7. A Confusion

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


—————

Televisi kali ini gagal menjadi penghibur terbaik baginya. Sejak tadi, ia hanya menikmati suaranya tanpa melihat apa tayangkan di layar datar itu.

Sejak tadi ia sibuk menyalin catatan. Sudah beberapa menit yang lalu melupakan dunia di sekitarnya, baginya masa depan sekolahnya lebih penting dari pertanyaan apakah Tom Holland akan datang melamarnya minggu depan?

"Catatan ini kapan selesainya?" ujar Trisna masih dengan tangan yang sibuk.

Ia sudah cukup bosan, ditambah Mamanya yang tidak ada di rumah, alhasil tidak ada makanan yang bisa dimakan, paling-paling hanya kerupuk dan nasi. Acara di televisi pun hanya sekedar talkshow yang sedang fokus membahas hal-hal viral atau hanya fokus dengan kehidupan pribadi si narasumbernya.

Tik..tok..tik..tok..

Jam dinding tak pernah rela untuk diam, sebagaimana dengan tanggung jawabnya untuk menjaga waktu bagi siapapun yang melihatnya. Kapanpun. Dimanapun.

Dan bagi Trisna, jam dinding seperti melambat, seperti siput yang menjadi jarumnya.

"ASTAGA!!! Terus mulai tadi gue nulis apaan?! Gak selesai-selesai!" ujarnya berteriak dengan gawatnya, lantas kembali lesu lagi. Kepalanya diletakkan begitu saja di meja, ia lemas.

Kepalanya baru diangkat lagi ketika mendengar ponselnya berbunyi.

Tanpa basa-basi ia segera mengangkat telepon tersebut. Diam-diam ia senang karena di jam seperti ini masih ada orang yang berbaik hati meneleponnya.

"Apa?"

Namun yang diucapkannya hanya kata "apa" dengan nada malas pula. Membuat siapapun yang meneleponnya menjadi enggan untuk melanjutkan obrolan.

"Gue mau minta maaf. Soal yang gue kagetin tadi pagi. Soalnya gue juga ga ngerti kalo lo lagi bete."

Mulut Trisna menganga seketika. Kenapa cowok sok galak ini tiba-tiba minta maaf padanya?

"Lo mau maafin gue kan, Tris?"

Kini, kening Trisna berkerut. Apa yang harus ia lakukan?

"Hmm iya. Gue maafin kok. By the way lo ngapain nelpon gue?"

"Ya, gue mau minta maaf."

"Oh cuma mau minta maaf doang."

Trisna kembali lesu. Satu sisi hatinya mengharapkan lebih dari sekedar telepon permintaan maaf dari Raiden.

Raiden mengangguk di ujung sana. Ia merasakan ada yang aneh dengan cewek ini. Tadi nadanya terdengar riang, sekarang lesu.

"Lo kenapa? Diputusin?"

Raiden terkekeh sendiri dengan apa yang telah diucapkannya. Diam-diam ia juga penasaran apakah cewek dengan tingkah sok berani ini sudah dimiliki orang lain apa belum?

"Ih apaan sih, Den! Gue gak punya pacar!!!"

Tukas Trisna dengan ketus, kali ini ia menyesal sudah mengangkat telepon dari Raiden ini.

"Ya udah biasa aja, Tris. Gue gak paham tuh kenapa cewek jomblo suka sensitif kalo di tanyain tentang status. Jones kali ya?"

Terdengar tawa dari rahang tegas Raiden, ia rasa inilah yang harus ia lakukan. Melepaskan guyonan, lepas selepasnya. Berbeda.

Trisna tertawa. Namun tak sekencang Raiden. Ia masih menjaga gengsinya.

"Lo juga, 'kan?"

Trisna terkekeh kecil, merasa berhasil menskakmat cowok yang sudah menertawakan status jomblonya.

"Yaaa gue ngaku sih. Gue jomblo."

"Yaa lagian mana ada yang mau sama lo, sok galak juga!"

"Biarin galak. Yang penting keren!"

"Ihhh kepedean!"

"Bodo amatlah yang penting tugas yang gue kasih udah lo selesain!"

BEGO! Kok inget sih?! Padahal kan dari pertama ngobrolnya bukan tentang itu! Duh! jerit batin Trisna menjadi-jadi saat Raiden menyinggung lagi tentang not-not yang bahkan ia tidak tau untuk apa.

"Gimana, Nona? Udah selesai apa belum?"

Raiden menghentikan umpatan-umpatan yang tertahan di dalam hati Trisna. Memaksanya untuk mengatakan sesuatu.

"Belum. Mau apa lo?"

"Ohh belum. Ya udah gak apa sih, gak masalah."

Sungguh di luar dugaan Trisna kalau Raiden akan mengatakan itu. Benar-benar di luar dugaan!

"Inget Tris! Nunggu itu ada batasnya. Gue gak mau aja, kalo lo ngebuat sia-sia kesempatan ini."

"Kesempatan apa?"

"Kesempatan buat nunda. Karena mau gimana juga, apa yang udah lo lakuin itu sebenarnya udah buang waktu."

"Apa sih? Gak paham gue."

"Ya, ntar aja mikirinnya. Ribet kalo mikir sambil telpon."

"Gak jelas amat sih," gerutu Trisna pelan, ia tidak mau membuat kecewa niat minta maaf Raiden.

"Ya udah deh. Tugasnya gimana, Den? Kurang dikit soalnya,"

"Ya lo anter ke rumah gue,"

"Gue ga tau rumah lo. Lo aja dateng kesini? Gimana?"

"Dasar! Ya udah besok gue ambil. Awas aja kalo belom!"

"Siap! Udahan ya. Gue mau ngerjain ini. Bye."

"Ya. Bye."

Skip

Wajah Trisna lesu, jika dibandingkan dengan biasanya. Semalam ia kerja keras demi masa depan dan juga Raiden.

"Harusnya gue gak ngerjain dulu tugas dari Raiden. Kalo gini bisa buyar, ntar," gumamnya sambil berjalan menuju ruang tamu untuk bersiap ke sekolah.

Keadaan Trisna memang tak seperti biasanya. Kantong matanya yang biasanya tertutupi oleh keceriaan kini sedikit terlihat karena lelah. Badannya pun sedikit bungkuk. Cukup buruk dan sudah pasti akan dapat perhatian lebih dari Sarah saat ia sampai di kelas nanti.

"Ma! Aku berangkat ya!" ucapnya memaksakan diri untuk berteriak.

Mamanya mengerutkan kening, lantas meraba kening anaknya yang terlihat seperti nenek-nenek panti jompo, "Kamu sehat? Kalau nggak nanti absen aja," ucap Mamanya meraba pipi Trisna dengan punggung tangannya.

Trisna menggeleng tanpa menyebutkan alasan. Lantas melenggang setelah memberi salam pada Mamanya.

Skip

"Den, tugas yang lo kasih ke Trisna udah selesai?" ujar Baron, setiba ia di bangku kelas yang sudah berpenghuni.

Si penghuni, Raiden. Ia hanya mengangkat bahu. Malas menanggapi lebih jauh.

"Wah otak lo sengklek nih! Kalo sama si Yeyen aja lo ambil makanannya. Giliran sama Trisna kaya kebo dicocok hidungnya. Nurut!" kata Baron nyerocos, menaruh tas di sebelah kanan Raiden dan mengambil ponselnya dengan santai.

Raiden terpaku. Tubuhnya diam, darahnya seperti tersedot keluar, entah mengalir kemana.

Apa yang diucapkan Baron benar. Ia sudah salah bersikap. Ia tidak seharusnya begini pada Trisna, cewek yang baru saja dikenalnya. Apalagi, ia kenal Trisna gara-gara cewek itu menyebalkan. Kenapa sekarang ia malah menurut?

Ia harus segera mengambil tugasnya. Demi sikap tegas juga wibawa dan tanggung jawab yang ia berikan pada Trisna. Ia harus tegas!

"Den, Raiden! Woy, Den!" Raiden menoleh, ia baru tersadar kalau ada tangan di bahu kanannya. Sepertinya ia sudah terdiam terlalu lama.

"Ya elah!" Baron menepuk keningnya. "Gue nyebut nama Trisna, lo langsung kepikiran dia? Lo jatuh cinta ya?" ucap Baron sambil tersenyum-senyum genit dan mengedip-ngedipkan mata sebelah kirinya.

Raiden menghela dan mengembuskan pelan, "Apaan sih lo, Ron?! Nih milih onde-onde apa pastel?!" kata Raiden sengit, menjulurkan kedua tangan-yang kiri telapak tangan datar, yang kanan dikepalkan dan tingkah Raiden benar-benar di luar ekspektasi Baron yang menurutnya sejak tadi tenang-tenang saja.

Di dalam hatinya, meski bersikap tetap mengerikan. Raiden masih bimbang dengan apa yang hendak dia lakukan setelah membuat Trisna marah.

—————

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro