18. Anai

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-----


Baron mengangguk, masih beruntung ia punya semangat hidup lebih tinggi ketimbang teman gondrong yang ada di depannya ini. Yang syok seketika, setelah diberitahu kebenarannya oleh Trisna.

"Tapi tetep aja, gue salah, Den." Dengan lirih terucapkan pengakuan bersalah oleh Baron dengan tertunduk dalam-dalam.

Puk!

"Semua orang berhak mengakui kesalahannya, Ron. Gue juga, gue salah karena bersikap seolah-seolah nggak mengakui masa lalu gue sendiri. Dan sekarang, mungkin Tuhan pengin menyadarkan gue lewat lo yang ngomong ke Trisna," ujar Raiden sambil tersenyum lebar.

Rasa ikhlas, lega dan senang kini bercampur manis dalam dirinya. Selanjutnya, ia sudah berjanji pada hatinya bahwa tidak akan menyembunyikan apapun lagi. Karena memang itu tak perlu.

"Ehm," dehaman Trisna membuat kedua sahabat karib itu menoleh.

Raiden mengangkat satu alisnya, "Apa?" lantas keningnya berkerut menunggu apa yang kelak dikatakan Trisna padanya.

"Maaf udah memotong obrolan kalian. Tapi siapa yang biasanya di rumah lo, Den?" tanyanya dengan wajah innocent.

Baron menjentikkan jarinya, sikap lamanya kembali muncul setelah lama terpenjara oleh rasa bersalahnya.

Ada seringai nakal di bibirnya sebelum menjawab pertanyaan Trisna, "Yang di rumahnya itu! Ibu kost!" jawabnya asal lalu tertawa dengam volume yang maksimal.

Ia tak menghiraukan pandangan tajam dari mata Raiden yang mengarah langsung padanya. Baron hanya melirik dengan alis dinaikkan sekilas, lantas tertawa lagi. Tertawa karena beban sudah tak bersisa lagi dari dalam dirinya.

Trisna ternganga, ia hendak tertawa. Namun, dengan ekspresi Raiden yang nyaris sama dengan seperti Voldemort berhidung mancung, menggagalkan pita suaranya untuk mulai tertawa.

Sebaliknya, ia memilih untuk bertanya, "Beneran ibu kost ya?" tanyanya dengan merendahkan kepalanya yang sedari tadi hanya menyaksikan Raiden dan Baron sambil berdiri.

Raiden menghela napasnya, menggelengkan kepalanya lantas berbalik untuk menatap wajah Trisna. "Bukan. Dia itu saudara gue, ya, karena dia ga punya anak. Ya, sebagai gantinya, jadilah gue!" jawabnya sambil menunjuk dirinya sendirin saat mengucapkan kata gue.

Trisna mengangguk. Titik terang sudah menyala di otaknya. Pertanyaan yang tersimpan sudah diungkap dengan jawaban yang cukup jelas dan masuk akal.

Skip

Raiden sejak tadi berdeham, jauh di dalam otaknya kini terbentuk garis-garis rumit. Konstelasi kata-kata yang akan diucapkan olehnya menari-nari disana.

Ia selalu menelan saliva ketika sudah melihat peluang untuk bicara, namun tetap diam. Pilihan diksi itu membuat kepalanya panas, lantas berkeringat.

"Ehm," akhirnya dehaman dengan volume yang lebih kencang ia lepaskan, meski perasaannya tak jauh lebih dari tadi.

Trisna menoleh, mematikan layar ponselnya dengan sekali tekan di sisinya.

Sembari memainkan ujung lengan sweaternya yang panjangnya melebihi pergelangan tangannya, ia menunggu apa yang akan diucapkan Raiden. Berharap sangat apa yang akan diucapkan oleh Raiden adalah hal yang ia harapkan.

Menelan ludah. Raiden tengah menyiapkan jiwa dan raganya untuk mengutarakan perasaannya, "Tris," satu tarikan napas. Ucapannya terpaksa dihentikan.

Di dalam batinnya, sudah rampung sejuta ujaran penuh maki dan umpatan pada dirinya sebab kebodohan yang tiba-tiba menimpanya seperti hujan lebat.

Kembali menelan ludah, pun mengembalikan fokusnya pada kata-kata yang akan diucapkan.

"Tris, gue ... gue suka sama lo,"

Jari-jemari yang sejak tadi ia kepalkan keras-keras seketika menjadi longgar seiring detik demi detik berlalu setelah kata-kata itu terucapkan.

Kini, giliran Trisna yang menganga, terkejut dengan apa yang sudah dikatakan oleh Raiden. Sebenarnya harapannya sudah lima puluh persen tercapai lewat apa yang sudah terucapkan dari bibir Raiden barusan.

Tapi, sekejap kebingungan melandanya.

Gue harus jawab apaan?!

"Gimana, Tris?" pertanyaan Raiden menarik kesadarannya kembali, sepertinya tempo untuk menjawab sudah dekat.

Glup,

Glup,

Glup..

Trisna berdeham kecil plus panjang. Setelah menelan saliva kesekian kalinya, akhirnya putuskan untuk membuka mulut.

"Den, gue enggak bisa jawab sekarang," ujarnya cepat.

Air muka Raiden berubah tegang lagi. "Kenapa gak bisa sekarang aja, Tris?"

Trisna kembali berdeham. Ia mengusap seluruh bagian wajahnya, dengan sangat terpaksa ia menjelaskan pada Raiden. "Gue butuh proses, cara dan waktu buat ngejawab, Den. Sama kaya lo waktu pengin bilang ke gue, iya kan?" jawab Trisna lebih lancar dengan senyum terkembang ketika mengucapkan kalimat akhirnya.

Raiden meringis lantas mengangguk, sudah kesekian kalinya Trisna memberikan jawaban yang benar dan dibenarkan oleh hatinya. Dan sudah kesekian kalinya, Trisna membuatnya terperangah, pun kagum.

Dari awal ketika gadis berambut legam itu membuatnya jengkel dengan kehadirannya di tengah-tengah jalan di sekolahnya.

Kemudian, saat tragedi kantin—yang diam-diam kini ia syukuri—itu yang membuat dirinya mengawali sebuah perkenalan unik dengan Trisna.

Hingga tugas atau hukuman aneh yang ajaibnya justru membuat hubungan keduanya semakin dekat. Meski hal ini baru disadari Raiden di detik saat ia dengan sungguh-sungguh menikmati senyuman Trisna.

Dasar Anai! Tuduhan Raiden di dalam batin saat ia menarik hidung Trisna

Suatu saat Trisna harus bertanggung jawab karena sudah bersalah. Karena membuatnya berbunga-bunga dan,

Membuatnya jatuh cinta!



-----

Aiaiai :v
Aduh maaf banget. Saya baru selesai dari rutinitas belajar soal-soal😅
Doain hasilnya bagus ya :)
Comment endingnya gimana ya, ya? ;-;
Kesannya gimana? Suka ga? Gimana?
Ahaha bawel ya thornya :v
Ya udah deh. See ya di next project /semoga ada, aminnnn ></
Bubayyyy

-Yang lagi dengerin lagunya Mas Jimin💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro