🌫 Quality Time

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Chapter 38
Quality Time

* * *

Dua tim sudah ditentukan dengan adil, tidak lain tidak bukan adalah menggunakan permainan sederhana gunting, batu, kertas. Angel berdecak pelan, "Serius, Zyan. Memang bisa, kan?"

"Iya, gue memang bisa," seru Zyan bangga.

Aziel di samping kanan Angel mendelik, itu sombong banget. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Nasibnya sekelompok dengan Angel dan Zyan. Sedangkan, Arvin dengan Jovanka dan Johan.

"Jujur saja, gue noob main bowling. Jadi, prinsip gue be the worst if you can't be the best," seru Aziel yang mengatakan dengan manik yang menyala-nyala jujur. Dia duduk di bangku pemain dengan Angel di sampingnya. Sedangkan, tim lawan sudah duduk di bangku seberang mereka.

Zyan bersiap mengambil sebuah bola berukuran sedang dan terlihat berat, pandangannya melihat kearah timnya, "Percaya sama gue, Bang. Gue sering diajak ke sini."

“Ya sudah, iya. Yang benar mainnya, awas keseleo,” kata Angel yang masih melekatkan matanya ke gerakan Zyan yang terlihat mengambil ancang-ancang. Bibirnya menghembuskan napas ketika posisi terakhir melempar bola itu terlihat bagus.

Tangan yang bebas diayunkan ke belakang, kaki kanannya menyilang ke belakang. Ya, dia tidak terluka. Itu sudah membuat Angel merasa tenang. Kalau bisa dibilang, Zyan selalu dia temui dengan keadaan terluka baik di sekolah maupun di rumah sakit.

Seluruh pasang mata di sana melihat bola merah dengan tiga lubang di sana itu menggelinding dan menjatuhkan pion-pion yang disusun membentuk segitiga dengan sempurna.

"Go Zyan," seru Angel yang menepuk tangannya kegirangan karena pemuda tersebut berhasil membuktikan perkataannya sendiri. Karena, ruangan tersebut tidak terlalu luas seperti lapangan sepakbola, suaranya menggema.

Aziel duluan memperingati, "Heh, Dek. Pelan-pelan tepuk tangannya, malu tuh sama orang lain di sini." Maniknya melihat satu kelompok juga yang berada tidak jauh dari mereka memasang matanya ke arah mereka.

Apa lagi kalau bukan karena Angel?

Namun, apakah Aziel marah? Nggak, dia juga tidak terganggu dengan suara tepuk tangannya adik sepupunya itu. Tetapi dia juga harus menghargai keberadaan orang lain.

"Iya, Kak. Habis Zyan, Kakak, ya? Adek terakhir aja," pungkas Angel yang meletakkan tangannya ke samping badannya.

"Bang Arvin dulu tuh," balas Ziel yang menunjuk si sulung keluarga Anandra dengan ujung dagunya.

Angel mengerucut bibirnya, "Iya, maksudnya setelah Kak Rara." Lalu, atensinya kembali terebut pada Zyan yang lagi-lagi mendapatkan strike point.

"Zyan keren," bisiknya tidak sengaja. Matanya melihat pemuda yang baru saja selesai ujian itu mendekat ke arah mereka dan duduk di samping Angel. Beruntung saja laki-laki itu tidak mendengar perkataannya. Kalau tidak, mungkin sudah besar kepala.

Arvin berdiri setelah punggungnya dipukul kuat oleh Jovanka yang gemes, "Sakit, woi! Lo mukulnya nggak kira-kira."

"Ya, salah sendiri. Giliran lo, tuh. Fokus, awas aja kalau lo lirik-lirik kanan kiri, gue suntik juga lo," kata Jovanka yang mengancam. Sedangkan, Johan kebagian tertawa saja.

"Ogah banget disuntik sama calon dokter galak. Mending sama suster aja, dokter mana bisa nyuntik." Arvin mendelik tajam ke arah Johan yang semakin tergelak tawanya. Lalu, mengambil bola bowling di tempatnya. Maniknya masih melihat Angel yang terlihat akrab dengan Zyan.

"Lo bisa nggak mainnya, Gel?"

"Not as good as you. Kak Jovan pernah ngajarin, sih. Tapi, dah lama banget. Setahunan lalu keknya."

"Masih ingat cara mainnya?"

Tolong tahan Arvin sekarang untuk nggak gebukin Zyan yang merasa sok keren sambil minum air putih. Bisa-bisanya modus depan kakaknya sekarang.

"Sedikit banyak ingat."

"Santai, ntar gue ajarin, deh."

Arvin yang masih memegang bola tersebut di dekapannya menahan diri. Sepertinya idenya salah mengajak pemuda itu bermain dengan mereka setelah ujian selesai. Tapi, mau bagaimana lagi, mereka kekurangan personil, jadinya ganjil.

"Woi, cowo depan namanya Arvin, gece anjir. Bentar lagi shift gue," teriak Jovanka yang dari kursi penonton. Karena, suara besar dan melengking membuat semua orang yang ada di sana langsung mematok pandangan pada Arvin.

"Iya. Ini mau ngelempar," dalihnya.

"Iyi, ini mii ngilimpir. Bacot," sindir Jovanka dengan keras. Memang di antara mereka berlima sebagai satu generasi yang sama di keluarga Anandra, hanya Jovanka yang berani melawan Arvin.

Si sulung keluarga Anandra itu bersiaga dan berjalan dua langkah, menggelindingkan bola tersebut dengan posisi kaki kanannya menyilang ke belakang persis seperti apa yang dilakukan oleh Zyan sebelumnya. Maniknya tidak lepas dari bola tersebut dan mendesah kecewa. Begitu juga dengan yang lainnya.

"Yahhh, tinggal satu lagi," kata Angel yang menepuk jidatnya sendiri kepalang gemas dengan satu pion yang berdiri tegak di tengah. Namun, dia terjengit ketika suara dari belakang memanggilnya halus.

"Eum, Mbak, bisa minta tolong."

Baik Angel dan Zyan langsung membalikkan kepala mereka dan mengerutkan dahinya seolah memiliki pemikiran yang sama.

"Siapa, ya?" tanya Zyan yang menelisik pemuda tersebut dari ujung rambut sampai ke ujung jempolnya. Sepertinya lebih tua dari mereka karena pakaiannya kasual bebas khas anak kuliahan.

"Saya Marcellino. Begini saya kalah dalam taruhan dengan teman saya, hukumannya harus foto dengan cewe yang tidak dikenal dan berkenalan dengannya," jelas laki-laki asing tersebut yang mendapatkan tatapan tajam dari Zyan, Johan dan Aziel. Bahkan, Jovanka mulai mengubah raut wajahnya. Begitu juga dengan Arvin yang siap siaga melempar bola bowling kearah laki-laki tersebut.

Zyan duluan berceletuk pedas, "Begitu. Tapi, sorry, bro. Dia nggak saya izinkan untuk foto dengan sembarang orang. Yang lain saja, ya. Tuh, mbak-mbak di sebelah sana atau di luar tadi saja."

Dia tahu Marcellino itu terlihat tidak senang dan masih ingin berjuang. Oleh karena itu, dia kembali melanjutkan perkataannya, "Nih, kalau tidak percaya, pawangnya ada empat. Tuh, yang lagi berdiri di sana adalah ketuanya. Yang duduk di seberang, dua-duanya pintar bela diri. Awas aja kalau masuk rumah sakit, bro."

Bibirnya menyeringai miring penuh kemenangan.

"Oh, gitu, ya. Nggak apa-apa, kok. Kalau begitu, maaf gangguin, ya. Permisi," balas pemuda asing itu yang terlihat malu dan langsung kembali ke kumpulannya lagi.
Dia berasal dari kumpulan yang tidak jauh dari mereka seperti yang dia lihat tadi.

"Ih, Zyan. Nggak sopan tahu seperti itu," tegur Angel yang mendelik.

Aziel langsung membalas dengan puas, "Yo, bro. Tindakan lo bener banget itu, paham kan ya sekarang kenapa Johan bisa dekat dengan Adek?"

"Paham, kok, Bang. Soalnya, di sekolah juga gitu. Tapi, memang lainnya aja yang buta ngomong mereka pacaran." Zyan membalas dengan santai.

“Iya, makanya itu gue ikutan pusingalau dia beneran keterima di UGM,” sahut Aziel yang pura-pura memijat pelipisnya.

Lalu, maniknya melihat ke arah Angel.

"Begini, deh, cantik. Cowo itu bohong, mereka nggak taruhan. Okay, mungkin taruhan beneran. Tapi, mata cecunguk itu lihat lo terus seolah lo target mainnya. Dia tahu itu mau minta nomor lo tahu. Kalau beneran minta, gue kasih nomor sedot WC," jelas Zyan panjang lebar yang disertai dengan candaan garing.

"Oh, ya? Okay, deh. Makasih, ya." Angel berkata dengan tulus yang dihadiahi anggukan dari pemuda yang masih setia duduk di sampingnya.

"Gel," panggil Johan yang duduk di ujung.

"Apa, Asa?"

Laki-laki tersebut berhasil menarik perhatian yang lainnya, "Yang kalah bayarin tiket timezone bulan depan sepuasnya, okay?" Dia memang sedang mengalihkan perhatian supaya Arvin yang berdiri itu bisa melempar kembali. 

"Setuju, mumpung bulan depan, aku mulai ke stase anak," sahut Jovanka semangat.

"Okay, deh. Bisa," balas Aziel dan Zyan kompak. Sedangkan, Angel mengangguk kepalanya setuju.

"Okay! Let's go!"

* * *

To Be Continue

* * *

Yeayyy, sisa 3 chapter lagi selesaiiii.

Hehe

See ya ^^

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro