🌫 Di Tempat yang Sama, Dengan Perasaan yang Berbeda

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter 13
Di Tempat yang Sama, Dengan Perasaan yang Berbeda

* * *

Isha Zilian Pratama XII IPA 1
[Temui gue di cafe biasa setelah sekolah]

Angel
[Okay]

Gadis itu masih menatap layar ponselnya yang tidak menampilkan pesan baru apapun di sana.

"Dia belum datang lagi, Dek?"

Angel menggeleng tanpa sadar menggembungkan kedua pipinya. Tidak, dia sedang tidak berpura-pura menjadi orang yang kesal sekaligus imut. Dia dengan Zeeliana sudah terlalu dekat bak kakak adik, makanya tidak heran kalau Angel bisa keluar jalan-jalan dengannya.

"Ya sudah, ini bolu gulung tiramisu flavor, sih, dicobain. Tadi Kakak habis dari dapur, mereka sedang bereksperimen ternyata," ucap sang pelayan tersebut menyerahkan sepotong bolu gulung yang tampak lezat dari luarannya, lapisan terluar yang coklat merata khas dari panggangannya. Di dalamnya ada tiramisu cream berwarna coklat yang lebih terang.

Zeeliana mengambil tempat di depan gadis tersebut sedangkan Angel mencicipi bolu gulung tersebut.

"Enak, nggak?" tanya yang lebih tua was-was. Namun, tidak berapa lama sirna ketika melihat Angel menganggukkan kepalanya dengan semangat.

"Ini buatannya Kak Ryan, kan?" tanya Angel setelah menelan potongan di mulutnya. Lalu, mengambil potongan yang lebih kecil untuk dimasukkan ke dalam.

Anggukan kepala dia terima. "Kok tahu? Padahal tadi Kakak nggak ngomong siapa yang buat."

Gadis yang masih sekolah itu tersenyum manis bak gulali, "Hanya Kak Ryan yang bisa buat lapisan kuenya selembut ini, rasanya meluber di mulut saat makan. Tiramisu cream juga terlalu manis. Gulungannya juga rapi. Pas banget."

Zeeliana tersenyum tipis, memang benar tadi rekan kerjanya, Ryan yang memintanya secara khusus untuk diberikan ke gadis yang sudah dia anggap sebagai sosok adik perempuan, tentu karena kritik saran Angel bukan main-main.

"Ya sudah, dimakan dulu. Kakak balik kerja, ya, Dek," katanya yang mengusap rambut anak perempuan itu sebelum kembali berjalan di belakang meja kasir, meninggalkan Angel dengan sepotong bolu gulungnya.

Tepat saat santapan terakhirnya memasuki mulut, pintu cafe itu terbuka dan menampilkan sosok gadis yang membuatnya menunggu lama. Sebuah pesan singkat muncul di layar ponselnya menggoda untuk dibuka.

Kak Rara
[Angie tahu film baru marvel itu, nggak?]
[Kakak beli tiketnya dua]
[Nanti malam kita tonton]

Angel tersenyum tipis, mengabaikan kalau Isha telah duduk di depannya setelah melirik layar ponsel tersebut dengan geram. Gadis yang menjadi Bendahara PMR ini begitu tertutup dengan keluarganya.

"Eh? Itu yang nge-chat, saudaramu?"

"Iya, Kak Rara namanya. Nyebelin orangnya, suka banget ngejahilin aku. Padahal, aku nangkring anteng aja gitu."

"Wuih, seru tahu punya saudara kayak kamu dengan saudaramu. Daripada aku anak tunggal."

"Anak tunggal juga seru, setidaknya nggak dijahilin saudara, kan? Kak Rara suka banget emang ngebuka pintu kamarku. Lalu, pergi gitu saja. Ntah kenapa."

Cemburu. Ya, Isha Zilian Pratama cemburu dengan seluruh privilege yang didapati oleh gadis ini sejak lama. Angel itu seakan tidak perlu bersusah payah melakukan sesuatu untuk menggapai keinginannya, dia sudah akan mencapai hal itu.

Dia berteman dengan Johan. Tetangganya sekaligus sahabat baiknya yang berada di garda terdepan. Dia adalah Bendahara PMR sekaligus MVP-nya PMR SMA sekolahnya setiap ada aksi donor darah atau bantuan ke lokasi bencana alam, kehilangan dia di PMR sama saja kehilangan berlian di tangan. Dia bisa sedekat dan seribut itu dengan Zyan, Lucas, yang merupakan jejeran idaman kaum siswi perempuan. Sekarang, Angel memiliki keluarga dan saudara yang sempurna.

Kenapa Angel sempurna di banyak hal?

Gadis itu tidak cocok mendapatkan hal seperti itu.

Angel
[Endgame? Memangnya sudah liris, Kak?]
[Mau, kita pamer ke Kak Dwi]

Kak Rara
[Okay. Nanti sore jam lima Kakak jemput, kita ke mall biasa]

Angel
[Kak, di cafe dekat sekolah, ya]
[Leora Cafe, ya, Kak]

Kak Rara
[Sip]

Angel menutup ponselnya, meletakkannya dengan posisi terbalik di samping meja. Dia kembali bersuara dengan tenang, "Kak Zee, aku minta ice cream vanilla satu."

"Okay, Dek. Isha?"

"Ice mocha saja, Kak," jawabnya dengan datar, matanya masih melihat ke arah teman sekelasnya ini. "Kita to the point saja."

Gadis itu masih berdiam di posisinya, "Apa?" dengan nada santai dia berucap seperti itu. Meskipun, dia masih kikuk karena sudah berapa lama dia tidak berbicara dengan Isha.

"Gue minta lo yang ngerjain presentasinya minggu depan," tutur gadis tersebut nyelekit tanpa berniat memudarkan aksinya itu. Bisa dibilang, dia kepalang kesal bahkan benci dengan keberadaan gadis tersebut yang masih baik-baik saja.

"Aku memang sedang membaca bukunya, Isha. Memang masih di awal bab. Nanti aku akan kirim materinya ke room chat. Lalu, tinggal dibahas."

"Tidak. Tidak. Bukan itu maksud gue, lo yang ngerjain semuanya dari awal sampai akhir. Gue tinggal presentasi doang. Paham?"

Angel membulatkan matanya tak percaya, terkejut akan perkataan Isha yang kelewat banyak mungkin keterlaluan. Buku karangan klasik itu bukan hal yang mudah untuk dibaca, dia membutuhkan konsentrasi yang tinggi atau membaca sebuah paragraf berulang-ulang sampai dua kali. Puncaknya adalah dia rewel mengadu kepada Arvin dan Aswin bersamaan untuk membantunya. Biasanya seperti itu siklus dia membaca novel bahasa asing yang klasik.

Secara kebetulan, novel yang terpilih juga merupakan karangan dalam Bahasa Inggris, sekaligus dia mendapatkan buku dalam bahasa nasional--hadiah dari Aswin--setahun yang lalu.

"Isha ... nggak mungkin, aku nggak bisa-"

"Jangan sok lemah. Lo punya banyak orang yang bisa diandalin dua puluh empat jam. Gue nggak terima penolakan, lakuin yang gue pinta atau lo mampus."

Setelah mengucapkan kalimat sengit dan kesal penuh dengan emosi itu, Isha melangkah keluar dari cafe setelah membayar minumannya. Angel sendiri menghembuskan napasnya pelan, memangnya dia bisa berkata apalagi. Kalau dia mengirim pesan juga tidak akan ada balasan untuknya.

Sasa
[Sudah mau pulang?]
[Aku jemput, ya?]

Gadis itu tersenyum tipis, memang Johan selalu bersikap seperti itu. Layaknya cenayang, pemuda itu seperti tahu apa yang dia rasakan.

Angel
[Nggak apa-apa. Nanti Kak Rara yang datang]
[Katanya, mau ngajak nonton film Endgame]

Sasa
[Ya sudah, aku temenin deh, kalau kayak gitu]
[Ada yang perlu aku omongin soalnya]
[Mau di sana atau kita langsung ke mall?]

Angel menautkan alis matanya keheranan, tumben sekali ada yang perlu diomongin Johan di siang bolong seperti ini. Dengan cepat, gadis itu membalas pesan tersebut.

Angel
[Di cafe ini saja]
[Aku tunggu, hati-hati di jalan]

Semoga saja bukan hal yang membahayakan siapapun.

* * *

Di satu sisi lainnya, sosok berpakaian hoodie hitam yang kupluk-nya menutupi rambut, bermasker hitam berjalan menyusuri koridor dengan mata yang penuh dengan amarah. Langkahnya terdengar pelan. Namun, setiap jengkal itu terdengar berbahaya.

Dia memasuki salah satu kelas yang selalu dia lewati, bahkan sesekali dia mampir ke dalam.

Tas selempang di bahunya dilepaskan di salah satu kursi, mencoret meja yang menjadi milik seseorang itu lebih dari satu semester. Sudut bibirnya terangkat di dalam masker tersebut.

"Mampus kau," lirihnya dengan penuh kejam. Lalu, mengemasi barangnya dan segera keluar dari ruangan kelas tanpa ada orang. Sesekali matanya melirik ke belakang, memastikan tidak ada yang melihat kelakuannya.

Kelas yang dipasang plat XII IPA 1.

* * *

To Be Continue

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro