🌫 Kesulitan Mengontrol Diri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter 30
Kesulitan Mengontrol Diri

* * *

"Angel, temani saya ke taman, ya? Mau?"
Daffa bertanya sekali lagi dengan tenang. Maniknya bertabrakan dengan retina yang terlihat bergetar akan kabut nafsu untuk mengakhiri dirinya.

"Saya tidak akan melakukan apa-apa. Cerita Anda yang sebelumnya belum selesai, kan?" ucap Daffa lagi. Ketika dia melihat Angel berangsur-angsur menetralkan napasnya, dia memberi sinyal kepada saudara pasiennya itu untuk melepaskannya.

Dokter muda itu memujinya dengan tulus untuk menetralkan emosinya. Angel duluan berjalan keluar dari balkonnya sendiri. Arvin berniat untuk mengejar adiknya. Namun, Daffa duluan mencegah.

"Biarkan dia sendiri. Saya akan berbicara dengannya, saya harap setelah Angel kembali, Anda tidak bertanya apapun tentang ini kepadanya. Dia akan memerlukan waktu," tuturnya yang berhasil membuat pria tersebut berdiam diri di tempatnya.

"Tolong, lakukan yang terbaik Anda bisa, Dok."

Hanya satu permintaan Arvin sekarang ini dan dia mengatakannya kepada psikiater muda itu.

"Pasti, saya akan mengusahakan yang terbaik. Kalau begitu saya permisi."

Daffa langsung berlari keluar dari kamar pasiennya itu, dengan kilat dia memakai sepatunya karena dia melihat pintu rumah ini terbuka luas. Manik seukuran kelereng itu mengitari sekitar komplek perumahan dan langsung berlari menyamai langkah dengan gadis yang berpakaian rumahannya.

Sebagai seorang psikiater dan insan yang hidup bersimpati, dia kasihan dengan perempuan yang jauh lebih muda darinya itu. Lihat bagaimana kacaunya dia sekarang.

Dengan rambut yang tergerai acak dan terlihat kusut di beberapa sisi, matanya yang terlihat kosong. Namun, setelah Daffa melihatnya lagi, gadis itu menginginkan sebuah uluran tangan untuknya. Kakinya yang hanya terlapisi oleh celana tidur berbahan nyaman sampai lututnya, tanpa kaus kaki memakai sandal rumahan.

Terlebih lagi, pasiennya ini adalah teman satu angkatan adik laki-lakinya itu.

"Bang, sejak kapan dia datang konsul ke tempat Abang?" Suara Daffin menggema di segala ruangan otaknya. Dia tidak ingin mengganggu gadis ini terlebih dahulu, melainkan tetap menemaninya kemanapun dia melangkah.

"Lo dapat dari mana?"

Daffa ingat dengan jelas, dia ingin merebut data informasi pasiennya itu. Namun, dia kalah gesit dengan saudaranya ini yang memiliki kelincahan yang cukup tinggi sebagai anggota futsal.

"Abang jawab, dia kenapa? Dia teman gue."

"Daffin, nggak semuanya boleh gue bagi tahu ke lo. Ini rahasia Abang dengan dia."

"Okay ..., Abang tidak perlu kasih tahu untuk apa dia ke sana. Tapi, kasih tahu ke gue, dia ada jadwal konsul dengan lo, nggak, Bang?" tanya Daffin yang terlihat berkilat emosi saat itu. Dia tidak tahu-menahu kenapa adiknya itu bisa menaikkan nada di depannya seperti itu. Setahunya, dia tidak pernah mengungkit nama Angel saat bercerita dengannya.

"Ada seharusnya. Namun, dia punya jadwal lain. Abang juga setelah ini mau balik lagi ke rumah sakit. Paper Abang ketinggalan di sana."

"Bagus, dari yang gue tahu, dia bakalan ke rumah sakit Abang untuk menjadi relawan. Namun, belakangan ini di sekolah dia aneh banget, Bang. Lo bisa mampir ke rumahnya, kan?"

Bukan waktu yang tepat memikirkan kalau adiknya itu suka atau tidak dengan gadis ini. Sesuai permintaan Daffin, di sinilah di sekarang. Mereka berdua menyusuri komplek perumahan yang sepi, hanya ada mobil-mobil tanpa pengemudi terparkir rapi di dalam halaman rumah. Dia tersenyum tipis, pasien mudanya ini masih mendengar apa yang dikatakannya.

Buktinya, sekarang mereka sudah berada di taman.

Angel mengambil tempat di bangku panjang yang mengarah pada playground anak-anak yang dipasang di sana, Daffa duduk berjarak di sampingnya.

"Dok, katakan padaku, aku harus bagaimana sekarang?"

Suara penuh dengan depresi itu menggema di ruangan terbuka.

"Aku sudah berusaha mengatakan kepada mereka. Tapi, tidak semudah yang dibayangkan orang-orang. Aku tidak bisa melakukannya, Dok. Mereka semua juga memiliki masalah yang tidak disampaikan kepadaku," racau Angel yang mulai menumpuk likuid bening di pelupuk matanya.

"Hari ini, kakak sepupuku datang untuk bermain sekaligus membolos kampusnya seharian. Aku senang, Dok, bisa bertemu dengannya lagi setelah tiga bulanan. Kakak laki-lakiku dari Amsterdam juga sedang berada di Indonesia. Tapi, kenapa aku masih merasa sedih? Harusnya aku bahagia ketika mereka semua pulang."

Daffa masih menyimak pembicaraan, dia tahu gadis itu hanya tersesat sementara dan dia perlu penuntunan. Sebenarnya cukup wajar untuk mereka yang berada di usia seperti Angel, karena proses menjadi dewasa secara emosional dan pikiran tidaklah mudah dijalani.

"Dok, bukankah lebih baik mengakhiri hidup saja daripada mengemban banyak masalah dan pikiran?"

"Kenapa sekarang sangat sulit sekali untuk bahagia?"

Dokter dengan balutan semi-formal itu membalas, "Tidak juga. Mengakhiri hidup bukan opsi yang bagus. Kamu sendiri juga sudah tahu konsekuensi yang akan diterima. Setidaknya, pikirkan mereka yang ditinggal di belakang. Jangan pernah menyakiti dirimu sendiri, kamu lahir dan dibesarkan seperti sekarang bukan untuk disakiti."

"Semuanya terasa sulit, bukan? Pikirkan hal-hal kecil yang membuatmu senang, seperti saat kamu bisa memakan makanan kesukaanmu, duduk di cafe yang kamu suka, melakukan apapun yang kamu senangi sekarang. Pesan saya, ketika kamu sudah siap, kamu bisa melawan arus yang datang di hidupmu sekarang. Ada banyak orang yang berada di sekelilingmu."

Daffa memberikan rentetan kata, lebih tepatnya dia merasa memberikan kalimat dari seorang insan yang lebih tua dan jelasnya banyak memakan garam kepada gadis tersebut.

“Dok, sulit. Sulit banget. Besok apakah bakalan bersinar cerah?”

Pecahlah tangisan anak gadis tersebut yang meraung kencang. Linangan air mata yang bersamaan dengan luruhnya tembok yang dibangun setinggi mungkin. Sedangkan, si dokter muda hanya duduk di samping, melepaskan cardigan yang dipakainya untuk meredam tangisan tersebut. Lalu, kembali mengambil jarak dengannya.

Karena, ini sudah jam tiga pagi.
Sepertinya kemampuan bergadangnya selama masa koas dan residensi akan berguna sekarang ini sehingga dia masih bisa berangkat kerja empat jam lagi.

* * *

Bang Arvin
[Gue rasa lo sudah tahu tentang Angie, deh]
[Lo ajak dia main badminton gih, kalau gue sempat, gue ikut. Soalnya, setelah gue anterin Aswin ke bandara, gue diminta ikut seminar]
[Kalau lo punya teman juga boleh diajak]

Johan
[Sip, Bang]

Johan langsung mengantongi ponselnya di saku celana abu-abu dan tersenyum tampan, tidak lupa tangannya melambai kepada gadis yang berjalan membelah koridor, “Morning, Angel!”

Teriakan laki-laki itu cukup mengundang tatapan dari siswa yang berada di lantai yang sama sedangkan Angel hanya mengulas senyum paksa. “Pagi juga, Sasa,” balasnya dengan raut lesu.

Laki-laki itu langsung membawa gadis itu untuk masuk ke dalam kelas mereka dan duduk di sampingnya, “Aku balik duduk di sini. Ini diminum. Kau semalam bergadang membuat kliping Biologi, kah? Itu sampai gelap banget, nggak tidur apa bagaimana?”

Tangannya menyerahkan sebuah botol berisi susu pisang dan sekotak pepero.

“Tidur, kok,” bohongnya. Dia hanya memejamkan matanya di mobil Arvin selama perjalanan ke sini. Dia tidak sempat lagi melihat jam. Yang dia tahu, setelah dia selesai menangis dan menenangkan dirinya, angkasa perlahan lebih terang dari beberapa jam yang lalu.

Sehingga, dia harus segera kembali ke rumah untuk membersihkan dirinya sekaligus menyamarkan kesedihannya.

“Iya, deh. Eh, Gel,” kata Johan lagi.

“Ya?” Angel mengeluarkan sebuah buku tulis dan mengambil pena dari kotak pensilnya. Dia masih ada satu soal yang belum dijawab.

Laki-laki itu menarik buku tulisnya sendiri dan menyerahkan kepada Angel, “Sore nanti, main bulutangkis, ya. Di belakang rumahku aja.”

Angel mengangguk menyetujui, dia menyalin jawaban Johan dengan kalimatnya sendiri.

“Oh, sebelumnya, mampir ke toko roti dulu,” sambung laki-laki tersebut yang teringat satu hal.

“Iya, Sasa.”

* * *

To Be Continue

* * *

Hai, guysss

Sky update lagi

Gimana harinya? Setengah hari ini moga-moga lancar, ya.

See ya ^^

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro