Part 14

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Alih-alih menjawab pertanyaan ibu, Om Ye justru melempar balik pertanyaan kepadaku. Mungkin Om Ye paham betul aku sedang kebingungan.

"Kamu lihat apa?" tanya Om Ye.

Aku bergumam," Sedang lihat Om Ye sambil menunggu jawaban apa yang terlontar untuk menjawab pertanyaan ibu."

Om Ye tergelak dan aku makin bingung.

"Apakah pertanyaannya sangat penting untuk dijawab dan diketahui oleh sepasang ibu dan anak ini?" Om Ye bertanya sambil memandangi aku dan ibu silih berganti.

Pertanyaan tidak penting macam apa itu? Apa susahnya, sih, tinggal jawab saja? Begini, nih, yang tidak aku suka. Ngomong berbelit-belit. Aku mendengkus kesal dan barangkali Om Ye menangkap jelas ekspresiku, makanya lantas menunjukkan sebuah kikikan geli.

Om Ye menganggap semuanya itu lucu, tetapi tidak bagiku. Om Ye kembali angkat bicara. "Maaf. Tolong jangan dianggap terlalu serius! Saya cuma sekadar berkelakar saja. Bu, tolong maafkan saya, ya!"

Ibu terkekeh pelan sebentar, sebelum akhirnya membalas perkataan Om Ye. "Kamu tenang dan santai saja, Yan. Kami sama sekali tidak merasa terusik. Ternyata kamu orangnya tidak berubah, ya. Suka bercanda."

"Itu betul." Om Ye menyahuti.

"Kalo kamu enggan menjawab pertanyaannya, tidak apa-apa, kok, Yan. Itu, 'kan, privasi," lanjut ibu kemudian.

"Ah, tidak. Saya bisa memberi tahu. Sebetulnya saya ini masih lajang. Sama sekali belum punya pasangan hidup." Om Ye memberi tahu.

Aku seketika tidak lagi bertopang dagu. Aku lantas membetulkan posisi duduk. Aku merasa bersemangat menyimak percakapan antara ibu dengan Om Ye.

"Loh. Kenapa bisa begitu? Ingat! Usia kamu sudah berapa? Jangan terlalu lama mengulur-ulur waktu untuk mendapatkan pasangan hidup." Saking terkejutnya, ibu lantas cepat-cepat memberi Om Ye pengarahan.

Om Ye menghela napas pendek, kemudian berkata, "Maunya, sih, begitu. Tidak tahu kenapa, kok, malah jadi lama begini dapat jodohnya. Bisa jadi para perempuan itu bosan kali, ya."

"Kenapa mesti bosan? Ngomong-ngomong, apa yang membosankan dari seorang pria bernama Yan?" Kening ibu berkerut ketika berujar demikian.

"Secara, 'kan, Yan itu orangnya baik dan tampan pula." Tak lupa ibu menambahkan kalimat pujian yang ditujukan untuk Om Ye.

Alih-alih mengucapkan terima kasih, Om Ye lagi-lagi mengeluarkan jurus kelakarnya. "Nah, persoalannya di situ. Kali saja para perempuan itu bosan melihat wajah saya yang selalu berada dalam mode tampan."

Ha!

Baru aku tahu ternyata Om Ye punya sifat narsistik level tingkat dewa.

"Namun, sepertinya ada satu perempuan yang tidak ada henti dan bosan memandangi saya. Benar begitu, 'kan, Aini?" ujar Om Ye sambil menunjukkan senyuman lembut di wajah.

Kedua mataku membola. Aku tersentak ketika Om Ye bergumam menyebut namaku. Loh? Kenapa jadi aku, sih?

Dipandangi oleh Om Ye dan juga ibu secara bersamaan, makin membuat lidahku terasa kelu. Aku harus menjawab apa.

Dih!

Suasana makin menjadi canggung. Aku silih berganti mengamati ibu dan Om Ye untuk beberapa saat saja. Namun, sepertinya mereka enggan mengalihkan pandangan dariku. Aku merasa mereka sedang menuntut jawaban dariku.

Apa boleh buat. Sepertinya jawaban yang hendak aku lontarkan, cukup masuk akal. "Memang kenapa kalo aku tidak bosan memandangi Om Ye? Aku dan Om Ye, 'kan, sudah sangat lama tidak saling jumpa. Sudah berapa tahun lamanya coba? Sepuluh tahun? Ataukah lebih?"

Ibu menimpali ucapanku. "Benar. Sudah selama itu ternyata kita tidak saling jumpa. Kamu pasti sangat merindukan Yan sampai-sampai kamu tidak ada bosan memandangi Yan terus dari tadi."

"Eh, apa iya?" balasku.

"Aku tahu kamu pasti sangat merindukan aku," ujar Om Ye sambil tertawa girang memandangiku.

Entahlah. Aku lagi-lagi dibuat tidak bisa untuk bicara apa-apa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro