🌫 Luka Hati Malaikat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter 19
Luka Hati Malaikat

* * *

Keadaan ruangan itu begitu hening terasa mencekik leher Angel perlahan-lahan, sulit untuk bernapas sembari mengatur projektor yang tersambung ke laptopnya. Tanpa diduganya, guru Bahasa Inggris yang sudah duduk di antara teman sekelasnya itu—disamping Lucas—memanggilnya sebagai kelompok pertama yang mempresentasikan tugas mereka.

“Hey, let me do it,” ujar Isha dengan senyum sungkan di wajahnya mengarah ke Miss Sherly. Angel kebingungan perlahan melepaskan laptop diambil alih olehnya. Lagipula, memang biasanya Isha yang mengatur proyeksi sementara dia yang akan menjadi pembuka dan penutup presentasi.

“Okay, we can start it now, Angel.”

Gadis itu tersenyum kepuasan melihat papan tulis yang dihadang dengan lembaran putih menampilkan presentasi mereka berdua. Dia yang berdiri di depan teman sekelasnya hanya mengangguk memberikan aba-aba untuk memulai.

“Good morning, Miss Sherly and my friends. Today, I’m Angel Joanne Anandra and Isha Zilian Pratama will present you about The Awakening written by Kate Chopin at 1899 as one of feminist classic novel,” kata Angel dengan lancar dan menyingkir ke samping supaya memudahkan yang lain melihat jernih payahnya. Isha menggerakkan slide berikutnya.

Gadis itu menggunakan remote menyortir tulisan dan gambar yang ada di sana, “The story was about one woman’s transformation from traditional housewife and mother to a woman with a sense of self-awareness and an independent purpose beyond her family. It’s also one of first feminist novel at America literature.”

“The story began at Grand Isle, Louisiana where a young woman, Edna Pontellier was on vacation with her Creole husband, Leonce and their children, Etienne and Raoul. She met Madame Adele Ratignolle who known as the ideal “mother-woman.”p From there, Madame Ratignolle is inspiring Edna’s awakening.” Angel menjelaskan sesederhana mungkin. Buku klasik yang sudah dibacanya dengan susah payah itu harus bisa dibawa dengan baik. Perjuangannya untuk mengartikan satu per satu deretan huruf yang tertera di lembaran kertas tentu menghasilkan buah manis.

Isha melanjutkan setelah Angel memindahkan pembicaraan kepadanya. Tiga hari sebelum presentasi, Angel telah mengirimnya data dan penjelasan kepadanya. Meskipun, telah dilarang. “Edna met Robert Lebrun as the beginning her process of awakening, Robert is an attractive, charismatic young man. At first, their friendship is innocent, they joke and stories. Through Robert, she develops a sense of self apart from her social and domestic roles,” sambungnya ketika slide di sampingnya adalah bagiannya. Dia menjelaskan sedetil mungkin dan menarik.

Kalau untuk presentasi seperti ini Angel bisa mengandalkan Isha, begitu juga dengan Isha bisa mengandalkan Angel. Mereka berdua dikenal sebagai orang yang cakap berbicara di depan kelas. Lucas mengatakan seakan materi yang dibawa seakan dikuasai dan diketahui seluruhnya oleh mereka.

“Long story short, she takes a way returns to Grand Isle and greets Robert’s brother. After that, she goes to the beach and swims away from shore. Exhaustion overtakes her also her limbs tire, she drowns among the waves. She is finally and totally free.”

Angel memberikan kesimpulan dan penutup sempurna untuk presentasi mereka. “Thank you for listening our presentation and have a nice day,” katanya dan ditutup dengan tepuk tangan dari barisan di kelas mereka. Setidaknya, untuk menjadi kelompok pertama yang maju ke depan, dia dan Isha sudah berhasil melakukan tugas mereka dengan baik. Merekapun mencabut kabel dari laptop dan kembali ke tempat mereka.

“Thank you for the presentation, Angel and Isha. It is great present from you, guys. Next, Aeri Nastusha Olivia and Lucas Nial Oktavio.”

Jelasnya, Angel dibuat bingung dengan sikap Isha di depan presentasi kelas tadi sudah terjawab. Anak perempuan itu tentu tengah berpura-pura berteman baik dengannya ketika kenyataannya tidak seperti itu.

* * *

Jam istirahat kedua telah dimulai, seakan tidak puas dengan jam istirahat pertama, para siswa masih berhamburan keluar dari kelas mereka dan sebagian besar mengerubungi kantin. Johan menatap punggung gadis yang bersandar ke depan mejanya, mungkin orang-orang suka mengatakan dia dan Angel bagaikan orang pacaran bahkan hubungannya lebih dari itu. Namun, dia sungguh tidak bisa mengabaikan gadis itu begitu saja.

Bagaikan kebiasaan yang sudah dipupuk sejak kecil, sudah tidak bisa lagi diubah dalam sekejap. Apalagi, mereka terlampau sering bersama.

“Loh? Serius duduk di sini? Nggak duduk sama malaikat gue?” Lucas dengan tingkah bodohnya datang sembari membawa telur gulung. Maniknya dengan pura-pura lugu melihat Angel yang memilih tidur di mejanya. Sendirian.

Johan menggeleng kepalanya.

Ketua kelas itu membalas, “Kalian nggak berantem, kan, ya? Ngeri juga kalau kalian berantemnya kayak gini.”

“Nggak.”

“Terus, kok tiba-tiba pindah kursi lo? Mana ke tempat gue lagi larinya.”

“Nggak boleh?” tanya Johan yang merebut satu telur gulung dari tangan pemimpin kelasnya itu.

“Ya, bisa-bisa saja, sih,” balasnya sembari menggaruk lehernya kikuk. “Aneh saja gitu, kalian berdua yang biasanya kemana-mana berdua kaya sendok dan garpu, tiba-tiba pisah.”

Kepintaran Johan tentu bisa menangkap arti kelimat Lucas. Namun, perumpamaannya kurang bagus.

“Ntah, gue juga bingung sendiri. Dia sendiri yang minta seperti ini.”

“Heum? Lo ngomong sesuatu?” Lucas mengernyit dahi dengan bibirnya yang tersumpal telur gulung. Johan hanya tersenyum rahasia.

“Lo kesurupan hantu kelas?”

“Bangsat, Lucas. Nggak gitu.”

Johan yang tidak bisa akur dengan Lucas menjadi santapan publik kelas sampai akhir pulang sekolah. Pemuda itu ingin meluruskan kesalahpahaman di antaranya dengan Angel. Namun, sepertinya dia tidak diberi kesempatan sedetikpun untuk mendekat ke arahnya. Ketika melihat teman dekatnya itu langsung keluar dari kelas dan berjalan mengunci diri di Ruang PMR, di situ dia tahu … bahwa ada yang tidak beres dengan Angel.

Dia hanya perlu bergerak perlahan sembari menunggu waktunya datang.

* * *

“Nggak sama Johan? Mana anaknya?” Arvin menyambut dengan pertanyaan yang sudah dinanti-nantikannya.

“Dia ada pertemuan klub jurnalis, Kak. Angel pulang dulu, deh. Sudah cape banget sehabis PMR,” jawabnya yang sambil duduk nyaman di samping kemudi.

Angel berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Meskipun, dia terluka dan sepertinya itu berhasil. Dia melihat Arvin menerima jawabannya.

“Kakak ajak untuk food touring, mau nggak? Angie cukup duduk di mobil, Kakak yang ambil makanannya. Yang dekat-dekat sini saja, sih.”

“Nggak, Kak. Pengennya tidur sekarang.”

Serius, Aswin! Lo kalau batalin pulang, gue seret ke neraka, batin pria muda itu yang menjalankan mobilnya perlahan meninggalkan area sekolah yang sudah disinari dengan aura oranye kekuningan menandakan kalau mentari akan tenggelam dalam hitungan menit.

Angel mengerut dahinya ketika mobil berjalan berlawanan arah dengan jalan yang dipikirnya, “Loh? Kak, ini bukan arah pulang.”

“Memang bukan.”

Sepertinya, Arvin sengaja melakukannya. Alih-alih berteriak kesal seperti biasa dia lakukan, gadis itu berkata dengan nada penuh keputusasaan, “Lalu, kenapa ke sini?”

“Kakak pengen makan gelato yang dijual dekat sini, katanya enak sampai banyak food vlogger mampir ke sana. Nanti pulangnya, si Jovanka itu juga nitip makan malam ke Kakak. Angie kalau mau istirahat, duluan saja di sini. Kakak putarin lagu biasanya.” Si sulung Anandra menjelaskan dengan santai seolah bukan kesalahannya.

“Terserah, Kakak.”

Angel menurunkan sandaran mobil dan beristirahat sesuai perkataan Arvin. Dia memang sangat lelah setelah seharian beraktivitas, lebih parahnya lagi dia melupakan jam makan siang dan mengabaikan keroncongan di perutnya hingga tidak terdengar lagi suara menganggu itu. Kalau tidak salah, satu jam yang lalu setelah dia kembali ke Ruang PMR setelah dari toilet—ditugaskan untuk mengunci ruangan—dia mendapati sebungkus mi pecel tersaji di meja kerja dengan namanya tertempel di plastik tersebut.

Kalau kedua kakak laki-lakinya itu tahu mungkin, dia tidak akan bisa tenang tidur sekarang. Apalagi, kalau Johan mengetahui ini. Dilihat dari reaksi mereka semua, kemungkinan besar pengirim makanan itu bukan diantara mereka bertiga.

Khususnya Aswin yang pastinya tengah di Amsterdam. Tanpa dia tahu, kalau akan ada kejutan yang menghampirinya.

* * *

To Be Continue

* * *

Okay, selesai

Mari menunggu kelanjutannya

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro