ANEMOIA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

-Armylda-
|Anemoia [cerita pendek]|
|2000 kata|
|End|

Alma kecil tidak pernah tidur di malam-malam tertentu. Ketika Bapak pulang dengan sekantung kepingan koin— atau Ibu yang mengomel hebat menyambut Bapak.

Aneh, sang istri tidak mau uang?

Kata tetangga, keluarga Alma itu terkena kutukan. Bapak yang katanya kerja kantoran, selalu menjadi bulan-bulanan warga— mereka bergunjing di belakang beliau sebab tidak ada yang tahu lelaki itu bekerja dimana.

Sang istri yang untungnya berbudi pekerti luhur dengan sabar menasehati suaminya. Mengatakan sesuatu seperti, "Itu tidak ada gunanya suamiku, mereka susah menerima kaum kita."

Alma yang penasaran berjingkat mendekati pintu,"Ini rahasia sayangku. Kami yakin banget kali ini pasti berhasil, periode penyihir akan dimulai!"

Wanita itu terkekeh manis sebagai respon, mengenakan terusan batik untuk tidur sambil memijit bahu suaminya yang terbalut kemeja polos.

Si tunggal Alma mengangkat alis tinggi-tinggi, menjauhkan telingganya dari lubang pintu sambil berbisik binggung.

"Apa katanya ... Pen— sisir!?" Alma langsung melirik sisir besi di kasurnya, pemberian paman kumpeni rekan kerja ayah. Mungkin orang itu termasuk anggota sisir-sisir yang dibicarakan orang tuannya.

Cukup sampai sana.

Ada satu cerita sekaligus tragedi, sebelum keluarga manis itu terbentuk.

Tepat sepuluh tahun lalu, Alma lahir sebagai pribumi di tanah ini. Malam hari, di tengah hujan deras mereka tidak sabar menunggu jabang bayi lahir.

Berbekal mobil pinjaman noni baik hati, sang Ayah membawa Istrinya pergi ke rumah sakit.

Terdengar begitu lancar.

Namanya takdir, tidak ada yang tahu.

Malang bukan kepalang, di malam itu hal malang terjadi, kedua insan tersebut kehilangan bayinya. Di pinggir lorong rumah sakit si calon Ayah frustasi dan kalut setengah mati. Dia pasti berharap besar dengan anak pertamanya.

Disisi lain si Ibu dari bayi diam dalam ruang bersalin, memeluk buntalan bayi tanpa tangis, ia menepuk pelan bedong batik yang sengaja disiapkan untuk hari ini.

Si bayi ndak selamat mbak.

Kata Ibu, dokternya bilang begitu.

Tidak ada yang tau saat itu— di luar Bapak sebenarnya setengah mati tidak meruntuhkan tembok rumah sakit. Sihir dalam tubuhnya meletup-letup kata beliau, tak kasat mata jika manusia melihat itu, kecuali "Mereka," yang sama dengan Bapak.

Tepatnya penyihir.

Nah, ada kejadian keren dan duka sekaligus. Kau tahu? Sebelum Bapak kelepasan menghantam tembok dengan sihir, tiba-tiba seorang wanita datang menghampiri. Itu noni Belanda baik yang tadi meminjamkan mobil! dia menggenakan gaun tidur dan payung berenda, entah bagaimana datangnya beliau langsung mengabarkan berita yang terbilang buruk.

"IBUMU! Dia tewas, baru saja, indlander sedang mengurus itu," Ucap sang wanita dengan logat asalnya.

Bapak terkejut, namun dia belum bereaksi apapun ketika seseorang meneriakinya dari depan ruang bersalin sang istri.

"Si bayi bernapas. Dia selamat!"

....

Buntelan besar berbentuk manusia terlihat dari sini, mengenakan daster ungu dengan lengan sepanjang siku yang jelas memperlihatkan kulit keriputnya yang bergelambir.

"Yatuhan! Jangan sampai pikun sungguhan."

Si Nenek ungu marah-marah di depan layar komputer anaknya, menggenakan kacamata berlensa tebal, jari-jarinya yang agak pengkor nampak ragu melanjutkan naskah abal-abal buatannya.

Hujan kian deras diluar, tinggal tunggu warga lewat saja— beliau pasti disangka makhluk halus. Menghadap jendela dengan rambut cepak putih ke akar-akarnya. Siapa yang tidak tremor?

"ASEM! Kenapa gak jemput dari tadi?!" Sembur Nenek ungu sambil menekan dadanya yang berdendang tiba-tiba. "Matilah aku sebentar lagi."

Nafasnya makin putus-putus, namun beliau belum mau diajak menyapa tuhan— dan malah menarik napas kuat-kuat hingga kualat sendiri. Tangannya terangkat sedikit dan melambai pelan, beberapa detik selanjutnya sekotak obat melesat, menuju meja komputer di depan beliau.

Nenek sekarat itu bergumam panik.

"Matilah,"

"Jangan, jangan mati dulu,"

"KURANG AJAR! ANAKKU MALAH MINGGAT,"

Nenek ungu ketar-ketir membuka tutup obat, mengorek isinya lalu menelan dua butir benda bulat berwarna putih, sekaligus melayangkan segelas air mendekat.

"Oh, matilah satu sesepuh ini."

Kasihan sekali orang itu.

Ajal nenek sedikit melambat sepertinya, sebagai gantinya beliau mengoceh sambil menatap naskah dadakan yang dia buat secepat kilat.

"Alma ... Alma, kasihan sekali hidupmu cah ayu. Lahir tanpa ingatan, lalu tumbuh sebagai perawan tua. Sudah kawin, eh jodohnya malah mati," Si nenek tertawa geli, masih mengamati layar komputer— yang malah semakin merusak matanya. Tangan beliau diatas meja, menangkup satu sama lain, dengan jelas memilih berhenti menyelesaikan naskahnya.

Untuk ukuran lansia, mulutnya ini tergolong frontal parah.

Kalian berpikir si nenek pengidap bipolar?

Beliau kembali melanjutkan setelah meneguk segelas air lagi. "Aku gak bisa mengetik ini Alma, kamu gak boleh tahu— orang tuamu mati! HAHAHAHAHAHA ... Baguslah kamu sisiran saat itu nduk, sekarang jangan mengintip orang tuamu lagi. Bagus, sembunyi di kolong ranjang waktu ledakan datang. Percikan biru itu sakit, jangan sentuh! Diam dan tetap peluk sisirmu. Tidak, jeritan itu bukan dari ibumu. Itu hanya suara kelapa jatuh nduk, bukan! bukan bapak."

Nenek ini langsung termenung, matanya penuh dengan air mata namun menolak untuk jatuh. Ekspresi nya sama dan tidak ada yang berubah.

Masih penuh lelucon hambar.

"Itu namanya sihir, bukan sisir goblok! Bapak itu lumayan hebat, manusia pilihan— HAHAHAHAHAHA."

Bukan, beliau bukan sakit mental apalagi gila. Semuanya benar, cerita yang ia buat— bukan imajinasi belaka. Ucapannya dari awal, seratus persen sungguhan.

Umur nenek tahun ini menginjak 80 tahun. Lumayan tua, namun menurut beliau itu terlalu muda untuk pergi menemui tuhan. Mentang-mentang cewek sihir, si Alma nyaris menggunakan kelebihannya setiap waktu. Benar-benar keuntungan besar untuk manusia pemalas.

Saking seringnya ia mengandalkan sihir, pernah suatu waktu Alma remaja di kejar warga karena ketauan berada dalam poros lingkaran mangga melayang. Dia melucuti satu persatu mangga di kebun orang sekaligus ia makan di tempat.

Pindahlah si menyedihkan Alma, kabur menaiki delman yang lewat untuk mencari tempat tinggal baru di kampung seberang. Di tinggal mati Bapak dan sesosok Ibu di malam yang sama, terbunuh rapih di tangan sesama kaumnya.

Bapak saat itu berumur 40 tahun saat melamar wanita bernama Lajani yang ia temuinya ketika perkumpulan rutin penyihir setempat— tanpa disangka, ternyata Lajani berbeda tujuh tahun dibawah beliau. Kagetlah Alma saat mendengar cerita Ibunya, si anak kampret ini mengatakan kata, "Konyol." terang-terangan yang membuat Lajani sekaligus si Ibu terkejut melihat kelakuan anaknya.

Namanya juga jodoh, hanya tuhan yang tahu toh nak.

Bapak tiba-tiba muncul dari dapur, sengaja berkacak pinggang sambil meneguk air dari gelas keramik, yang kami beli pekan lalu— dari sekelompok pedagang Cina. Alma yang berusia lima tahun mendecak kesal, mengganggap gelas itu khusus miliknya sebelum benar-benar bangkit dan menyeruduk si Bapak.

Pahamlah Lajani saat itu, darimana kemunculan sifat sembrono sang anak.

Setelah orang tua Alma menikah, mereka bahkan menunggu sampai lima tahun sebelum Alma hadir diantara keluarga kecil miliknya. Itupun dengan bayaran besar yang tidak pernah terduga.

Lucu, nenek Alma mati tanpa melihat cucunya bernapas.

Bimbang bukan kepalang, Bapak sejenak binggung ingin menangisi ibunya yang meninggal atau menggendong anaknya— kebetulan ia sedang melirik aneh sang Bapak.

Ajak imajinasimu bekerja bung! bayangkan saja bayi umur dua jam menyipit kesal.

Mungkin si bayi geram melihat Bapaknya tersedu hebat sekaligus ragu-ragu menggendong tubuh kecilnya. Tangan beliau ketar-ketir saat menerima buntelan itu dari Istrinya yang tersenyum.

Sontak tubuh si bayi pasrah, ikutan terguncang hebat dalam gendongan si Bapak yang gemetar tidak jelas.

"Kunamakan dia Alma. Anakku, Alma." Beliau menyeru sembari menimang si bayi sedikit tenang.

Sang Istri terkejut dan heran, "Itu, nama Ibumu mas Rama ... Oh, yatuhan ampunilah dosa-dosa beliau," Wanita itu menutup mulut, kembali bersedih mendengar kabar mertuanya yang sudah berpulang.

Bukan salah mereka menamakan anaknya dengan nama almarhum si nenek. Mungkin ada alasan sendiri, atau sama sekali tidak ada alasan lain. Masalahnya bukan disitu, jika kalian sadar sesuatu.

Rama— itu, nama si Bapak dari cerita ini. Syukur-syukur lahir setelah tanah ini merdeka dan bebas penjajah. Sudah di beri yang mudah, malah ngelunjak. Rama yang hanya tinggal berdua dengan wanita tua yang kebetulan ibunya. Memilih jadi lelaki nakal yang kampret bukan main.

Terdidik sihir dari kecil hingga remaja— Rama sudah mampu menghanguskan dapur rumahnya. Dia kaget, Ibunya lebih syok. Beliau murka dan menampar bokong anak lelakinya dengan sulur sihir tak kasat mata.

Mengejar si anak sampai menembus-nembus dinding dengan mudahnya bagi mereka. Tersandung meja sesekali sampai Rama memilih pasrah dan berbaring di lantai keramik berwarna merah tua.

Sejujurnya kelakuan Rama itu bertahan sampai dewasa. Ketika teman seumurannya sudah menimang anak, dia masih berleha-leha di rumah bersama ibunya yang semakin tua.

Atau sesekali pergi menuju kelompok penyihir yang terbentuk tidak sengaja, itupun karena Rama sering mengajak bergabung para penyihir yang di temuinya sesuka hati.

Jumlahnya hanya satu lusin, tapi dari sana juga 'kan? si Rama akhirnya ketemu jodoh lalu kawin.

Ibunya Rama— yang bernama Alma tadi. bersyukur bukan main. Ternyata anaknya masih waras!

Kita kembali lagi ke nenek ungu yang masih bengong di depan komputer. Entah menunggu nyawanya habis atau apa, tapi beliau terkekeh lalu merenggut berulang-ulang.

Menyedihkan.

Sebelum si nenek kembali tertawa lagi, tiba-tiba ponsel di sampingnya berdering, suaranya cukup kencang— mungkin sekalian menyesuaikan kondisi telingga beliau.

Telepon diangkat, masih di meja dengan speaker menyala. Hanya ada suara gesekan baju, mungkin penelpon tadi sedang berlari atau sibuk dengan sesuatu.

"Halo," tanya beliau dengan wajah mendekati layar. "Siapa nih?"

"HALO BU, INI RAMA!"

"... OH, ANAKKU! Apa kabar nak, sudah makan siang kah,"

"INI MALAM BU—"

Rama, si penelpon sekaligus anak si nenek tidak melanjutkan ucapannya. Atau ponselnya di rebut?

"Selamat malam tante Alma, ini saya temannya Rama. Dua jam lalu Rama mengantar Istrinya Lajani ke rumah sakit— mantu Tante. Sudah lahiran."

Nenek Alma yang wajahnya terpapar cahaya komputer mengerutkan kening sejadi-jadinya sembari mengangkat ponsel lebih tinggi, pegal juga jika punggungnya dipaksa bengkok.

Terlihat menggelikan, namun seram jika kalian melihat ini.

Tante? Lahiran ... Oh, iya yah! Lanjani hamil toh.

"Yaampun, bagaimana kondisinya nok?"

"Anak Rama tidak selamat Tan, bayinya tidak bernafas ... Kebetulan lagi saya laki-laki Tante,"

"HAHAHAHAHA! HA—"

Tawanya terpotong. Diakibatkan dadanya yang sudah diujung derita dan nafas yang nyaris putus. Ponsel terbanting, menghantuk lantai hingga layarnya mati, entah telpon tadi masih tersambung atau putus— namun nenek Alma berusaha menjaga kesadarannya.

"Yatuhan aku paham ... iya, Alma ini akan mati 'kan?"

Si nenek tersenyum di kursi rodanya, bersandar lemas dengan tangan tergantung di sisinya.

Nenek Alma melanjutkan, "Harus! Harus cepat mati. Kasihan anak Rama disana, tidak apa aku rela."

Lagi dan lagi.

Beliau ingin mengucap itu, namun Tuhan tidak sabar untuk menjemput Alma lagi, menyapa sebentar lalu langsung mengantar pulang. Keberapa kali? Entah, tidak ada yang tahu.

Alma pergi kesekian kalinya.

Untuk datang kembali tanpa ingatan apa-apa.

Nenek Alma, ibunya Rama, si tua berdaster ungu di depan layar komputer, tewas malam ini.

Tidak ada yang perlu diceritakan lagi disini.

Mari beralih.

Di tempat yang berbeda dan waktu yang sama. Rama, anak dari nenek Alma. Di masa ini.

Si bayi, tidak selamat buk.

Kata Lajani, dokternya bilang begitu.

Rama yang mendengar kabar itu langsung menelpon Ibunya dengan emosi berlebih. Hanya ingin mengirim kabar, namun lelaki itu sedikit kasar. Makanya teman Rama buru-buru mengambil alih.

Tidak ada selang waktu lama, semua orang dalam ruangan bersalin terkejut bukan main, ketika mayat bayi Rama tiba-tiba bernafas, dalam pelukan Lajani yang Istri, anak itu berhasil menyapa semesta.

"KUNAMAKAN DIA ALMA! ANAKKU, ALMA."

Rama berseru tiba-tiba. Lantang dan tegas seolah tidak bisa di ganggu gugat.

•••

Selesai disini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro