02 · Banu, Si Anomali

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Why do you fight like you're running out of time?

Why do you fight like

History has its eyes on you ...

♪ Hamilton - Non Stop

**

Ditilik dari perilaku historis keluarga Nugraha, seorang anak dengan latar belakang akademik selain eksakta merupakan sebuah anomali, abnormalitas, dan kelangkaan yang menjadi momok bagi papi-mami pemimpin rumah tangga.

And yet, di sinilah si bungsu Bahari Nugraha berdiri. Hidup sebagai anomali berjalan dengan gelar Magister Humaniora, berbeda dengan kakak-kakaknya yang berprofesi sebagai Dokter, Psikolog, dan Psikiater handal. Banu berbeda sendiri, karena memang itulah sesungguhnya keinginan hati si bungsu. Menjadi penyimpang keseragaman.

"Antropologi? Bakal jadi apa kamu nanti, Banu??"

Saat itu, sembilan tahun lalu, merupakan penghujung akhir semester genap di tahun pertama Banu SMA. Sekolahnya, SMA Khatulistiwa, memberlakukan penjurusan pada tahun kedua. Bersamaan dengan itu, orang tuanya mendapatkan sebuah surat spesial—undangan Program Akselerasi bagi anak bungsu mereka.

Itulah sebabnya orang tua Banu mendudukkannya di ruang tamu petang itu, menanyakan apa yang sekiranya diminati si bungsu untuk diambil dalam jurusan perguruan tinggi setahun lagi. Ciri khas keluarga Nugraha, selalu mempersiapkan semuanya.

Rupanya pilihan 'Antrpologi' yang keluar dari mulut Banu tak bersambut baik dengan harapan orang tuanya.

"Kedokteran aja lah, biar sama seperti abangmu. Atau Psikologi, MIPA, minimal Komputer lah, biar berguna ilmumu untuk mendapatkan pekerjaan yang baik." Mami berusaha menyetir opsi. Banu menggeleng, keukeuh. Pilihannya telah jatuh.

"Kalau Banu bisa dapat Nilai Ujian Nasional tertinggi se-Provinsi, apa Papi sama Mami akan ngijinin Banu milih jurusan yang Banu mau?" tawar si bungsu kala itu.

Tuan dan Nyonya Nugraha saling pandang.

"Jadilah lulusan dengan Nilai UN nomor satu Nasional, Banu. Buktikan kalau minatmu memang pantas dipertimbangkan dengan usaha," jawab papinya kemudian. Tuan Nugraha tampak serius dengan perkataannya.

Maka demikian, Banu tak membuang-buang waktu untuk mendobrak pintu kesempatan yang sedikit terbuka itu. Semejak vonis papinya, Banu berniat dengan sepenuh hati, jiwa, dan raga, untuk menjadi juara. Tentunya, hal tersebut mempunyai dampak tersendiri dalam hidup Banu. Dalam hubungannya dengan Bina.

"Banu, dua minggu lagi kita udah UAS nih. Belajar bareng lagi, yuk?" ajak Bina suatu siang. 

Mereka sedang memakan bekal di bangku taman. Banu dengan ayam goreng, buncis dan brokoli kukus di atas nasi beras merah, sementara Bina mi goreng instan yang sudah menggumpal mengikuti bentuk kotak makannya berhias sebuah telur mata sapi.

"Sori, Bin. Mulai sekarang kita kayaknya nggak bisa belajar bareng lagi. Aku mulai kursus bimbel di Primagama."

"Oh ... oke. Kalau gitu, nanti setelah ujian, kamu penjurusan mau masuk mana? Aku sih kayaknya IPS, kata Ayah nggak papa nggak masuk IPA yang susah, biar aku nggak stress! Hahaha. Kali aja kita bisa sekelas lagi, yakan?" 

Bina menyuap mi gorengnya. "Eh iya, kamu mau? Nih, biar menu kamu bervariasi!" Bina lantas menaruh sesendok mi goreng di kotak makan Banu, tanpa menunggu persetujuan bocah itu.

"Thanks, Bin. Kamu mau ayam? Ini ..." Banu hendak menaruh potongan paham ayam di kotak Bina, namun gadis itu keburu menahan gerakan tangannya dengan sendok plastik.

"Nggak ah! Kamu tuh butuh protein hewani, biar lancar belajarnya. Oh iya, kamu belum jawab pertanyaanku Ban, mau ambil jurusan apa? IPA? IPS? Bahasa?"

Banu tersenyum mendengar perhatian Bina. "Aku masuk akselerasi, Bin."

"OHYA?!" Mata Bina membundar. Sedetik kemudian cahaya pandangan gadis itu padam. Kelas Akselerasi di SMA mereka merupakan kelas unggulan khusus yang tidak digabung dengan jurusan manapun."Jadi ... itu artinya kita nggak akan sekelas, dong? Terus kamu sekolah di sini sisa setahun lagi, dong? Aduh, gimana dong?"

Banu mengangguk pasrah. "Maaf ya Bin, aku harus lulus duluan—dengan nilai terbaik se-Indonesia. Itu satu-satunya cara biar Papi sama Mami ngijinin aku untuk ngewujudin mimpi aku."

Bina tergagap seketika. "N-nilai terbaik? Se-Indo?! Anjay! Keras banget ya ortu kamu. Tapi aku yakin kamu pasti bisa kok, Ban! Aku dukung saratus ribu persen!!"

"Makasih, Bina ...." Banu terkekeh mendengar ungkapan aneh Bina. Gadis itu memang ajaib sekali perbendaharaan mulutnya.

"Eh iya Ban, kamu tadi bilang sesuatu tentang mimpi? Mimpi apaan emangnya?" Bina bertanya dengan binar mata kepo. Disuapnya lagi mi goreng dan telur sambil menunggu jawaban Banu.

"Rahasia," ucap Banu dengan senyum lesung tunggalnya.

**

Minggu berganti minggu, bulan pun berganti. Banu dengan segala daya dan usahanya, mengabdikan seluruh hidupnya untuk menjadi yang terbaik. Ujian Akhir Semester ditutup dengan rangking satu dikantongi Banu—di kelasnya, dan di sekolahnya juga. Tapi itu tak cukup. Ini belum ujian yang sesungguhnya. Ini bukan Ujian Nasional.

"Banu!" panggil Bina diiringi langkah kaki yang berlari menyebrangi parkiran SMA Khatulistiwa. Saat itu Bina kelas dua, dan Banu—dengan usia yang sama—sedang berada di tahun terakhir dan sedang bersiap menghadapi Ujian Nasional satu semester lagi.

"Kamu kok jadi gini banget sih sekarang? Aku SMS nggak pernah bales, aku cari ke kelasmu selalu nggak ada. Kamu sejak kapan jadi sombong sih, Ban? Aku nggak like ah!" 

Bina menekuk wajahnya dengan ekspresi yang dibuat-buat, namun Banu paham betul, kalimat protes yang baru saja dilayangkan oleh gadis itu merupakan akumulasi beban hati yang telah ditumpuk selama beberapa bulan ini.

Pasalnya, semenjak Banu masuk kelas akselerasi, pemuda itu hanya memfokuskan perhatiannya pelajaran. Seratus ribu persen hari-harinya digunakan untuk belajar dan berlatih soal. Dua empat per tujuh, dikali empat dalam sebulan. Itulah sebabnya Banu menjadi jarang sekali (baca: hampir tidak pernah) berinteraksi lagi dengan Bina.

"Bin, maaf, aku sibuk dan nggak punya waktu. Sisa beberapa bulan lagi sebelum Uj—"

"Aku tau!" potong Bina. "Aku tau kamu nggak punya waktu. Kamu sadar nggak sih, Ban, kalau setelah UNAS ini, kita nggak akan satu sekolah lagi? Aku tau kok waktu kamu di sini terbatas, itu sebabnya aku ...." Bina menggigit kalimatnya, menelannya kembali. Banu mengerutkan kening.

"Kamu apa? Ngomong jangan setengah-setengah, Bina."

"Aku cuma ... mau ngabisin saat-saat terakhir kamu di sini, sama-sama."

Banu terenyuh. Seumur-umur, tak pernah ia mengira kalimat itu akan keluar dari mulut seorang Sabina Eka Gayatri—Bina yang diam-diam dia sukai.

"Bin?" panggil Banu, masih sedikit syok. "Aku—ini ... sori, tapi maksud kamu apa?"

"Banu! Kamu ini pinter tapi bego, ya? Aku tuh ...." Bina kembali menggantung kalimatnya, tampak ragu-ragu.

"Apa?" tuntut Banu.

"...." Bina menendang kerikil seukuran debu di depan sepatunya.

"Bin? Apaan?"

Gadis itu akhirnya menghela napas, menatap mata Banu lurus-lurus. "A-aku tuh suka sama kamu, Banu bego! Aku suka sama kamu dari kelas satu, sejak kita sering ikut lomba dan latihan sama-sama dan ... oke, iya! Aku tau kok kita nggak akan pernah bisa jadian. Aku sadar diri kok, Banu."

Bina mengatur napasnya, tampak belum selesai bicara. Banu sendiri membatu sedari tadi, merasakan dentuman jantungnya yang terdengar sampai telinga.

"Tapi ... kita tuh sekolah SMA cuma sekali," lanjut Bina kemudian. "Aku nggak mau di waktu yang singkat ini—di mana kamu harus lulus secepat ini—aku diem aja tanpa usaha apa-apa. Seenggaknya, aku mau kamu tau apa yang aku rasain. Dan mungkin, kedepannya, kamu bisa luangin sedikit waktu untuk kita ...."

Bina tak melanjutkan kalimatnya, tapi Banu paham betul ke mana arah tujuan gadis itu.

Dengan embusan napas berat, Banu membuka mulutnya. "Maaf, Bina ... bukannya aku nggak suka juga sama kamu, tapi di hidup ini ada yang namanya skala prioritas. Dan maaf banget, untuk sekarang, prioritas utamaku itu bukan ... cinta-cintaan." Banu menggeleng kaku. "Aku harus belajar, Bina, aku harus lulus dengan nilai—"

"Oke," potong Bina. "Aku tau kok kamu bakal bilang gitu. Tadinya aku udah nyiapin hati untuk ditolak, tapi kok rasanya tetep ... ah, udahlah! Maaf udah ganggu waktu kamu, Banu. Selamat belajar sampai jadi juara. Goodluck ya." Bina tertawa getir di penghujung kalimatnya, lalu bergegas pergi meninggalkan Banu di lapangan parkir itu.

"Bina, tunggu!" Banu mencekal sikut Bina, menahan langkah gadis itu. "Kok kamu jadi gini, sih? Mana katanya kamu mau dukung aku seratus ribu persen? Kita kan masih bisa berteman. Kamu tetap bisa dukung aku, kan? Walau bukan sebagai pacar?"

Bina membalikkan badan menghadap Banu. Seulas senyum pahit terlukis di wajah manisnya.

"Banu, kamu itu ... bego banget," ucap Bina seketika.

"Hah? Bin, apa maksud—"

"Murni gak pake bahan tambahan! Begonya kamu itu nggak ada obatnya!" Bina menarik lepas lengannya dari cengkeraman tangan Banu.

"Bina," panggil Banu dengan nada putus asa.

Bersamaan dengan itu, Bina menarik napas dalam, bersiap meluncurkan kalimat pamungkas:

"BAHARI NUGRAHA! KAMU ADALAH COWOK PALING BEGO SE-INDONESIA RAYA!!!"

**

Tanpa distraksi seorang Sabina, Banu (yang diam-diam remuk hatinya) melampiaskan semuanya dalam kegiatan belajar—lagi, seperti orang kesetanan.

Tak pernah lewat satu jam pun dalam hidup Banu di tahun itu tanpa dia memegang buku latihan soal, meng-kroscek jawaban, me-review ulang soal-soal try out, dan membaca materi yang sudah dihapalnya itu lagi dan lagi, berulang kali. 

Bisa ditebak bagaimana ujungnya. 

Hari-hari terpenting dalam hidup Banu terakumulasi dalam barisan soal pilihan ganda, lembaran tipis yang menentukan takdirnya. Baharu Nugraha, dengan dedikasinya mempersiapkan Ujian Nasional selama setahun penuh, berhasil menjuarai nilai dengan kata sempurna. Juara satu, terbaik, di sekolah, di Provinsi, dan di negara ini.

"Bagus, Banu. Ini yang Papi harapkan dari kamu," ucap Tuan Nugraha pada hari kelulusan anak bungsunya itu.

Seiring dengan prestasi yang diraih Banu, perhatian publik juga tertuju padanya; mulai dari berita tahunan di surat kabar bertajuk 'Daftar 10 Besar Peraih Nilai Ujian Nasional (NUN) Tertinggi SMA dan SMK Nasional', ucapan selamat oleh Kepala Sekolah pada upacara hari Senin, teman-teman yang berjubel menyalaminya dan mengajaknya selfie pada acara perpisahan, hingga tawaran jalur undangan di berbagai Perguruan Tinggi Negeri seantero Indonesia—yang dengan senang hati Banu pilih satu PTN jurusan Antropologi Budaya terbaik, Universitas Negeri Indonesia.

Masa depan Banu terbuka lebar dan cerah. Namun entah mengapa, pada hari perpisahannya di SMA Khatulistiwa, hati Banu agak sedikit mendung. Di antara berjubel ucapan selamat yang dilayangkan teman, guru, dan beberapa wartawan yang mengambil foto dan mewawancara, Banu mengharapkan satu ucapan spesifik dari satu manusia unik. Manusia yang tidak lagi menyapanya semenjak beberapa bulan lalu—sejak Banu menolak cintanya.

"Bin ... Bina, tunggu," panggil Banu saat melihat gadis itu lewat di depan kantin. Banu sudah mengitari sekolah tiga kali, mencarinya.

"Apa?!" ketus Bina memandangi Banu yang hari itu mengenakan setelan jas rapi, dengan karangan bunga di tangan, pemberian wali kelasnya.

"Aku mau ... emm ... ngucapin selamat, Bina." Remaja lelaki itu buru-buru menyerahkan karangan bunga yang ada di genggamannya. Sejujurnya Banu tak tahu harus berkata apa. Yang jelas, dia merasa harus menemui Bina hari itu—hari terakhirnya di SMA Khatulistiwa, bagaimanapun caranya.

"Selamat? Ke aku?" tanya Bina skeptis. Dipandanginya uluran bunga itu tanpa niat menerima. "Kamu udah lulus dengan nilai nomor satu nasional, tapi ternyata masih bego juga, ya? Ngapain coba ngucapin selamat ke aku??"

"Itu—err, ya ... selamat aja. Selamat udah naik kelas ya, Bina ..." Dan aku cuma butuh alasan untuk ngomong sama kamu lagi, imbuh Banu dalam hati.

"Makasih," jawab Bina dengan ketus. Gadis itu dengan cepat mengambil karangan bunga pemberian Banu, lantas segera memunggungi lawan bicaranya itu, siap pergi.

"Bina! Tunggu!" Banu refleks menahan gadis itu, walau dia tak tahu harus berkata apa lagi.

"Apa lagi sih, Ban?" sembur Bina. "Kamu mau apa? Mau aku ngucapin selamat juga buat kamu, iya??"

"Bu-bukan gitu, Bin ... aku cuma—"

"Oke, selamat ya, Bahari Nugraha. Selamat sudah lulus dengan nilai terbaik di negara ini. Selamat karena kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau. Selamat karena telah berhasil mempertahankan prioritasmu. Semoga hidup kamu bahagia! Puas?!" 

Bina merepet seraya melemparkan karangan bunga itu kembali ke dada Banu, dengan air mata yang siap merebak, bibir bergetar. Sabina Eka Gayatri baru saja meluapkan luka hati.

Belum sempat Banu merespons, gadis itu telah berlari, pergi.

Dan kalimat itu adalah kata-kata terakhir yang didengar Banu langsung dari Bina, sebelum mereka berdua, di hari perpisahan sembilan tahun yang lalu, benar-benar berpisah dan melanjutkan hidup masing-masing.

**

[1801 Words]

*Akselerasi adalah program layanan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dengan penyelesaian waktu belajar (kelulusan) lebih cepat / lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro