3 ~ Pagi Yogyakarta

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Minggu, 30 Januari 2010

Triiiiinng ...

Alarm ponsel menggema memenuhi kamar kecil ukuran 5x7, tempatku membaringkan badan saat ini. Dengan setengah terpejam, aku mengambil smartphone-ku, dan layarnya menunjukkan pukul 04.30 pagi.

Ah, sudah waktunya salat subuh.

Aku berusaha bangun untuk menunaikan kewajiban kepada Sang Pencipta. Namun, tak semua anggota tubuhku punya semangat yang sama. Mata ini enggan membuka, seakan-akan mengajakku kembali bermimpi barang lima menit lagi. Badanku pun sepertinya ikut mendukung, terbukti ia juga enggan digerakkan sama sekali. Tapi aku harus memaksanya, mereka sudah terbiasa seperti ini, dan sekali aku memberi kesempatan pada ragaku untuk bermalas-malasan, maka ia akan meminta lagi dan lagi.

Dengan berat, aku membuka mata, mengerjap dan menyibak selimut tebal yang menghangatkan tubuhku semalaman tadi. Udara masih terasa dingin dan suasana juga masih sangat sunyi. Hanya jarum jam dindinglah yang masih berdetak dengan teratur memecah keheningan suasana pagi ini.

"Mei, bangun ...," kataku sambil menggerak-gerakkan tubuh Mei yang tertidur lelap di sebelahku. Namun Mei tak merespon sama sekali.

"Mei ... bangun, kamu salat subuh nggak?" Aku mengulangi membangunkannya lagi.

"Jam berapa sih, Han ...?" responsnya tanpa membuka mata. Suaranya sangat pelan, seolah jika ditinggal sebentar saja, ia akan kembali terlelap.

Sebenarnya aku tidak tega, tapi kewajiban salat tidak bisa gugur apa pun alasannya. Aku memandangnya sekali lagi, wajahnya terlihat amat kelelahan. Sangat wajar ia tertidur begitu pulas. Kami sampai di penginapan ini sudah hampir dini hari, setelah menempuh sekitar sepuluh jam perjalanan. Kereta kami yang seharusnya sampai di jam sembilan malam, terpaksa harus ditunda keberangkatannya karena ada kecelakaan di jalur yang seharusnya kami lewati.

"Jam setengah lima pagi."

"Bangunkan aku tiga puluh menit lagi."

Aku menghela napas. Yeah, tiga puluh menit lagi waktu sholat subuh juga belum berakhir. Namun, daripada harus kembali tidur, aku lebih memilih untuk menikmati segarnya udara kota yang baru pertama kali kudatangi ini. Tubuhku terasa beku ketika melangkah telanjang kaki di atas ubin keramik. Namun, semangatku untuk menunaikan kewajiban sekaligus menyampaikan syukur pada Sang Pencipta, mampu mengalahkan semua dingin yang menusuk ini.

Setelah menyelesaikan hajat wajib di pagi hari, kubasuh wajahku dengan air wudhu. Airnya memang sedingin es, tapi anehnya, air ini bisa membuatku terbangun dan kembali bersemangat, berbeda dengan dinginnya udara di luar sana yang justru menggodaku untuk kembali terlelap.

Suasana masih sepi ketika aku keluar ke balkon kamar membawa secangkir teh hangat yang diseduh dengan air dispenser yang disediakan penginapan. Udara yang menyentuhku sudah tak terasa sedingin sebelumnya.

Dari balkon lantai tiga, aku bisa melihat atap-atap perumahan yang posisinya lebih rendah dari penginapan ini. Fajar terlihat kekuningan di bumantara yang belum tersentuh hangatnya sang mentari pagi. Entah kenapa, di langit itu, aku melihat wajahnya. Wajah pria yang kujumpai tiga bulan yang lalu, wajah pria yang bahkan tak kuketahui siapa namanya, atau pun tempat tinggalnya.

Sudah tiga bulan ya, tapi bayanganmu masih terlihat jelas. Mungkinkah aku bisa bertemu denganmu lagi?

Assalammu'alaikum Yogya, Assalammu'alaikum kamu, semoga harimu selalu menyenangkan.

***

Kami berjalan menyusuri jalanan di kota gudeg setelah menyelesaikan sarapan pagi. Langkah kami terhenti saat melewati ikon universitas ternama di Jawa Tengah ini. Untuk ukuran orang yang baru pertama kali datang ke sini, rasanya tak afdal jika kami tak menyempatkan diri untuk berfoto ria dengan baground landmark tersebut.

Setelah puas berswafoto, kami melanjutkan perjalanan menuju ke gedung tempat kami menghadiri seminar kesehatan yang diadakan oleh mahasiswa fakultas kedokteran di kampus biru tersebut. Tema dari seminar ini adalah tentang motivasi kedokteran dan tips memahami psikologi manusia. Sebenarnya, ini tidak terlalu berhubungan dengan jurusan kami, dan bahkan sertifikat yang kami dapat pun nantinya tidak akan berguna sama sekali. Namun, karena kami masih semangat-semangatnya menuntut ilmu, ditambah salah satu pembicaranya adalah motivator terkenal, dan yang satunya lagi adalah seorang dokter yang kebetulan juga berprofesi sebagai artis, maka tentu saja kami tertarik untuk hadir. Untuk ukuran orang yang jauh dari ibu kota, bisa melihat mereka secara langsung, jelas itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi kami.

Saat kami sampai pada gerbang masuk fakultas kedokteran, lagi-lagi kami berhenti dan berfoto ria di depan pintu masuk yang bertuliskan Faculty of Medicine tersebut, seolah semua sudut di tempat ini tidak luput dari kamera kami. Kami memang terkesan kuno, tapi saat datang ke suatu tempat, yang kecil kemungkinan untuk bisa kembali lagi, tentu saja kami harus membuat kenang-kenangan. Terlebih, tempat ini lumayan megah. Bangunannya sangat modern, seperti bangunan ala Eropa. Tembok-temboknya pun terlihat kokoh, dengan tempelan bebatuan alam berwarna hitam di satu sisinya.

Kami sebenarnya tidak tahu kemana harus berjalan, sampai seorang panitia berkaos biru menyapa, dan menawarkan diri untuk mengantar kami menuju auditorium tempat seminar akan dilangsungkan. Kami dengan senang hati mengikutinya, dan berpisah saat sudah berada di depan gedung yang kami maksud. Tidak lupa, ia juga menjelaskan proses pendaftaran peserta dan tindakan setelahnya. Berhubung waktu masih panjang, ditambah tidak banyak mahasiswa yang datang, lagi-lagi kami mengambil foto di depan tugu berbentuk segitiga runcing di depan auditorium. Terlihat juga beberapa mahasiswa dari universitas lain sedang duduk-duduk di bangku marmer yang ada di taman, dan beberapa diantaranya juga melakukan hal yang sama seperti yang kami lakukan. Hangatnya matahari pagi, sepertinya semakin menambah semangat kami yang ada di sini.

Setelah puas mendokumentasikan tujuan kedua, kami pun segera menuju ke tempat pendafataran peserta.

"Ini, bukti pembayaran untuk tiga orang peserta," kataku sambil menyerahkan slip transfer kepada dua orang panitia di meja pendaftaran.

"Eh ... lihat, lihat! Ada oppa - oppa berkacamata," kata Alvi histeris sambil menyenggolku, seolah tidak peduli bahwa panitia di depan kami tersenyum melihat tingkahnya.

"Vi, jangan malu-maluin," kata Mei sambil mengeratkan giginya, dan berusaha menurunkan suaranya serendah mungkin supaya hanya Alvi saja yang mendengarnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi tingkah kedua temanku dan melanjutkan aktivitasku mengisi data yang diminta panitia. Aku tak tertarik menengok ke arah oppa yang dimaksud Alvi. Sebagai seorang muslimah, aku harus membatasi pandangan. Terlebih kepada pria, yang tidak seharusnya menjadi objek kepuasan mata kaum hawa. Meskipun tak sepenuhnya berhasil, tapi aku tetap mengusahakannya.

Alvi memang orangnya seperti itu. Setiap melihat orang yang menurutnya tampan, ia akan memanggilnya dengan sebutan oppa. Ia sangat menggemari aktor Korea. Hampir semua playlist lagunya adalah lagu dari Negeri Gingseng yang dinyanyikan oleh para pria cantik itu. Kalau ditanya mengenai biodata biasnya, ia akan menjelaskan secara panjang kali lebar kali tinggi, bahkan lebih rinci dari pada wartawan infotainment sekali pun. Bukan berarti aku tak mau mengingatkan Alvi tentang apa itu zina mata ya, tapi rasa toleransi ini mengalahkan kewajibanku sebagai sesama muslimah. Terlebih saat aku kembali bercermin, diriku yang tak sepenuhnya benar, serta teman-temanku yang mulai berubah, terbawa arus modernisasi, membuatku semakin tak percaya diri untuk mengajak mereka berdua hidup seperti Sayyidina Fatimah di zaman Rosullulah.

"Ini, tiket untuk tiga orang, silahkan tukarkan kuponnya dengan seminar kit dan snack di sebelah sana," kata panitia itu sambil mengangkat tangannya menunjukkan lokasi yang ia maksud.

Pandanganku mengikuti arahan yang disebutkan panitia tersebut. Namun, alih-alih melihat lokasi penukaran, pandanganku justru terpaku pada sesosok pria berkacamata yang berkaos sama seperti panitia di sebelahku. Sesosok pria dengan poni menjuntai, dan berkulit sebening porselen. Sesosok pria yang selalu tersenyum, dengan matanya yang selalu menyipit. Sesosok pria, yang selalu menghiasi pikiranku beberapa bulan terakhir ini.

Dia ...? Dia ada di sini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro