Kadar Endorfin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Terlalu berlebihan rupanya mengharap dia terharu dengan penyambutanku yang sedemikian rupa? Paling tidak kuharap kalimatnya adalah 'thanks for your surprised bukannya what are you doing here!'.

"Menurut kamu?" tanyaku masih bersandar di dinding. Mataku mengikuti gerakannya yang kini mengitari keseluruhan isi apartemen. Bolak-balik seperti bombomcar di pusat mainan anak-anak.

"Bagus!"

"Apanya?"

"Tempatnya bagus. Banget."

"Hanya itu?" tanyaku kepada Ghea yang malah mengerutkan kening tanda berpikir.

"Bapak tinggal di sini juga?"

"Ya."

"Kenapa sih idup saya sengsara banget?"

"Bagian mananya yang keliatan sengsara?"

"Gak di hotel, gak di mess kudu barengan Bapak juga! Adoooooh...," jeritnya sambil menepuk jidatnya kencang.

Seingatku, aku cuma bisa meluangkan waktu ke hotel sebulan dua kali. Jadi, bagian mananya yang dia bilang 'kudu barengan Bapak juga'? Hanya dua kali sebulan, Ghea!

"Kudu barengan sama aku dari mananya Ghea?"

"Kamarnya cuma dua," sungutnya.

"Kenapa dengan jumlah kamarnya, Ghea?" tanyaku penasaran. Memangnya dia berencana memindahkan seluruh warga kost-nya ke sini? Dua kamar kupikir lebih dari cukup!

"Lah, terus saya tidur di mana? Kamarnya cuma dua, yang ngehuni ada lima orang paling gak. Yang besar pasti jatah Bapak ama Erick, yang kecil saya bareng sama Vania dan Mba Ell. Enam sama anaknya Mba Ell. Tujuh kalo Pak Ian ternyata ikutan tinggal di sini juga. Jatah saya sofa di ruang televisi ini deh kayaknya. Itu juga kalo Erick betah desak-desakan bertiga ama Bapak, kalo saya telat dikit menjajah sofa, alamat tidur di lantai, Pak," cerocosnya seperti petasan baru disulut.

Kali ini aku benar-benar melongo. Kambing dipakaikan bedak juga takkan bisa membuatku sebegini melongonya.

"Nyesel deh saya tadi siang ngelepasin kost. Udah pede pamitan sama Ibu Kost bilang dapet fasilitas mess dari kantor," rutuknya sambil bersandar di dinding layaknya orang frustrasi.

"Nyesel?"

"Bangetlah."

"Kenapa? Karena ngerasa lebih nyaman di kamar kost?"

"Itu juga. Selain itu, gini-gini mah saya orang baik, Pak. Gak pernah saya tumplek blek serumah sama kaum Adam. Bisa stroke Bapak saya di rumah kalo tau, paling paitnya bakal dikawinin paksa," keluhnya masih menggerutu.

"Kawin?"

"Iya kalo cowoknya satu, lah ini minimal tiga! Empat sama anak Mbak Ell kalo pun diitung juga. Bapak saya bakal bingung mau kawinin sama yang mana."

Aku bahkan bisa tersenyum lebar, "Kalo hanya itu cara buat nikahin kamu, kenapa gak dari dulu ngomong, Ghea?" tanyaku. "Cukup tinggal serumah dan bakal dikawinin?"

Dia mendelik marah. "Ah...Bapak gak ngerti sih. Kalo kata Bapak saya inget iman, Pak!"

"Ah, kamu kalo lagi ciuman emangnya ingat iman, Ghea?"

Ghea langsung manyun, "Dalam iman juga ada khilaf, Pak!"

Saat ini aku menyadari, menggoda Ghea lebih menarik daripada menggoda Mami.

"Kenapa sih harus barengan ama cowok messnya?" gerutunya lagi.

"Kenapa harus misah kalo bisa ngumpul?" tanyaku usil. "Aku gak suka LDH, Ghea?"

"Apaan tuh?"

"Long Distance Home."

Ghea mengernyit. Paham sekali seandainya ada benda di tangannya pasti dahiku akan menjadi sasaran empuk timpukannya. Tenang saja, semua benda ringan yang bisa diangkat dan bisa dilemparkan Ghea ke arahku sudah di amankan di Polsek terdekat.

"Lagian Bapak...," telunjuk lentiknya mengarah padaku. "Harusnya gak boleh dapet mess. Walaupun yang punya hotel tapi profesional dong, Pak. Orang nongol di kantor aja paling cuman dua minggu sekali!" katanya sambil menyipitkan mata. Memandangku seolah aku adalah koruptor kelas kakap yang sebenarnya tak berhak mendapatkan fasilitas mess. "Mayan ngurangin satu cowok untuk dipertanggungjawabkan di akhirat," gumamnya lagi.

Mau tak mau aku harus mengepalkan tangan ke depan mulut, mencegah agar tawaku tak keluar melihat kelakuan ajaibnya. Ghea...Ghea..

"Terus kamu ngapain sekarang?" tanyaku melihatnya yang kini membenturkan telunjuknya ke sisi kepala.

"Ini namanya mikir, Pak. Nyari solusi! Mau nginep tempat Resty malah jauh dari hotel. Mau nyari kost lain sekitar sini, mana ada yang murah. Abis tabungan saya, Pak!"

"Kamu udah ngecek isi rekeningmu?"

"Belom, takut liat potongan-potongan tagihan utang di gaji pertama," desahnya. Brak!

"Oh, terus maunya kamu gimana?"

"Balik lagilah Pak ke kost yang lama dan berdoa semoga belum ada yang ngisi."

"Eh jangan!"

"Kenapa?"

"Di sini saja!"

"Ogah, Pak!"

"Kalo misalnya di sini yang tinggal cuma perempuan kamu mau emangnya?"

"Ya mau lah, Pak. Mau banget."

"Janji?"

"Iyalah. Orang tempatnya bagus gini. Gak papa deh saya sekamar sama Vania, Mbak Ell sama anaknya. Asal jangan sama laki-laki, terutama Bapak."

"Kenapa?"

"Bubar pahala yang udah dikumpulin selama ini!"

"Beneran mau kalo gak ada laki-lakinya atau gak ada aku?"

"Iya. Mau kalo gak ada Bapak," katanya dengan nada terdengar kesal.

"Ya udah, kamu tinggal di sini saja. Aku kan tinggal di sebelah," tunjukku seraya beranjak keluar pintu apartemennya sambil terkekeh pelan.

"Oh gitu," katanya mengiringi langkahku keluar dari apartemennya. "Masing-masing ya?"

Aku mengangguk.

"Terus pintu di kiri itu kamarnya Vania atau Mbak Ell?" tanyanya lagi menunjuk pintu di sebelah kiri pintu apartemennya.

"Mereka...tinggal di tempatnya masing-masing. Hanya kita yang tinggal di sini, Ghea," sahutku sambil meninggalkannya yang masih celingukan memandangi pintu di sebelah kiri.

"Sialaaaaan...Bapak tukang ngibul," jeritnya begitu aku masuk ke apartemenku sendiri.

Mau tak mau aku tersenyum puas. Gotcha! Secangkir ciuman panas menanti setiap malam sepulang kerja rodi di rumah sakit. Rasa-rasanya, semua sepadan!

-oo0oo-

Ponselku berdering keras saat aku baru menyelesaikan mandi sore yang tertunda ke malam hari akibat terlalu excited membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh penghuni baru apartemen di sebelahku ini.

Pak Roeslan, security apartemen ini sudah menerima pesan dariku kalau sosok mencurigakan Ghea sedang berusaha menenteng koper besar atau apa pun itu yang terlihat seperti ingin melarikan diri maka dia harus segera memberitahuku pada kesempatan pertama.

Makanya begitu ponselku berbunyi, aku langsung menyambarnya pada deringan pertama.

Queen Of My Heart Calling...

"Hallo, Mi?" sahutku sambil menempelkan ponsel ke telinga. Posisiku saat ini sedang berbaring miring sambil meraih remote music player dan menyalakannya. Segera mengalun lagu lama Westlife-Queen of My Heart dalam volume pelan. Pas sekali.

"Hallo. Agil, Nak?"

"But until that day you know you are. The, the queen of my heart, the queen of my heart...," kataku menyahutinya dengan mengiringi lagu yang sedang mengalun lembut.

"Oho, seandainya kamu nyanyiin itu lagu dua puluh tahun yang lalu mungkin reaksi Mami bakal kejang-kejang bukan lagi klepek-klepek kayak remaja labil," oloknya.

"Hahahaha...bagus Mi?"

"As always, Nak. Cuma kalo kamu ngerayu Mami hanya dengan dua kalimat di chorus itu, tapi memberikan sisa lagunya ke Ghea sih kayaknya keterlaluan," sindirnya.

Aku yang terdiam, "Mi, just you. Queen of My Heart."

"Mami tau. Tapi, Mami gak mudah dialihkan dari alasan sebenarnya Mami nelepon kamu."

"Huh...Mami gak seru!"

"Oh? Kalo begitu...Whoaaa...Agiiiil...suara kamu gila, bikin Mami melted, meleleh. Hoaaa...you're so sweet with this song just for me. Aaaa...I love you...So much...So deep...," jerit Mami histeris.

Aku malah terbahak tak keruan jadinya, "Mami...."

"Udah kayak fans militan kamu belom?"

"Hm...bolehlah...."

"Oke. Jadi, apa maksud kamu bikin Ghea pindah ke apartemen tepat di sebelah kamar kamu, Agil Raikan Bachtiar?"

"Mami tahu terlalu cepat."

"Itu bukan jawaban, Agil!"

"Mami menanyakan hal yang Mami sudah tau jawabannya," keluhku.

"Hanya ingin mendengar langsung dari mulut anak Mami."

"Seperti di pikiran Mami."

"Yang?"

"Agil jatuh cinta, Mi," lirihku mengakui. Aku bisa membayangkan senyum kepuasan Mami di ujung sana. Saking lebarnya bisa robek sampai ke bawah telinga.

"Inilah...kelamaan sih kamunya. Bahasanya aja jatuh cinta, kalo anak muda yang Mami tanya biasanya jawabnya naksir," kekeh Mami.

"Jatuh cinta lebih dalem dibanding naksir, Mi!"

"Sampai harus menyeret Ghea tinggal di sebelah?"

"Jadwal Agil padat, Mi. Mana sempat Agil nyamperin Ghea ke hotel atau ke kost."

"Jadi, anak Mami yang keburu tua ini udah nyadar kalo gak ketemu sama yang dicintai itu menyiksa, eh?"

"Sepertinya."

"Jadi, udah ngerti kenapa Al ngamuk-ngamuk kalo Kalila kamu ajak kerja atau ngomongin kerjaan saat Al ada di rumah?"

"Tetap gak mau ngerti."

Mami mendesah pasrah, "Gheanya mau?"

"Kalo definisi maunya Ghea termasuk dengan gerutuan dan ngedumel, iya."

"Agil...Nak. Sesuatu yang dipaksa itu gak enak lho."

"Dalam kasus Ghea, kadang paksaan lebih efektif, Mi."

"Dulu gak dapet pendidikan ngebujuk ya dari Ayahmu. Wanita itu tidak suka dipaksa, Agil. Maunya dirayu, diluluhkan, dimengerti, diberi ruang dan waktu."

"Keburu Agil tua kalo ngasi Ghea waktu."

"Sapa suruh doyannya sama yang sepuluh taun lebih muda."

"Andai cinta bisa diatur di mana jatuhnya," desahku.

Mami terbahak, "Asik juga dengerin anak perjaka Mami kelimpungan gini."

"Yang bilang Agil masih perjaka siapa emang, Mi?"

"AGIL! Jangan macam-macam," teriaknya tiba-tiba.

Tawaku berderai, tak terasa lagu sudah beberapa kali berganti judul.

"Luluhkan Ghea segera atau...," keluar sudah mode mengultimatum Sang Ratu. "Mami pindahkan Ghea dari situ. Gak baik untuk kestabilan status perjakamu kalo ngeliat dia berkeliaran di dekatmu. Jangan kira Mami tidak tau," bentaknya.

"Yah...Mi...," keluhku. Tak pernah bisa melawan perintahnya. Masa sih Ghea ngadu?

"Agil bisa mengerem kok, Mi."

"Sekali, dua kali bisa. Tapi saat kamu ilang kendali, siapa yang tau?"

"Kalo Gheanya mau kan simple, Mi. Tinggal nikahin."

"Kalau Gheanya mau. Lah ini?"

"Kok dulu Mami mau sih sama Ayah? Duda beranak satu yang gak ada keren-kerennya?" kataku mengalihkan pertanyaan Mami soal 'kerelaan' Ghea.

"Andai cinta bisa mengatur di mana jatuhnya," balasnya telak. "Emang kamu pikir kerennya kamu turunan dari mana coba?"

"Hm...Maksud Agil. Kan Mami tau Ayah cinta banget sama Bunda," kataku pelan. Hati-hati, mencoba mengukur reaksinya. "Kok Mami tetep mau sama Ayah?"

Mami mendesah. Lama terdiam.

"Karena saat itu sampai sekarang pun Mami tidak pernah berniat menggantikan posisi Kania di hati Ayahmu, Gil. Dia wanita yang baik, terlalu berarti buat kalian berdua. Dan terlalu hebat kalo Mami bisa menggantikannya...Mami hanya ingin menyempurnakan perannya yang belum selesai."

"Peran untuk?"

"Bisa dibilang mendampingi dan menjaga kalian berdua."

"Agil yang akan menjaga Mami!" tegasku. Gak akan kubiarkan siapa pun menyakiti Mami.

Bahkan seumur hidupku mampu kuhabiskan untuk menjaga wanita istimewa yang mengabdikan dirinya untuk mendampingi ayahku dan aku ini.

"Kita saling menjaga, Nak," lanjutnya. "Begitulah namanya cinta. Saat itu Mami tidak berharap muluk kalau Ayahmu bakal jatuh cinta sama Mami. Hanya ingin merasa nyaman satu sama lain."

"Tapi, Ayah cinta sama Mami," tegasku. "Agil tau itu."

"Ya. Akhirnya Mami sadar kalau Ayahmu bisa mencintai Mami tanpa menyingkirkan Kania di hatinya. Cinta Ayahmu sangat terasa saat dia mengetahui bahwa Mami tak bisa memberikannya keturunan dan Ayahmu tetap bertahan di sisi Mami. Lalu cinta yang mana lagi yang Mami cari?"

"Ehm...Mi, gimana rasanya menerima sisa cinta dari Ayah?" tanyaku pelan.

"Sisa? Tidak ada sisa Agil! Ayahmu mencintai Kania dengan sepenuhnya. Dan mencintai Mami pun dengan sepenuhnya cinta. Hanya waktu saja yang membedakannya. Bukan berganti, tapi berbaur dan melengkapi."

"Mau Agil juga begitu. Tapi susah banget naklukin Ghea, Mi," kataku akhirnya berusaha jujur dengan kondisi saat ini.

"Jangan niat naklukin, Agil. Niatkan untuk merangkul, Ghea. Ngerti?"

"Sedikit."

"Tunjukkan kalo apa pun yang kamu lakukan tulus karena mencintai dia. Bukan untuk menggantikan posisi tunangannya."

"Agil bakal coba, Mi."

" Ya udah, salam buat Ghea. Dan ingat, jangan macem-macem!"

"Iya, Mi. Iyaaaaa, paling semacem aja," jawabku menggodanya.

"Agil!!!"

Aku menutup telepon dengan tawa membahana.

-oo0oo-

"Aku jemput kamu buat lunch," kataku begitu Ghea menjawab 'Hallo' saat mengangkat telepon dariku.

"Kenapa repot-repot sih, Pak?" katanya misuh-misuh. "Saya banyak kerjaan."

"Lebih repot mana kalo aku harus masuk ke hotel dan nyeret kamu, Ghea? Emangnya ada yang bakal nyuruh kamu lanjutin kerja saat aku bilang ngajak kamu makan siang?"

Arghh...Baru saja berniat tidak memaksa, tapi entah kenapa sulit sekali diterapkan dalam menghadapinya.

"Iya...Iya, saya turun ke bawah. Bapak gak usah nyamperin ke sini."

"Kenapa?" tanyaku. Aku bisa mendengar dia keluar dari ruang kerjanya dan menuju lift.

"Saya gak mau timbul gosip kalo jalan sama Bapak."

"Hm...maaf tapi mobil ini sudah lama dikenali sebelum kamu kerja di sini, Ghea," kataku memutus sambungan telepon.

Bisa dibilang ini prestasi besar, karena bisa mengajak Ghea makan siang tanpa bertengkar lebih dari lima menit. Itu sama artinya pengibaran bendera putih dari pihak Ghea. Practice makes perfect. Dua bulan mengenalnya, frekuensi berkelahi bisa diturunkan sampai minimal.

Selama menunggu, aku membayangkan sedang membangun rumah beton atau besi baja. Tak perlu ada kaca, untuk menghindari pecahnya karena lemparan Ghea yang sedang galak mode on atau sedang frustrasi. Hm...perlu dipertimbangkan, meskipun Alina jelas akan menolak mendesain rumah seperti itu. Dia akan mengusulkan kalo kami tinggal saja di kapal tanker. Sepertinya.

"Jadi, mau makan di mana?" tanyaku begitu dia naik dan memasang sabuk pengaman.

"Di mana aja."

"Biasanya di mana-mana kalo orang pacaran dan mau makan siang bareng, selalu si gadis yang milihin tempat dan menu kan, Ghea?"

"Tau dari mana hal kek begituan, Pak?"

"Di novel-novel romansa, Ghea."

"Oh, anggap aja genre horor kalo gitu. Jadi, yang milih tempatnya Incridible Hulk!"

"Bajuku sih kemeja hijau, tapi kan gak pake kolor item terus melotot kayak raksasa, Ghea. Lagian gak ada Hulk yang seganteng gini."

Dia terperangah, tampak tak terima dengan jawabanku barusan. "Ya udah, kalo saya yang milih jangan kaget ama tagihan."

"Kalo pun kurang palingan kita disuruh cuci piring kan, Ghea? Selama sama-sama kamu sih aku menikmatinya," sahutku lagi. "Tinggal tunjuk-tunjuk, kamu yang ngerjain. Aku yang ngawasin."

Dia malah meringis ngeri, "Ya udah. Pondok Ikan Bakar," katanya sambil menyebutkan salah satu rumah makan yang terkenal dengan menu ikan dan seafood-nya.

Aku pun meluncur dan membelokkan mobil tepat di restoran yang sedang dipadati pengunjung. Maklum, jam makan siang seantero penduduk Jakarta masih sama ternyata.

"Ngomongnya pondok ikan bakar yang dipesan kepiting telur asin," olokku padanya setelah Ghea menyebutkan pesanan dan waiter berlalu dari meja kami.

"Gak papa dong. Daripada Bapak, jelas-jelas pondok ikan bakar nyarinya rawon," balasnya lagi.

Ghea keliatan lebih jinak jika berhubungan dengan makanan dan segelas besar air putih dengan ice cube-nya. Keliatan jinak selama tidak tersinggung, dan berubah menjadi ahli bius nomor wahid di dunia dengan metode bius esnya.

Aku terkekeh geli. "Ghea...," panggilku kepadanya yang saat ini sedang asyik mengutak-ngatik ponselnya. Pasti lagi membalas tweet para fans amatirannya itu. Grr..

"Ya?"

"Ceritakan tentang keluarga kamu."

"Buat apa?"

"Mengenal keluarga besar kekasih begitu," tekanku.

Ghea mengalihkan pandangan ke arahku. "Huh? Bapak aja yang cerita soal keluarga Bapak," sahutnya malas-malasan.

"Kan udah."

"Yang lain."

"Kamu dulu."

"Oke...Oke. Saya punya Bapak yang galak banget, sukanya ngasah golok dan nodongin sama cowok-cowok."

"Asal gak ngegorok," sahutku kalem. "Ibu kamu?"

"Ibu saya suka nyirih, terus melepehnya ke muka cowok-cowok," lanjutnya lagi.

Ini anak serius apa nggak sih ngejelasin keluarganya? Ada gitu ibu-ibu yang masih suka ngunyah sirih sampe sekarang?

"Oh. Oke," sahutku. "Aku ngerekam lho, Ghea. Tar aku kasih denger sama orangtuamu pas kita ketemu," sahutku lalu memutar rekaman di ponselku. Mengalun suara Ghea yang menggambarkan orangtuanya dengan sadis.

Matanya terbelalak tak percaya, "Apus!"

"Cerita dulu."

"Apa yang ingin Bapak ketahui?"

"Apa saja."

"Oke. Bapak dan Ibu saya hidup bahagia di sana. Sambil mengurus warung sembako di sisi rumah dan berkebun di saat yang lain."

"Ada teksnya ya, Ghea?" sindirku dengan caranya bercerita.

"Grr...Bapak saya...," kali ini dia menerawang. "Seorang lelaki yang paling baik yang pernah saya temukan, bertanggungjawab penuh sama anak dan istrinya. Beliau penyayang, rajin bekerja, dan sekarang sedang membuka usaha warung sembako di samping rumah setelah pensiun dari kerjaannya."

"Hmm...kamu dekat sama Bapakmu?"

"Banget. Hanya Bapak yang mampu memahami saya seratus persen."

"Kapan kamu terakhir ketemu?"

"Sekitar dua tahun yang lalu. Bapak yang datang ke Jakarta."

"What?"

"Sejak kecelakaan tunangan saya." Pilihan kata 'tunangan' benar-benar mengusikku. "Bapak saya ngerti kalo saya belum bisa pulang kampung karena...ketakutan saya. Kalau beliau kangen, maka beliaulah yang nyamperin saya ke Jakarta. Atau kalo gak ngobrol via telepon."

Aku tertegun mendengar kisahnya, "Lanjutkan," seruku lagi.

"Ibu saya, ibu rumah tangga biasa. Sederhana. Hobinya berdagang. Sebenarnya beliau juga lulusan sarjana pendidikan guru, tapi sejak menikah dengan Bapak, Ibu menjadi ibu rumah tangga. Selingannya hanya berdagang."

Pantasan ni anak perhitungan sampe ke ongkos ojek!

"Dari sayur matang sampai sekarang sembako. Ibu saya sabar dan ulet luar biasa, punya catatan keuntungan sejak pertama kali beliau berdagang. Saya sampai ketawa kalo ngebaca tulisan saya di situ. Hari pertama kami membuka warung kecil-kecilan dapet untung enam ribu rupiah. Dan itu saya kenang sampai sekarang."

"Saudaramu?"

"Saudara saya ada satu orang, saya anak kedua. Kakak laki-laki saya udah menikah dan merantau ke tempat asal istrinya."

"Kamu gak kangen mereka?"

"Kangen? Pasti. Tapi, mereka menyadari kondisi trauma saya dan memerlukan biaya cukup banyak untuk saling mengunjungi. Duit keluarga saya bukan yang gak berseri macem keluarga Bapak," gerutunya.

"Kenapa gak naik kapal aja kamunya?" tanyaku tertarik. "Kan kamu bisa lewat darat meskipun lebih lama."

"Hm...males, Pak. Kalo pulang kangen-kangenan tiga hari. Setelahnya ditanyain apa kabar tugas akhir saya yang ngegantung kayak jemuran itu!" katanya dengan ekspresi menirukan bapak-bapak menasihati anaknya.

"Hmm?"

"Lagian kalo di sana saya pasti diikutin ke sana kemari, Pak. Bapak saya akan merana kalo liat saya melamun. Kosong."

"Ya emang, ngapain melamun?"

"Bapak gak pernah patah hati yak? Yah... kalo saya lagi keingat tunangan saya, Adam Levine jungkir balik juga kadang gak ngeh."

"Sebegitunya?"

"Yah...karena keluarga saya terlalu kenal saya, Pak. Mereka akan tau kalo sebenarnya susah banget buat saya nyembuhin hati. Kalo saya di sini kan mereka gak ngeliat langsung kondisi saya yang idup, tapi sebenarnya jiwa saya mungkin gak idup," katanya sedih. "Saya gak pengen nambahin beban pikiran mereka, Pak."

Lama aku hanya terdiam mendengar informasi yang Ghea berikan.

"Ghea, kalo kamu belum sadar, dari dua bulan yang lalu aku ada buat bikin seluruh jiwa dan ragamu hidup lagi. Buat bahagia lagi."

Ghea terpana, dia melihatku tanpa berkedip.

"Aku tau, aku mungkin gak bakal bisa menggantikan tunangan kamu. Dan aku memang gak berniat menggantikan posisinya. Hanya saja aku ingin ikut ambil bagian dalam perannya menjaga dan membahagiakan kamu. Aku ada di sini, Ghea. Ada buat kamu."

Ghea menelan ludah, matanya mengerjap beberapa kali.

"Sebelumnya aku gak pernah ngerasain penderitaan orang lain seperti aku ngerasain penderitaan kamu. Saking sakitnya ngeliat kamu sedih, ingin rasanya bilang aku saja yang memikulnya. Cuma karena gak bisa, setidaknya biarkan aku ikut serta menyokong dan merangkulmu, di sampingmu," tambahku lagi.

Mulut Ghea seperti ikan mas koki. Mangap-mangap, tapi tak ada satu pun kalimat keluar.

"Aku cinta kamu sampai bisa mengerti kesakitan kamu, Ghea," tuturku. Baru kali ini aku bilang terus terang kalau aku mencintainya.

Matanya membelalak dan berkaca-kaca, pipinya bersemu merona. Sukses membuat hatiku makin jungkir balik.

"Pa-Pak?"

Aku menahan kalimat saat pelayan rumah makan ini datang mengantarkan pesanan kami.

Kepiting telur asin porsi jumbo dan nasi rawon. Tanpa diperintahkan, Ghea segera menyingsing lengan bajunya dan cengiran lebar langsung terukir di bibirnya. Seperti kode! Santap! Garap! Bereskan!

Ini kata-kata ngerayu yang kupelajari dari Google tenggelam karena kepiting telur asin?

-oo0oo-

Yah, kodratnya tamu yang baik adalah memencet bel ketika bertamu. Baiklah...

Tanpa mandi, sepulang dari rumah sakit aku nekat menganggu penghuni kamar sebelah. Kangen tingkat internasional!

Ting tong...Ting tong..

Silakan saja, bakal kupencet bel ini seribu kali kalo perlu!

Ghea membuka pintu, tampak manis dalam baju tidur selutut berwarna biru muda. Rambutnya dicepol asal ke atas. Seksi, bukan hanya itu. Seperti buah, dia kelihatan ranum. Siap disantap! Pisau mana pisau? Buat nyingkirin baju Ghea!

Astaga, bener kata Mami, jarak Ghea berbahaya untuk kelangsungan status perjakaku sebelum menikah.

"Gimana rasanya? Enak?" tanyaku duduk di sofanya.

"Apanya?"

"Tinggal di sini. Di apartemen?"

"Yaaah...berasa jadi simpenan Om-Om gitu deh," katanya acuh yang sukses membuatku keselek ludah. Dasar Ghea! Yang om siapa sih? Kalo Aluna bolehlah nyebut aku om, tapi Ghea?

"Gak. Aku gak pernah jadiin kamu simpanan, Ghea." Kalo perlu kita bisa konferensi pers.

"Beuh...jelaslah, Pak. Orang-orang bakal ngegosipin saya simpanan Bapak. Tadi dijemput di depan hotel, terus kalo pada tau saya dikasih fasilitas begini sementara yang lain enggak apa gak makin sip tuh gosip. Makin digosok makin sip."

"Aku gak peduli omongan orang, lagipula dari awal aku gak pernah nganggap kamu simpanan. Di radio saja aku sudah mengumumkan. Kamu yang ngehindar bacain," tuduhku.

"Tapi...tapi, kan saya malu juga, Pak."

"Malu kenapa?"

"Malu sama Bu Destyana kalo gosip ini sampe ke telinga beliau."

"Mami udah tau kok kalo kita tinggalnya sebelahan, malah beliau kirim salam buat kamu.

"Ya..tapi orang-orang kan...."

Belum selesai dia bicara, sudah kukunci mulutnya yang terbuka dengan mulutku. Cuek saja meski masih bau rumah sakit. Yang jelas saat ini, hormon endorfin yang mengalir akibat reaksi ciuman Ghea sudah mencapai batas minimum. Perlu diisi ulang.

Tanpa berpikir, kami sudah bergulat di sofa single itu. Posisi sofa bahkan agak bergeser saking panasnya gairah yang meletup-letup di sela ciuman kami. Gawat! Kalau tak berhenti sekarang, bisa-bisa Ghea yang sedang merangkul leherku, kupindahkan ke kamar. Stop Agil!

"Jangan pedulikan omongan orang, Ghea. Berbahagialah," kataku terbata-bata mengatur napas. "Berbahagia lah denganku," pintaku. Mengecup keningnya. Lama.

Ghea pun terdiam dan tidak mendorong atau pun bergerak karena kecupanku di keningnya. Saat mengecup keningnya, kuucapkan seluruh permintaan dan doa agar akulah yang akan membuatnya selalu bahagia.

Saat aku melepas kecupan di keningnya, aku melihat kedua bola matanya yang agak basah dan berkaca-kaca. "Kita coba," gumamnya pada akhirnya.

"Pasti berhasil," balasku mengelus pipinya. "Aku ke sebelah dulu, mau mandi," pamitku.

Ghea mengangguk dan mengantarku sampai ke depan pintu. Hal yang baru sekali ini dia lakukan tanpa memakiku. Hatiku menghangat dengan perlakuannya.

"Ghea," panggilku sebelum masuk ke apartemenku.

"Hm?"

"Tau narkoba?"

"Saya gak make, Pak."

"Iya, tapi tau kan kalo makin lama make kamu makin kecanduan dan harus meningkatkan dosisnya buat dapat efek serupa?"

Meskipun bingung, Ghea mengangguk juga.

"Sama seperti energi yang kudapat dari ciuman kamu. Hanya berlaku buat dua puluh empat jam dan akan semakin mengecil efeknya dari hari ke hari. Jadi, besok-besok mungkin aku minta ciuman dua kali atau tiga kali sehari untuk penyesuaian dosisnya."

Ucapanku dibalas dengan bantingan pintu.

-oo0oo-

Aku bergegas menyelesaikan kewajibanku di ruang operasi untuk menemui Ghea yang sengaja kuseret ke rumah sakit dengan alasan buru-buru karena ada pasien gawat. Tadinya, aku berencana makan siang bersama Ghea di salah satu restoran favoritku. Tapi, panggilan darurat selalu bisa muncul di waktu pentingku bersama Ghea. Sehingga, dengan terpaksa kami mengakhiri kencan dan meluncur ke rumah sakit.

Aku menyusuri koridor rumah sakit untuk menemukannya. Sudah berkali-kali aku menelepon namun ponselnya tak juga di angkat. Di mana kamu, Ghea?

Tiba-tiba aku membeku. Mataku membelalak lebar. Siluet gadis yang kukenali sebagai Ghea sedang memeluk seorang lelaki yang juga balas memeluknya erat seraya menunduk.

Aku merasakan panas yang luar biasa, terutama ketika lelaki itumengangkat muka. Aku tertegun, apakah orang meninggal bisa kembali ke dunia?wX߈͹F>UM

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro