2. Peiskos

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


—————


"Gue tuh gak mau dipaksa. Gak mau dikekang. Gak mau begituan pokoknya!" kata Trisna bicara sendiri ketika ia sedang berjalan menuju halte.

Sebelum berangkat, ia sebenarnya sudah mengantongi lampu merah alias dilarang keluar. Tapi tetap saja ngotot, alasannya ia ingin refreshing setelah nyaris sebulan gak keluar rumah kecuali sekolah atau disuruh orang tuanya.

Namun, Trisna bukanlah orang yang dengan mulus untuk mengungkapkan kekesalannya, jadi kini ia melakukan sesuatu yang tak sesuai dengan rencana sebelumnya.

Ia mampir ke sebuah kafe.

Trisna melenggang masuk. Dan nalurinya merasakan kehangatan di dalamnya. Bukan kehangatan seperti di dekat api. Tapi, rasa hangat yang berbeda. Entah apa itu.

Lalu ia duduk, selang beberapa menit datanglah seorang pramusaji, mencatat pesanan super sederhana milik Trisna karena ia memang tidak membawa uang banyak di dalam dompet.

Beberapa saat kemudian datanglah pramusaji yang sama, tangannya membawa nampan berisi pesanan Trisna tadi.

Jarum jam panjang nyaris sampai di angka 4, artinya sudah dua puluh menit sejak Trisna duduk di bangku bulat dengan alas berbentuk lingkaran berwarna putih.

Namun, ia mendengar alunan nada-nada dari alat musik, tuts-tutsnya di tekan dengan penuh penghayatan hingga menghasilkan harmoni, yang kelak dirindukan olehnya.

Ia merasakan ada sesuatu yang berat, menggantung di seluruh kujur tubuhnya. Seolah-olah seluruh semesta menariknya supaya tidak meninggalkan bangku yang terletak di pojok kanan itu.

Kebetulan—Trisna percaya untuk pertama kalinya—lagu yang sedang dimainkan adalah lagu favorit Trisna. Bahkan, sejak ia masih kelas 6 SD.

Tiba saat mengerti jerit suara hati, letih meski mencoba, melabuhkan rasa yang ada.
Mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu.
Temani air mataku, teteskan lara.

Sepenggal lirik yang disenanginya dinyanyikan dengan penuh hasrat oleh seorang penyanyi yang duduk sendiri di sebelah dalam kafe.

Cinta kan membawamu
Kembali disini. Menuai rindu, menghapus perih.
Bawa serta dirimu, dirimu yang dulu mencintaiku, apa adanya.

Penyanyinya, memakai topi jenis bowler warna hitam—miring karena posisi duduknya sedikit bungkuk—jin warna biru muda dan hem plaid over size yang kini sedang naik daun. Seakan memiliki chemistry yang kuat dengan lagunya, penyanyi itu seperti menghipnotis Trisna. Setidaknya, begitulah yang Trisna rasakan sekarang.

Kedua mata Trisna terpaku menatapnya, tangannya membeku dan mulutnya bahkan hampir terbuka, tapi tidak jadi karena lagunya sudah habis. Penyanyinya mengucapkan terimakasih, membungkuk sopan di depan para pengunjung kafe pagi ini.

Ketika penyanyi tersebut mengedarkan pandangannya, hingga tepat pada Trisna yang duduk manis di pojok. Matanya berhenti cukup lama, lantas ikut tersenyum kecil kala melihat Trisna tersenyum, ada yang menjalari otot pipinya, seolah menyuruh untuk tersenyum. Walau tidak selebar Trisna.

Skip

"Sip sip!" ujar Baron tiba-tiba dengan mengacungkan kedua ibu jarinya.

Alis Raiden bertaut, "Apa?"

"Nih!" ujar Baron lagi, dengan menunjukkan layar handphonenya dan terlihat di situ, video yang berkali-kali dimainkan oleh Baron.

Video Raiden saat bermain piano di kafe. Ketika melihatnya untuk pertama kali, Raiden langsung berdecak kesal, "Itu yang ngerekam siapa?" ucapnya ketus sambil merampas handphone dari tangan Baron, lantas melihatnya lebih dekat dan saksama.

"Customernya," ucap Baron sembari mengangkat bahu dan nyemil.

Raiden masih sibuk dengan handphone Baron, melihat dengan jeli video yang hanya berisi dirinya disertai dengan melodi-melodi yang dihasilkan dari tuts-tuts piano.

"Gue tadi ketemu orang," ucap Raiden tiba-tiba, diikuti dengan gerak tangannya mengembalikan handphone kepada Baron.

Baron mengambil handphonenya, dalam hatinya, ia banyak-banyak bersyukur karena ia masih bisa mendapati handphonenya dalam keadaan nyala, karena ia tau, akan ada banyak insiden yang tidak diinginkan jika Raiden sedang marah.

"Ketemu siapa?"

"Ya, orang," kata Raiden, seperti pada dirinya sendiri. Ia sibuk dengan jendela ruang tamu rumah Baron, ia sibuk memandanginya, sibuk dengan rasa kagumnya terhadap spot yang menurutnya unik itu.

Baron menarik napas panjang, "Ya kali ada nama manusia itu 'orang', siapa orangnya?" Baron nampak gemas pada Raiden yang mendadak diam dan misterius ini.

Raiden menarik napas panjang, lelah dengan otaknya yang menayangkan berulang-ulang senyuman cewek yang ia tak sengaja lihat di kafe beberapa jam yang lalu.

Ia menoleh, sebenarnya enggan tapi ia paksakan saja. "Lupain aja deh. Semua cewek sama." Raiden berbalik, kembali menatap spot jendela ruang tamu Baron yang sempurna memperlihatkan awan kelabu dari sela dedaunan.

Diluar mendung, gelap melingkupi seluruh langit yang sebelumnya nampak terang dan biru sejauh mata memandang. Raiden berharap cewek pemilik senyum itu sudah di dalam rumah, menghangatkan badan. Supaya bisa sehangat senyumnya.

———————————

Lets say thank you very much to zolarefiaulia__ for her knowledge about fashion and her time for my insane behaviour :v and I don't know how to say thank you with sweet words like her imagine wkwk.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro