XXX ¤ Date

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Colosseum pada musim dingin terlihat lengang, tidak berdesakan seperti saat musim lainnya. Bangunan yang tersusun dari batu dan konkret itu merupakan amphitheatre terbesar di dunia. Tempat yang sekarang dikunjungi banyak wisatawan ini dulunya dijadikan sebagai arena gladiator.

Humaira dan Laith bergandengan tangan sehabis turun dari bus. Keduanya menatap keindahan panorama sekitar, tampak patung Julio Caesar. Menyusuri The Palatine Hill dan Roman Forum. Lalu menuju ke dalam Colosseum, mengunjungi Museum Palatino. Sesekali bersua foto, selfie, atau Laith mengcandid sang istri tanpa diketahui.

"Mas, fotoin Ai," ujar Humaira seraya berpose ria dengan background bangunan tua berbentuk lingkaran itu.

"Udah ini," ujar Laith menunjukkan hasil karyanya saat sang istri menghampiri.

"Sekarang Mas yang Ai fotoin. Sana pose," ujar Humaira riang.

Laith menaikkan alis lantas terkekeh dan menggeleng, "foto bareng aja yuk," ujar Laith mengambil alih kamera. Mengarahkan lensa ke hadapan mereka lalu berpose senyum pepsoden.

"Lagi, lagi," seru Humaira kesenangan.

Cup. Ckrek.

Tepat saat jemari Laith memencet tombol memotret, dirinya mencium pipi Humaira yang merona.

"Ih. Mas Laith genit banget sih. Nanti kalau diliat orang gimana ?" Rengek Humaira menutup kedua pipinya dengan telapak tangan

"Biarin," acuh Laith mengangkat bahu dan terkekeh. Lagian, tidak terlalu ramai dan orang hanya sedikit berlalu lalang, tidak peduli sekitar.

"Nyebelin ya sekarang. Okay, gantinya Ai mau fotoin Mas. Sana pose," suruh Humaira mengambil alih kamera.

"Gak usah ya. Katanya mau beli gelato," ajak Laith mengalihkan pembicaraan. Dirinya tidak terlalu suka bersua foto sendirian.

"Nanti kan bisa. Sekarang Ai mau ngefoto Mas. Ayo dong," rengek Humaira menarik lengan sang suami.

Padahal ganteng banget gini. Difoto gak mau. Mana gak pernah foto sendiri lagi, kan sayang. Cinta juga. Batin Humaira terkekeh.

Mau tidak mau Laith mengikuti arahan sang istri. Berjalan menjauh agar dapat memuat foto seluruh badan.

"Gini gayanya," ujar Humaira memperagakan gaya ala laki-laki dengan tangan dilipat di dada.

"Ck. Ada-ada aja ya kamu itu," ucap Laith geleng-geleng. Tak ayalpun mengikuti.

"Lagi-lagi. Sekarang gini gayanya," instruksi Humaira dengan pose lain.

Laith mengikuti. Berdiri miring dengan mata memandang ke arah depan. Di dalam foto, memperlihatkan hidung mancung dan dada tegap yang membuat siapapun wanita akan meleleh dengan pesonanya.

"Maa Syaa Allah, ganteng banget gini. Nanti Ai cetak terus simpan di dompet deh," gumam Humaira sendiri saat melihat lagi hasil jepretannya memoto sang suami.

"Haha. Buat apa disimpan, kan manusianya bisa kamu lihat langsung. Dipegang juga bisa nih," ucap Laith yang ternyata mendengar gumaman Humaira.

"Mas Laith dengar ?" Tanya Humaira seraya membelalakkan mata. Merona sudah pipinya.

"Manis banget kalo merona gini. Udah yuk, nanti kamu kedinginan," ajak Laith seraya menggandeng tangan sang istri menuju destinasi selanjutnya.

"Ai tetap mau cetak. Biar kalo kangen kan gampang, Ai bawa foto Mas Laith kemana-kemana," ujar Humaira saat mereka menyusuri jalan untuk menaiki transportasi umum.

Laith mencium tangan sang istri dengan masih berjalan.

"Heum. Insyaa Allah. I always be with you, no matter what. But it's up to you, mau dicetak apa tidak," ujar Laith menengok ke arah sang istri sebentar.

Humaira merona lagi. Memukul lengan sang suami pelan dengan tangan lain yang tidak bertautan.

"Kok Mas manis banget gini sih. Kalo Ai kebanyakan gula kan bahaya," ucap nya malu-malu.

Laith terkekeh seraya mencium tautan tangan mereka lagi.

🍁🍁🍁

"Jangan banyak-banyak. Ini musim dingin, Sayang. Kamu makan gelato aja Mas udah keberatan," ujar Laith saat Humaira ingin menambah porsi gelato dengan varian rasa lain.

Humaira memberengut. Mengerucutkan bibirnya lucu.

"Sekaliii aja," pinta Humaira dengan jari mengacung angka satu.

"Daritadi kamu gitu terus, Mas gak mau ketipu lagi," ujar Laith seraya menyeruput hot cappucino nya.

"Pelit," kesal Humaira melipat tangan di depan dada. Memalingkan wajah.

Laith menghela nafas. Istrinya ini memang sangat menyukai gelato, tapi sekarang sudah akan keempat kalinya Humaira memesan. Kalau jadi. Laith tidak ingin istrinya tumbang di cuaca yang tidak mendukung ini.

"Setelah ini kan mau wisata kuliner. Kalau kamu udah isi penuh perut dengan gelato, nanti sayang makanan yang lain," ujar Laith mencoba memberi pengertian.

"Yaudah. Tapi nanti belinya makanan kesukaan Ai semua," ujar Humaira dengan mengerucutkan bibir.

Laith terkekeh seraya mengangguk, "iya. Apapun yang kamu mau, Mas ngikut aja," ujar Laith.

Setelah keluar dari kedai gelato halal, mereka melanjutkan berburu makanan halal. Memasuki berbagai restoran yang menyediakan pasta, pizza, dan berbagai makanan khas Eropa. Tentunya dengan porsi sesuai mereka.

"Hah, kenyang," ujar Humaira dengan menepuk perut yang masih tetap rata walaupun mengatakan kata kenyang.

"Siapa suruh semua dimasukin ke perut," ujar Laith terkekeh melihat tingkah sang istri. Dengan tangan masih saling terjalin.

"Mereka terlalu menggoda, Mas. Gak bisa Ai tuh mengabaikan mereka. Kasian," ucap Humaira dibuat-buat.

Laith semakin terkekeh dan geleng-geleng. Istrinya benar-benar menggemaskan.

"Kita pulangnya naik taksi aja ? Biar gak capek," tanya Laith menatap khawatir sang istri yang begah kekenyangan.

Humaira menggeleng keras, "jangan. Taksi mahal, terus nanti Ai juga nimbun lemak. Mending kayak gini aja," tolak Humaira.

"Mas gak mau kamu kecapean. Tadinya kita terima tawaran Grand Pa kamu buat bawa mobil atau diantar sopir. Lihat kamu keringetan gini," ujar Laith menyeka keringat di dahi sang istri.

Perjalanan menuju stasiun dari destinasi kuliner teakhir dan Humaira sudah sedikit kelelahan. Padahal cuaca yang cukup sejuk hari ini tetap membuat Humaira sedikit berkeringat karena dalam proses pembakaran kalori saat berjalan kaki.

"Bagus dong keringatan. Berarti kalori Ai terbakar. Jadi, gak gendut deh nanti," ujar Humaira santai.

"Memangnya kenapa kalau gendut ?" Tanya Laith.

"Ih. Perempuan itu paling takut gendut. Jadi gak cantik, gak seksi, terus gak bisa pakai baju sesuka hati," jelas Humaira dengan menggebu-gebu.

"Seharusnya para perempuan itu bersyukur diberi badan sehat, bugar, dan tanpa kurang sedikitpun. Berat badan ideal itu bukan kurus atau gendut, tapi sesuai porsi dan kebutuhan dengan kegiatan atau pekerjaannya. Tidak salah dengan ukuran badan, yang salah itu doktrin bahwa gemuk atau gendut itu penyebab ketidaksempurnaan wanita. Padahal, setiap wanita mempunyai pesona masing-masing yang dimana dirinya sendiri harus menyadari dan mensyukuri itu.

Jadi, Mas tidak masalah bagaimana bentuk badanmu. Mas akan tetap menjadi suamimu dan di sisimu. Tapi, kalau kamu beranggapan jika gendut itu tidak bagus dan kamu ingin badan yang lebih kurus. Jangan menyiksa diri sendiri, cukup lakukan hal sewajarnya seperti olah raga dan konsumsi makanan sehat. Bukan tidak makan atau memforsir kegiatan. Yang penting, kamu sehat wal'afiat. Mas akan selalu mendukung dan mencintaimu," ucap Laith.

Humaira menatap Laith dengan penuh kagum. Terpesona dengan pikiran terbuka suaminya. Saat ini mereka sedang duduk di stasiun untuk menaiki kereta menuju mansion Grand Pa. Saat kereta tujuan mereka datang, Humaira dan Laith duduk di salah satu gerbong. Dan melanjutkan percakapan.

"Mas kok bisa se-open minded gitu sih. Padahal, biasanya dorongan wanita ingin kurus itu karena lelaki yang tidak menyukai wanitanya gendut. Tapi, Mas justru berkebalikan. Andai semua laki-laki seperti Mas. Wanita dapat lebih mudah berekspresi dalam keadaan apapun tanpa minder dengan berat badan," ucap Humaira.

"Semua tergantung pribadi masing-masing. Mas tidak ingin kamu tidak bersyukur dan takut terhadap hal-hal yang semestinya tidak kamu takuti. Semua itu atas kehendak Allah, jadi bertakutlah kepada Allah jika kamu berbuat suatu dosa apalagi menyekutukan-Nya. Masalah jasmani dan rohani itu harus seimbang. Di saat lelaki hanya menginginkan fisik seorang perempuan, maka dia belum terpenuhi kebutuhan rohaninya. Yaitu, bersyukur dan memantaskan diri. Bukan membuat wanita pantas untuk dirinya dengan menuntut fisik yang ideal menurutnya. Itulah mengapa Mas hanya butuh kamu bersyukur saat ini diberi kesehatan, itu lebih baik dari apapun yang kamu inginkan," ujar Laith menatap sang istri dan mengelus lembut pipinya.

Humaira tersenyum seraya memegang tangan sang suami yang ada di pipinya.

"Terima kasih, Mas. I feel so blessed having you as my husband," ujar Humaira tulus dengan mata terkagum.

"Alhamdulillah. Berterima kasih sama Allah Subhanahu wa Ta'alaa yang telah menjodohkan kita. Dan Mas juga bersyukur memperistri dirimu, Humaira. Kekasih halalku," ujar Laith dengan senyum menawan.

"Aaa. Melting," ujar Humaira memeluk sang suami dan menyurukkan wajah di dada bidang itu.

Laith terkekeh dengan tingkah malu-malu sang istri. Untung gerbong tidak terlalu ramai dan penumpang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Jadi, mereka dapat bermesraan tanpa ditatap risih oleh orang lain.

Acara nge-date berkeliling Kota Roma membuat keduanya puas dengan kebersamaan. Bergandengan tangan menyusuri setiap jalan yang dilewati, berbagi canda dan tawa, tersenyum riang, sesekali curi-curi kecupan pipi, berbagi piring dan gelas saat berkuliner, saling membersihkan sisi bibir karena sisa makanan.

Romantisme di tengah sejuknya ibu kota negara Italia. Mereka bersyukur memiliki satu sama lain.

🍁To be Continued🍁

|Tandai kalo ada typo atau kesalahan dalam informasi ya, Guys|

Sending a lot of loves ❤️💌❤️

Jangan lupa tinggalkan jejak 🐾
(Vote, comment, and share)

Best regard,
Moon Prytn.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro