin ke toilet dulu tapi sebentar lagi maghrib. Jadi, Humaira berjalan dengan hidung tersumpal kerudung yang penuh darah menuju Ndalem.

Sepi. Sepertinya Abah, Umma dan para mbak tengah bersiap sholat Maghrib sebentar lagi. Humaira langsung menuju tangga untuk ke kamarnya.

Cklek.

Humaira tidak memperhatikan sekitar dan langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan darahnya.

"Humaira ? Kamu kenapa ?" Tanya Laith khawatir saat melihat istrinya tidak menyalami dirinya dan langsung menuju ke kamar mandi.

Humaira hanya menggeleng dan masih membersihkan darah yang keluar.

"Astaghfirullah! Ini kenapa bisa mimisan ?" Tanya Laith ikut membantu istrinya.

Mereka hanya diam sembari berusaha menghentikan pendarahan. Setelah darah berhenti. Laith menyuruh Humaira untuk berwudhu dan Sholat Maghrib jamaah di kamar.

Assalamu'alaikum warrahmatullah

Setelah wirid dan khusyuk berdoa. Laith menyodorkan tangan dan disambut Humaira. Menghela nafas menatap Humaira yang menunduk.

"Sayang. Tatap mata Mas," pinta Laith.

Humaira menggeleng dan air matanya sudah menggenang berkaca. Laith meraih wajah sang istri dan saat itu mengalirlah air mata yang tertahan. Laith mengusap dengan ibu jarinya.

"Soal foto itu. Maafin Ai yang ceroboh ya, Mas," ujar Humaira lirih.

"Sst. Gak pa-pa. Jangan nangis," ucap Laith masih mengelus dan membersihkan jejak genangan yang terus mengalir.

"Tapi jangan diulangi ya. Mas gak marah. Mas hanya cemburu ke mereka yang sudah melihat foto itu. Melihatmu yang mempesona dengan aurat terbuka," ujar Laith lembut.

"Ai gak tau hiks fotonya jatuh. Ai juga lupa pernah hiks menaruh foto itu di buku," ujar Humaira terisak.

"Sst. Udah gapapa. Tenang ya," ujar Laith mendekap tubuh sang istri.

"Aawh," teriak Humaira saat Laith menekan pinggangnya.

"Kenapa ?" Ujar Laith kaget.

"Eh? Nggak apa-apa. Jangan sentuh pinggang Ai. Sakit," ujar Humaira.

"Sakit kenapa ? Sini Mas lihat," tanya Laith.

"Gausah. Nanti sembuh sendiri kok," jawab Humaira.

Laith menghela nafas. Kemudian bangkit dan membantu istrinya, lalu melipat sajadah. Sedang Humaira melepas dan melipat mukena.

"Sini," suruh Laith yang sudah duduk di sofa dalam kamar.

Humaira duduk di sebelahnya dan terpekik kaget saat Laith membuka sedikit sebelah kanan baju atasannya, memperlihatkan memar besar yang membiru.

"Ini kenapa, Humaira ?" Tanya Laith, mengeraskan rahang. Khawatir dan marah menjadi satu.

"Tadi di kelas kepentok kursi," jawab Humaira menunduk.

Laith kembali menghela nafas dan bangkit mengambil kotak P3K di laci nakas. Diam sambil mengoleskan krim memar di pinggang istrinya.

"Terus tadi bisa mimisan juga kenapa ?" Tanya Laith lembut, menutup tube krim anti memar.

"Eung. Gak pa-pa. Mungkin karena Ai ceroboh kepentok ini," ujar Humaira berusaha berbohong.

"Mas tahu kamu bohong. Mana ada kepentok jadi mimisan kan. Kalau kepentoknya di kepala baru bisa," ujar Laith dan melihat istrinya gelagapan. Sepertinya yang dia katakan benar.

"Siapa ?" Tanya Laith tiba-tiba.

"Hah ? Siapa apanya ?" Tanya Humaira.

"Mas tahu kamu gak mungkin ceroboh dengan tubuhmu sendiri. Jadi, siapa yang melakukannya ?" Tanya Laith menatap istrinya yang kembali menunduk.

"Gak pa-pa, Mas. Gausah dipermasalahin ya," ujar Humaira memohon.

"Mas gak masalahin. Cuma nanya siapa, terus bisa sampai begini kenapa. Kalau kamu gamau cerita nanti Mas cari tahu sendiri," ujar Laith memancing istrinya.

Humaira menghela nafas, "Ai difitnah selingkuh gara-gara foto itu. Terus, santriwati yang tidak menyukai Ai merundung Ai tadi. Mereka mendorong Ai ke bangku terus memukul kepala Ai, gatau dengan apa," jelas Ai lirih dan menunduk.

Laith memejamkan mata dan mengeraskan rahang. Benar-benar tak habis pikir ada perundungan di pondok pesantren. Mencoba tenang, Laith ber-istighfar dan menghela nafas.

"Siapa orang nya ?" Tanya Laith lembut mengelus surai sang istri.

"Gausah, Mas. Nanti malah nambah besar masalahnya. Ai gak mau makin dimusuhin," ujar Humaira.

"Ya sudah. Lain kali hati-hati ya. Lindungi diri jangan sampai terluka," ucap Laith tegas.

Humaira mengangguk. Alhamdulillah. Dia lega suaminya tidak marah kepadanya. Laith sangat lembut dan pengertian. Dia tidak menghakimi Humaira dan mau mendengar penjelasannya.

Laith memeluk Humaira dan mengelus lembut rambut sang istri.

"Maaf. Mas tidak bisa melindungimu. Dari fitnah dan rundungan itu. Mas sudah memberitahu pengurus pondok beserta Abah dan Umma, kalau foto itu adalah kamu dan sepupumu sebelum kamu mualaf. Kamu yang sabar, tidak semua orang tabayyun. Yang penting Mas, Abah, dan Umma percaya padamu," ucap Laith lembut.

Humaira mengangguk dan melingkarkan tangan di pinggang suaminya.

"Maafin Ai yang ceroboh ya, Mas. Ai gak akan buat Mas khawatir lagi. Terima kasih Mas gak marah sama Ai," ujar Humaira.

Mereka menikmati kebersamaan di tengah fitnah yang melanda. Menghening dalam paduan desir perasaan yang sama-sama diliputi kekhawatiran akan masing-masing pasangannya.

🍁To be Continued🍁

|Tandai kalo ada typo atau kesalahan dalam informasi ya, Guys|

Sending a lot of loves ❤️💌❤️

Jangan lupa tinggalkan jejak 🐾
(Vote, comment, and share)

Insyaa Allah, kalau besok ada waktu, aku tetep bakal update amore: Sacred Love 🤩🙌

Best regard,
Moon Prytn. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro