XXXII ¤ Honeymoon

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Waah hahaha," jerit Humaira kesenangan saat meluncur dengan papan ski dan tongkat.

Di belakang Laith mengejar dirinya. Humaira semakin mempercepat laju. Namun, saat berada di bagian landai, Laith tetap dengan laju tinggi mengarah ke dirinya. Siap-siap Humaira ingin menghindar tetapi naas belum sempat bergerak Laith sudah menerjang.

Mereka jatuh ditumpukan dan berguling. Tertawa bersama dengan Laith yang merengkuh Humaira sejak bersiap jatuh.

"Hahaha. Mas jahat banget! Kalo Mas nimpa Ai kan berat," ujar Humaira dengan tawa dan memukul pelan pundak sang suami yang terbalut mantel tebal.

"Haha. Mas tangkep kan buktinya," kekeh Laith bangkit dan mengulur tangan membantu sang istri.

Humaira berhasil berdiri. Laith sedang meraih peralatan ski mereka untuk dikembalikan. Humaira iseng membuat bola salju di belakang punggung Laith.

"Mas."

Puk.

"Hahaha!" Tawa Humaira membara saat bola saljunya tepat mengenai pundak sang suami.

"Oh nakal ya kamu. KDRT ini namanya," ujar Laith kembali meletakkan peralatan di atas tumpukan salju.

Mebuat bola salju kecil dan melempar ke Humaira yang sudah bersiap akan lari.

Puk.

"Satu sama."

Belum sempat Humaira berlari, salju bertebaran di mantel sebelah kanannya. Mencoba membersihkan, saat dilihat Laith akan menyerangnya kembali.

Akhirnya, mereka perang salju dan saling tertawa saat salju-salju bertebaran di wajah mereka. Laith terlebih dulu mengangkat tangan tanda menyerah. Humaira sangat bersemangat dan seakan tidak ingin berhenti. Padahal mereka sudah sedari pagi bermain dan sekarang sudah menunjukkan pukul 11 siang. Walaupun, cuaca tidak memperlihatkan waktu siang.

"Ayo balik," ajak Laith.

Setelah mengembalikan peralatan mereka kembali ke privat villa milik keluarga De Luca. Tidak mengherankan, di sini sedikit orang. Hanya beberapa penjaga dan pengurus villa. Tempatnya tenang dan jauh dari hingar bingar.

Mereka benar-benar berdua. Tempat wisata berada sedikit jauh dari villa. Sedangkan, para pegawai hanya dipanggil saat dibutuhkan.

"Mas, Ai bikin hot chocolate," ujar Humaira dari pantry.

Laith sedang menghidupkan perapian automatic di ruang tengah. Menatap sang istri yang datang membawa nampan dengan dua cangkir.

Laith menyalakan TV dan ikut duduk di sebelah sang istri. Sebelumnya, mengambil selimut dan membentangkan ke tubuhnya dan Humaira. Hari sudah petang, mereka sudah menikmati berbagai keseruan yang disediakan di tempat indah ini seharian. Sehabis sholat isya, mereka memang berencana nyoklat cantik dan bermalas ria.

"Terima kasih cokelatnya," ujar Laith saat menyeruput minuman hangat itu.

"Sama-sama. Ih, belepotan gini sih," ujar Humaira seraya mengusap bibir atas sang suami yang belepotan coklat.

Laith memasang wajah inosen dan menikmati kekesalan sang istri yang sedang mengusap bibirnya.

"Sengaja," ucap Laith.

"Ish. Nyebelin!"

Meskipun menggerutu Humaira tetap meneruskan membersihkan sisa coklat itu.

Laith menariknya dalam pelukan agar mereka mendekat dan saling menghangatkan. Laith menyerahkan remot kontrol TV ke Humaira agar istrinya yang memilih.

Humaira mengambil remot dari tangan Laith dan mencari saluran yang menurutnya menarik. Tapi, nihil.

"Mau nonton film ?" Tanya Humaira ke sang suami di sebelahnya saat tidak menemukan channel yang bagus.

"Terserah kamu," jawab Laith. Dia mengikut aja yang istrinya mau.

"Bentar."

Humaira mengganti saluran dengan aplikasi langganannya menonton film melalui smartphone. Memilih film yang menurutnya menarik.

Setelah menemukan salah satu film yang berjudul 'Me Before You', Humaira memutar dan kembali bergelung di pelukan sang suami.

"Kok endingnya gitu sih. Hiks," isak Humaira mengusap pipinya.

Laith terkekeh melihat sang istri menangis sehabis menonton film. Padahal, dia sendiri yang memilih.

"Louisa nya aja bahagia itu. Kok kamu malah nangis," ujar Laith mengusap pipi sang istri.

"Ya kan Will nya udah gak ada. Padahal, mereka cocok gitu. Kenapa sih endingnya gak disatuin aja. Louisa udah berjuang banget itu," ujar Humaira dengan air mata yang masih mengalir.

"Cup cup. Kan cuma film itu. Lagipula, kalaupun dalam kehidupan nyata. Takdir itu sudah ketetapan Allah, kita hanya bisa menerima, ikhlas, dan tabah," ujar Laith menenangkan.

Bukannya tenang Humaira malah semakin menangis kencang. "Nggak mau! Mas Laith gak boleh ninggalin Ai duluan. Ai mau sama Mas terus sampai nanti kita tua," teriaknya memeluk sang suami.

Laith mengusap surai sang istri. Dia ingin berlanjut mengatakan bahwa sebagai manusia kita tidak tahu kapan kematian akan datang. Namun, ia urungkan. Humaira dengan mood galau sehabis nonton film sad ending itu akan sangat sensitif.

"Iya. Insyaa Allah kita akan selalu bersama hingga tua nanti," ucap Laith.

Humaira mendongak dengan mata sembab. Menatap mata sang suami dan menyodorkan kelingking kecilnya, "janji!"

Laith mau tak mau membelit kelingking sang istri dengan kelingkingnya. Dia mengusap pipi yang masih basah tergenang air mata dan mengecup kening Humaira. Mengecup kedua pipi, hidung mancung sang istri, dagu. Dan terakhir mengecup bibir yang memerah akibat tangis itu.

Lama berciuman. Laith mengambil remot dan mematikan TV. Menggendong sang istri menuju kamar. Melakukan yang semestinya dilakukan saat honeymoon.

🍁🍁🍁

Humaira merasakan pinggangnya dilingkupi tangan besar dan punggungnya menghangat. Laith memeluknya dari belakang. Ikut menatap jendela besar yang mengarah pada pepohonan cemara yang tertutup salju.

"Mas," ucap Humaira. Dari lantai dua kamar mereka, pagi hangat berkat bantuan heater ruangan. Humaira menyandarkan badan ke tubuh sang suami di belekang.

Laith menggumam dan mencium puncak kepala sang istri yang surainya masih basah menguarkan aroma floral.

"Humaira," berganti Laith yang memanggil.

"Terkadang, Mas cemburu melihat kaum adam menatapmu dengan kagum atau yang hanya melirik sekilas karena tidak bisa mengabaikan wajah menawanmu," gumam Laith. Tapi, Humaira sangat jelas mendengarnya

"Sebenarnya Mas ingin bilang ke mereka kalau kamu sudah jadi milik Mas. Mereka tidak berhak melirik, menatap, apalagi membayangkanmu. Tapi, Mas tidak ingin se-over itu dan membuatmu tidak nyaman."

Humaira melepas pelukan dan memutar badan. Berganti memeluk pinggang Laith dari depan.

"Mas. Ai sepenuhnya milik Mas. Ai juga tidak memedulikan mereka menatap atau melirik Ai. Ai bahkan tidak pernah melirik mereka bahkan sekilas. Hanya Mas yang ada di mata Ai," ujar Humaira lembut mengelus pipi sang suami.

"Mas tahu. Maaf Mas terlalu posesif. Sedari awal, bahkan Mas tidak bisa menjaga pandangan darimu sebelum kita menikah. Mas maklum, jika lelaki lain juga begitu. Para ustadz di ponpes-pun Mas pernah menangkap pandangan mereka sekilas mengarah padamu, Humaira. Walaupun, Mas tahu mereka sekedar khilaf sesaat tapi Mas tidak rela. You're too iresistable," ujar Laith menikmati elusan sang istri.

"You too, Mas. Banyak juga perempuan yang menatapmu kagum. Tapi, Ai tahu. Mas sudah menjadi milik Ai satu-satunya," ujar Humaira. "Tapi, Ai paham karena Ai juga merasakan apa yang Mas rasakan. Apa Mas ingin Ai memakai cadar ?" Tanya Humaira mengerti maksud lain sedari awal.

Sebenarnya dirinya juga ingin mengenakan cadar sejak banyak yang meminang saat di pondok dulu. Namun, ia urungkan karena Humaira merasa masih terlalu dini memakai cadar sedang ia baru mualaf. Sedikit demi sedikit, saat dia siap dan menemukan sang pangeran Arabnya. Nyatanya, takdir lebih cepat mempertemukan Laith dan keputusan itu tidak bisa dia ambil secara sepihak. Sebagai seorang istri, dia harus mematuhi perkataan suami.

"Mas tidak memaksamu. Mas hanya menyampaikan uneg-uneg. Saat kemaren di perusahaan De Luca juga banyak yang memandang parasmu.

Kalau kamu sudah niat dan memakai niqab bukan karena permintaan Mas. Maka, pakailah. Jika kamu terpaksa, Mas bisa menunggu kamu siap. Kapanpun itu," ujar Laith.

Humaira tersenyum, "Ai sudah berpikir memakai niqab sebelum menikah dengan Mas. Tapi, setelah menikah Ai tidak berani mengambil keputusan sepihak. Saat Mas berkata demikian, maka Ai akan melakukan. Ai juga mencari ridlo Mas untuk mendapatkan ridlo Allah," ujar Humaira.

"Alhamdulillah kalah begitu. Terima kasih, istriku," ujar Laith memeluk tubuh sang istri.

"Tapi, gak adil. Itu wanita-wanita yang menatap Mas juga karena mereka terpesona sama Mas," ujar Humair memukul pelan dada sang suami.

"Mas bahkan tidak pernah melirik sedikit pun ke mereka. Mas selalu pasang tampang judes biar mereka takut. Mas akan selalu menggandeng tangan Humaira biar mereka tahu Mas sudah sold out. Istri Mas cuma kamu, Humaira. Tidak akan pernah ada wanita lain yang bisa menggetarkan hati Mas selain kamu," ujar Laith lembut, mencium pipi sang istri.

Humaira lantas merona. Dirinya hanya bergurau tadi. Sudah ia katakan bukan, kalau Humaira percaya pada Laith. Laith adalah lelaki yang dapat dipegang kata-katanya.

Hari itu mereka hanya berdiam di villa berduaan. Menghabiskan waktu bersama. Terkadang Humaira ikut bermurojaah sang suami atau hanya menyimak. Laith memang membawa mushaf, kemanapun dia berada.

Lalu, mereka juga beribadah mengikuti sunnah rasul. Honeymoon ternyata begini. Humaira sungguh merasakan dunia yang berbeda saat bersama Laith. Merasa tenang dan damai. Selalu mendekatkan diri kepada Sang Khaliq apapun kondisinya. Memohon agar mereka segera diberi amanah berupa benih yang akan Humaira kandung. Berikhtiar serta bertawakkal. Mereka tak pernah lepas dari itu.

🍁To be Continued🍁

|Tandai kalo ada typo atau kesalahan dalam informasi ya, Guys|

Sending a lot of loves ❤️💌❤️

Jangan lupa tinggalkan jejak 🐾
(Vote, comment, and share)

Best regard,
Moon Prytn. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro