🌫 Sayap Rapuh Malaikat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Prologue
Sayap Rapuh Malaikat

***

Maret 2028, Musim Panas
Yogyakarta, Indonesia

Kata mereka tengah malam sangat cocok mengamati langit atas, mengagumi puluhan bintang yang tergantung di sana, ... sekaligus mengingat kembali seluruh memori kehidupan selama ini.

Wanita di pertengahan usia dua puluhan tahunnya menopang tubuh depannya dengan pembatas pagar besi taman rumah sakit tempatnya bekerja. Sebelah tangan kanannya masih menggenggam erat ponsel keluaran dua tahun yang lalu, sedangkan wajahnya mendongak dengan sepasang matanya memejam erat.

Menikmati semilir angin yang menghembus wajah dan rambutnya yang diikat satu turun.

Snelli yang masih memeluk erat tubuhnya yang terbalut scrub suits warna hijau dengan tanda pengenal nama di kantung jas putih kebanggaannya dan seluruh dokter.

*Snelli : jas putih kebanggaannya seluruh para dokter

*Scrub suits : satu set pakaian untuk operasi

Angel Joanne Anandra
Neurologist Surgeon's Resident
St.John Hospital

"Sedang senggang?"

Pertanyaan ditujukan kepadanya langsung membuatnya berdiri tegak dan berbalik menghadap sang pemanggil. Gawai yang disembunyikan di belakang punggung bersamaan dengan bibirnya bergemeletuk takut-takut memanggil nama sang pemanggil, "Dokter Jovanka."

Tidak disangka-sangka, sosok wanita yang sudah berada di usia awal tiga puluh tahunnya tertawa kencang sebagai balasan. Lalu, menghampiri sang residen di bawah tanggung jawabnya, menyerahkan secangkir teh panas dan bergabung melihat kanvas hitam.

"Kapan terakhir kalinya aku ke sini saat malam, teh panas, dan berdua dengan seseorang?" tanya Dokter Jovanka setelah menghela napasnya. Matanya masih melihat ke samping, terkekeh geli, "Santai, Adek. Kalau berdua, panggil Kakak saja. Masa sepupuan, tapi manggilnya dak dok dak dok."

Angel langsung mengusap leher belakangnya yang tidak gatal, "Maaf, Kak. Tadi buat kesalahan."

"Santai saja. Pasiennya sudah dipindahkan ke ICU, kan? Lantas tidak ada lagi yang perlu dirisaukan. Besok dia akan bangun. Kau sudah menjadi dokter residen, bukan lagi dokter koas. Tingkat intensitas keluar masuk OR akan lebih banyak. Anggap yang hari ini pembelajaran supaya kedepannya menjadi lebih baik dan layak disebut Neurologist Surgeon," balas Jovanka dengan sebelah tangannya masuk ke dalam snelli.

*OR : Operating Room (Ruang Operasi)

"Malahan tadi Kakak kira kau tidak akan hadir ke jadwal OR hari ini," sambungnya ketika teringat sesuatu.

Angel mengerutkan dahinya, "Kenapa aku harus nggak hadir? Lagipula, Kakak sudah menunjukkan untuk menjadi assist-nya Kakak."

Yang lebih tua menerbitkan senyumnya, "Kau lupa atau pura-pura lupa? Reuni angkatanmu hari ini, Dek."

Residen tersebut tersenyum samar. Dengan cepat, dia membuka kunci ponselnya, memasuki sosial media yang terkenal dan menunjukkan sebuah foto berlokasi di Jakarta kepada kakak sepupunya, "Yang ini, kan? Zyan dan Johan juga ikut ke sana, tapi hanya satu jam pertama."

"Oh God! Mereka itu kenapa, sih, Dek? Asalkan kau tidak ikut, mereka tidak mau ikut juga. Ini juga pasti kau yang memaksa mereka pergi, kan?"

Angel mengangguk dan tersenyum geli, matanya melirik seorang wanita sebayanya yang tertangkap di foto tersebut, tersenyum dengan menawan seolah menjalani hidup sempurna bagaikan putri kerajaan.

"Yang satu merupakan pacarmu, Kakak bisa paham dengannya. Lagipula, pacar mana yang betah di lingkungan terburuk pacarnya? Tapi, yang satunya, dia itu paling cocok disebut bulolmu, Gel. Sampai sekarang masih nggak ada pacar, kan?" gerutunya yang tidak habis pikir dengan dua pria yang berada di Jakarta.

"Aku tidak pernah berencana untuk pergi ke sana, Kak. Kakak pasti paham dengan alasanku sendiri, karena Kakak juga ada di sana. Memorinya masih belum hilang, Kak."

Jovanka merangkul bahu sang adik sepupunya, sebagai satu-satunya anggota keluarga yang satu daerah dan serumah dengan Angel, dia kenal betul luar dalam wanita di sampingnya ini.

"Balas dendamnya belum cukup, ya? Mau Kakak terbang ke sana dan mengacaukannya seperti delapan tahun yang lalu?" tawarnya main-main, dibalas dengan gelengan ribut dari calon spesialis satu ini.

"Nggak perlu, Kak. Itu saja sudah cukup, sisanya biar Tuhan yang mengatur. Lagipula, aku dengar dari Johan, dia cerai dengan suaminya. Kurasa itu cukup. Meskipun, aku masih sakit terbayang dengan perilakunya."

Putri sulung dari saudara Ayahnya Angel bernama Jovanka itu mengangguk, "Kurasa memang sudah cukup. Dia juga sedang mengandung anak kedua, kan?"

Angel mengangguk membenarkan, menandaskan liquid coklat bening itu yang tersisa setengah, dan menyimpannya di kantung snelli.

Jauh di lubuk hatinya, saudara perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara itu ingin melihat kondisi mantan sahabatnya tersebut, ingin mendekap dan menguatkannya. Dia sudah tidak lagi merasakan emosi yang membludak, tapi rasa sakit dan luka yang diterima masih membekas dan belum mengering bahkan setelah tertelan waktu yang cukup lama.

"Nggak perlu dikasihani orang seperti itu. Dia punya jalurnya sendiri, palingan kata Kakak kalau bukan menjadi parasite keluarga, ya nikah lagi sama duda kaya," kata Jovanka tanpa penyaringan sempurna. Namun, kalau itu bisa digunakan untuk melihat senyum manis Angel, dia rela melakukannya berkali-kali.

"Kakak ada jadwal jaga, ya?" tanya Angel yang mengalih perhatian. Dia mengikuti perkataan Kakak sepupunya, walaupun kedua Kakak laki-lakinya tidak ada, Jovanka sudah bagaikan saudara kandung baginya.

"Iya. Ada pasien yang harus menjalani operasi subuh nanti, memakan waktu sembilan jam. Memang, sih, bukan Kakak dokter operasinya, Kakak hanya nge-assist. Ini kedua kalinya Kakak menjalani jam terbang lama."

Angel mengangguk paham, dia pernah mendengar kalau jam terbang seorang neurologist surgeon paling cepat memakan waktu empat jam dan paling lama bisa memakan belasan. Dia tentulah belum pernah mendapat jam terbang selama itu. Namun, beberapa kali memasuki OR dengan jam terbang sepuluh jam.

Dia bergedik ngeri membayangkan saat di sana, dia berkali-kali terbangun, menguap, tertidur. Belum lagi, saat dokter yang mengoperasi menanyakan pertanyaan yang sulit untuk bisa dijawab dalam sekali menggali ilmu kedokterannya.

"Ya sudah. Sekarang, Kakak kembali ke ruangan Kakak, tidur. Kalau sudah waktunya, aku akan bangunkan Kakak atau mungkin meminta residen yang lain membangunkan Kakak. Lalu, iced americano untuk Kakak," katanya yang menarik lengan Jovanka kembali masuk ke dalam gedung rumah sakit dan melepaskan tautannya. Lalu, bertingkah sebagai residen dengan dokternya.

"Kalau bisa bangunkan saya satu jam lebih cepat. Saya masih ada jadwal visit pasiennya sebelum mulai."

"Baik, Dok."

***

To Be Continue

***

Perkenalan dulu, yuk

Si gadis lugu nan ceria, Angel Joanne Anandra. Paling ingin ikut jejak Kakak sepupunya.

Kakak sepupu yang lebih sayang Angel daripada adik laki-lakinya sendiri. Tabiat aslinya dia itu bisa saja berbicara pedas beda dengan Angel.

Jovanka Anandra

Itu dulu, namanya juga prologue. Ini adalah bagian masa depan. Masa sekarang akan dimulai chapter satu.

See ya

***

08/03/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro