03 · Panggilan Tugas

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Aku cari kamu

Kutemui, kau berubah

♪ Payung Teduh — Kucari Kamu

**

Banu menghabiskan sembilan tahun untuk meruntuhkan balok es yang dibangun keluarganya. Pemuda itu melakukan yang terbaik yang dia bisa—berjuang menjadi cendekia di ranah ilmu yang tak direstui orang tua.

Demikian, pada akhirnya keadaan berjalan dengan pencapaian yang membahagiakan semua orang, menuruti kemauan Banu dengan cara orang tuanya. Usaha tidak pernah mengkhianati hasil, begitu moto Tuan dan Nyonya Nugraha. Dan kualitas lain dari keluarga Nugraha, selain berdedikasi tinggi, mereka juga tak pernah ingkar janji. 

Perjalanan hidup Banu jadi terdengar mudah dan instan, bukan? Padahal, prosesnya tidak semudah dan instan itu.

Sini, agar kamu lebih mengerti, biar kuceritakan sedikit riwayat hidup seorang Bahari Nugraha.

Lahir sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, dengan kakak-kakaknya—Bang Herman (Dokter Spesialis Bedah), Bang Herdy (Psikolog Klinis), dan Kak Misha (Psikiater)—yang sudah 'jadi orang' semua, sementara Banu masih berkutat dengan pendidikan yang tiada habisnya. 

Setelah mendapatkan titel siswa SMA dengan nilai lulusan terbaik Nasional, Banu melanjutkan kuliah sarjana (S1) dengan mengambil program studi Antropologi Budaya di Universitas Negeri Indonesia. 

Lulus tercepat (3 setengah tahun) dengan IPK nyaris empat, Banu melanjutkan studi magister (S2) pada usia 21 tahun di Universiti Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia—negara tempat kakak pertamanya, Bang Herman yang dokter spesialis bedah itu, tinggal dan berkeluarga. 

Setelah dua tahun di negeri jiran, Banu kembali ke tanah air dengan masters degree dari Faculty of Social and Cultural Sciences.

Kini, dua tahun berlalu setelah mendapat gelar magisternya, pada usia ke-25 Bahari Nugraha tetap sibuk melakukan berbagai riset, menambah pengalaman demi mengejar kesempatan untuk melanjutkan studi doktoral (S3). 

Banu tidak ingin memulai tahap pra kandidasi studi S3-nya tanpa pengalaman yang mumpuni. Hanya paham teori tanpa pernah praktik, itu sama saja bohong. 

Banu berpendapat, semakin banyak project research yang diselesaikannya, maka semakin baik. Terlebih lagi, Banu menetapkan sebuah Universitas yang bukan kaleng-kaleng sebagai targetnya: Leiden University di kota Leiden, Belanda.

"Kamu tau nggak sih, Ban? Sebagian besar prasasti peninggalan kerajaan di negara kita, kayak kerajaan Sriwijaya, Majapahit, sampai Mataram Islam itu diboyong sama pemerintahan Kolonial Belanda waktu ngejajah kita, dibawa ke negara asalnya sana! Bahkan ada juga buku catatan dan luksan wajah putri Diah Pitaloka, pemantik Perang Bubat pada abad ke-14 itu yang dipajang di museum Leiden sana! Kurang ajar banget, kan?" 

Bina menjelaskan dengan berapi-api, saat gadis itu dan Banu menunggu jemputan orang tua mereka selepas latihan, beberapa hari menjelang lomba debat Bahasa Inggris saat mereka SMA dulu. Sebelum gadis itu hilang dari hidup Banu.

Banu mendengarkan sepenuh hati. Apa yang keluar dari mulut Bina selalu bisa membuat remaja itu menaruh perhatian seratus ribu persen. 

Obrolan mereka yang tadinya ringan—tentang bagaimana bunda Bina dulu sering menceritakan kisah-kisah kerajaan Jawa sebagai dongeng sebelum tidur—bertransformasi menjadi konflik nyata tentang kepemilikan benda peninggalan bersejarah Indonesia yang 'dicolong' oleh Belanda.

"Kamu tau juga nggak, Ban, Bunda aku tuh rencananya mau akuisisi* salah satu artefak berharga, guci emas kesayangan Arya Wiraraja—pendiri kerajaan Majapahit, yang sekarang juga ada di Leiden! Nah, Leiden tuh, kota di Belanda sana tempat banyak banget peninggalan negara kita yang dicuri, disandera, dan diakui jadi punya mereka! Arrgggh kesel kan?!"

Bina mendengus kesal. "Tunggu aja ya, sampai Bundaku udah sehat total. Nanti dia bakal terbang ke Leiden dan ngacak-ngacak kota itu! Awas aja."

Banu menepuk bahu gadis itu, menenangkan. "Sabar Bin, sabar ..." Sabina lantas menghela napas, pandangannya menerawang.

"Lagian nih dokter Bunda yang baru kayaknya kurang sakti deh, Ban. Masa asma Bundaku jadi nggak sembuh-sembuh. Huft. Gak seru! Kayaknya emang bener deh, Ban, ini nih konspirasi arwah nenek moyang kompeni Belanda yang dendam dan nggak mau Bunda menang! Rese banget gak sih?!"

Banu bingung harus tertawa atau berbela sungkawa atas emosi Bina. Miris, tapi kok lucu? Bisa-bisanya gadis itu mengaitkan kematian bundanya dengan teori konspirasi arwah nenek moyang kompeni.

"Pokoknya, Ban, aku mau janji ke diri aku sendiri, bahwa aku bakal ikutan kayak Bunda jadi Antropolog, dan aku akan akuisisi sebanyak-banyaknya peninggalan kita yang dirampas sama Belanda sampai hari ini! Aku bakal ke Belanda, ngambil balik guci emas, artefak, prasasti, arsip, sampai batu-batuan yang mereka jarah dari sini!" 

Bina kembali berorasi, membuat Banu gagal berduka. Mood gadis yang satu ini memang ajaib berubah-ubahnya.

"Iya, Bina. Aku juga janji bakal bantu kamu. Aku mau ke Leiden juga. Kita ambil lagi peninggalan negara kita sama-sama, ya?" ucap Banu dengan sungguh-sungguh. Bina menoleh padanya dengan mata berbinar.

"Beneran?!"

"Bener."

Potongan memori itu merupakan pemantik sekian banyak pertimbangan, mengapa Banu memilih bidang studi yang ditempuhnya, mengapa ia memiliki end goal di Leiden. Dia punya mimpi, janji, dan sumpah yang harus diwujudkannya di negara kincir angin tersebut.

Dan kini, demi tujuan itu, Banu harus rela menjadi babu akademis seorang Dosen Senior bernama Pranoto Mulyojono, yang juga menjabat sebagai Ketua Jurusan pada Jurusan Sejarah Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jayanegara. 

Pak Pranoto adalah salah satu klien kakak perempuannya, dan Banu telah 'mengabdi' selama setengah tahun pada Pak Pranoto dengan iming-imingan surat rekomendasi yang akan menjadi golden ticket-nya menempuh S3 di Leiden.

Entah apa status Banu saat ini—apprentice kah? Asisten Dosen? Atau kuli kuliahan sekaligus pembokatnya Pak Pranoto? Apapun itu, yang jelas Banu selalu siap sedia ketika pesan WhatsApp dosen senior itu masuk dalan notifikasi ponselnya. 

Seperti pagi ini, pesan itu berbunyi kurang lebih seperti Banu, hari ini ke kampus jam 9.30 ya. Saya ada tugas buat kamu. 

Banu membalas pendek, oke Pak.

Genap satu semester Banu berkolaborasi dengan dosen senior itu, membuat mereka menjadi begini dekat. Kalau boleh berkata, Banu sudah menganggap Pak Pranoto sebagai teman, walaupun konsep teman itu sendiri merupakan sesuatu yang rancu dalam hidup Banu.

Sekolah di SD, SMP, dan SMA negeri tak lantas membuat Banu bisa luwes berteman dengan siapa saja. Pun dalam statusnya sebagai siswa yang maha, selama di menjalani hidup kampus, Banu hanya berteman dengan buku, jurnal, dan laptop

Pasalnya, dengan kepribadian cuek, dingin, dan malas bicara dengan orang asing membuat Banu memasang tembok sosial selama dua belas tahun berkarir sebagai siswa. 

Ditambah lagi pesan mami dan papinya yang ebrbunyi kurang lebih: jangan sembarangan berteman dengan orang, bisa jadi pengaruh buruk!

Alhasil, Banu hanya mempunyai satu teman yang benar-benar dekat dengannya, tanpa peduli status keluarga, prestasi di sekolah, atau hal-hal yang dianggap penting lainnya.

Dialah Sabina Eka Gayatri. Gadis yang kemudian memantik mimpi di dalam angan Banu. 

Gadis yang merupakan cinta pertama sekaligus penolakan pertama oleh Banu. 

Gadis yang terakhir dilihatnya pada perpisahan sekolah sembilan tahun lalu. 

Juga gadis yang kini mengusap dahinya karena baru saja bertubrukan dengan wajah Banu.

"Aduh!"
"Aw."

Banu mengelus rahangnya yang cenat-cenut, sementara matanya seketika membelalak seiring jantungnya tiba-tiba berkedut.

"Loh ... Bina?" Suara itu keluar tanpa dia cerna. 

Banu memperhatikan gadis itu, masih mengusap-usap jidatnya, untuk kemudian mendongakkan wajah dan menubrukkan pandangan mereka.

"EH?! BANU???" Pekikan itu keluar instan dari mulut Bina.

Banu terpaku. Detik itu mendadak tak tunduk pada hukum waktu. Rasanya semua berhenti, melambat, dan bergulir dalam gerakan slo-mo sementara Banu tak berkedip memandang gadis di hadapannya.

Sabina Eka Gayatri mempunyai mata bundar yang lentik, kelopak tebal yang cantik, dan dagu runcing. Rambutnya hitam berombak, yang dulu sering sekali dikuncir kuda, kini dicepol dalan sebuah messy bun yang mulai turun.

Cantik, itu yang dipikirkan oleh Banu. 

Di mata Banu, saat dulu gadis itu berpeluh pada senin panas di lapangan upacara, saat gadis itu berkeringat dan bau keteknya kecut ketika habis keliling lapangan basket tujuh kali—hukuman karena telat bangun pagi, pun saat gadis itu berminyak wajahnya ketika naik angkot bersama Banu, Bina selalu cantik.

Saat ini, Bina yang dulunya kuncup; berkeringat, bau kecut, dan wajah berminyak (walaupun tetap manis!), telah mekar menjadi wanita muda yang garis wajahnya tetap sama. 

Dengan rambut cepolan asal, Bina terlihat cantik. Dengan kemeja flanel yang tak dikancing, dengan kaus dalam tank top putih dan celana jins belel, dan dengan sepatu sneakers yang talinya lepas sebelah, Bina terlihat cantik. 

Meski berubah, namun di mata Banu, Bina tetap sama. 

Dan mata itu pun berkedip. Banu merasakan waktu kembali berdetik.

"Hai ... apa kabar, Bin?" tanya Banu dengan mulut yang mati rasa. Sungguh, barusan otaknya bekerja auto pilot saat mengucapkan sapaan paling basi sedunia. Apa kabar.

"Engghh—ehh, kabar ya? Anu, itu ... kabar aku ... aku lagi buru-buru. Dah ya! Bhay! Selamat tinggal!" 

Bina merepet seraya ngibrit dengan kecepatan yang mencengangkan—ah, atau itu perasaan Banu saja, sebab pemuda itu memang masih tercengang.

Detik berikutnya, Banu hanya bisa pasrah memandangi motor Beat yang menderu meninggalkan parkiran. Bina pergi menghindar, lagi, sama seperti hampir satu dekade terakhir ini.

Butuh beberapa saat diiringi langkah kaki menuju ruang jurusan untuk Banu bisa mengkristalkan pikirannya. Bina, di sini? Berarti ... dia kuliah? Atau, alumni?

Banu menggeleng. Kini dia tiba di tempat tujuan. Dibukanya ruang jurusan, bersambut tatapan tajam Pak Pranoto yang langsung melunak ketika melihat siapa yang datang. Belum sempat dosen senior itu membuka mulut, Banu langsung menyahut.

"Pak, di sini ada mahasiswi yang namanya Sabina Gayatri, nggak?"

**

[1420 Words]

*Akuisisi berarti mengambil alih kepemilikan, memindahkan hak milik.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro